Biennale Jogja XV

“Museum Kapal” Presentasi Proyek Seni RIMPANG NUSANTARA X RESIDENSI KELANA

Posted on Oktober 22, 2019, 3:35 pm
4 mins

Syamsul Arifin merupakan satu di antara delapan seniman yang berkolaborasi pada proyek seni Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana. Program Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana menjadi titik temu dari gagasan dua lembaga Cemeti —Institut Seni dan Masyarakat, dan Yayasan Biennale Yogyakarta untuk melihat Indonesia tidak dalam kerangka kota-Kota pusat seni, melainkan bergerak dan menyingkap narasi-narasi di titik-titik lain, terutama yang terhubung dengan khatulistiwa.

Program ini merupakan upaya untuk saling memandang dan mengalami konteks-konteks budaya dan cara hidup yang berbeda, yang diharapkan dapat menghadapkan seniman pada titik balik diskursus kreatif yang berbeda dari proses kerja sebelumnya, selain juga menjadi bagian untuk bekerja dengan isu-isu yang berada di luar arus utama. Pameran ini dibuka dengan pertunjukan/performance: “Museum Kapal” oleh seniman asal Madura Syamsul Arifin, pada 17 Oktober 2019 di Cemeti Institute Jl. D.I. Panjaitan 41, Yogyakarta.

Syamsul membuat konsep pertunjukan, serta karya artistik mengenai Museum Kapal yang menjadi inspirasi karyanya. Bagi Syamsul, kapal dinilai sebagai peristiwa sejarah, selain itu kerangka kapal dan proses pembuatannya adalah nilai tradisional yang harus dilestarikan. Pengetahuan mengenai kapal hanya selintas di masyarakat, tidak hanya sebatas geografis pelayaran. Konsep pertunjukan Syamsul ini menghadirkan sebuah balok besar yang saling dikaitkan, melambangkan prinsip persetubuhan, dari sepasang balok yang saling tergabung berupa lingga yoni yang saling menyambung. Lingga dan yoni ini dimaknai dengan kesuburan.

Karakter semiotik pada pertunjukannya ia dapatkan dari pengalaman sehari-hari di lapangan, selama melakukan residensi di pulau Mandar, Sulawesi Barat. Melalui pengalamannya, Syamsul menemui ketegangan, baik ketegangan yang lama dan baru ia hempaskan pada tanggul sebagai semiotik teknologi baru, yang dihempaskan ke dinding galeri,

Karya Syamsul bercerita mengenai kapal tradisional, ketegangan antara teknologi lama dan baru, kapal dan tanggul. Berawal dari teknologi tradisional, sebuah pemikiran bagaimana seseorang dapat membuat sebuah kapal. Masyarakat mempercayai, kapal adalah rumah bagi nelayan. Kapal seperti manusia, sehingga seorang nelayan harus memperlakukan kapal dengan baik. Kapal memiliki ikatan roh dan jiwa seperti manusia.

Kehidupan Syamsul Arifin erat dengan kehidupan pesisir nelayan. Syamsul seorang pesisir nelayan memiliki jiwa seni, ia aktif membuat seni teater bersama teman-temannya di kampung. Ketika tiba di Pambusuang, Mandar, Sulawesi Barat, ada hal menarik yang ia temukan, sebuah pro dan kontra antara munculnya budaya teknologi baru, yang memberi dampak baik dan buruk, khususnya masyarakat di pulau Mandar. Masyarakat pinggir pantai yang masih menjaga kearifan lokal, ritus dan tradisi.

Bagi masyarakat pinggir pantai, tanggul memberi efektifitas, sedangkan masyarakat yang jauh dari kawasan pantai adanya tanggul tidak memberikan ruang yang cukup bagi kapal untuk berlabuh. Berbeda di jaman dahulu, adanya tanggul di musim kering atau tidak ada ikan, masyarakat melabuhkan perahu di darat, sedangkan realitasnya masyarakat merasa kebingungan dimana meletakkan kapal tersebut. Ketika musim hujan, ombak besar yang menghantam kapal, membuat kapal terombang-ambing. Syamsul melihat adanya tanggul bagi sebagian orang dapat menyelesaikan solusi persoalan sampah di laut, tetapi baginya peran tanggul tidak berhasil untuk membuat solusi tentang persoalan sampah. Nelayan merasa terganggu dengan adanya sampah, di sisi lain anak muda setempat sering membuang botol-botol di laut dan pecahan botol yang mengenai kaki nelayan.  Hal inilah yang menjadi kontekstualitas Syamsul. Selain itu permasalahan nelayan mengenai laut, banyaknya sampah yang dibuang ke laut membuat laut menjadi tercemar.
Pada 21 Oktober 2019 juga digelar Pertunjukan/performances: “Air Mata Kaki” Arif Setiawan (Pontianak), Lab Aransemen “Pekerti Padi” Tajriani Thalib (Mandar, Sulawesi Barat) yang berkolaborasi dengan Purwanto & Silir Pujiwati. Perhelatan ini berlangsung sampai tanggal 31 Oktober 2019. (*)