Biennale Jogja XV

asia tenggara

Posted on Juli 02, 2019, 5:36 pm
2 mins

Berangkat dari pemikiran tentang keterbatasan waktu dan situasi yang menjelang darurat, tampaknya gagasan untuk menelusuri pasifik sebagai negara atau wilayah mitra dalam pergelaran kali ini seperti menjadi tantangan yang sangat sulit. Dengan pengetahuan yang lebih terbatas tentang medan pasifik, maka kemungkinan untuk mendapatkan peta medan yang cukup jelas dalam waktu singkat menjadi hal yang tampak membebani ketimbang menjadi produktif. Gagasan tentang pasifik memang menarik, tetapi apakah perlu diwujudkan dalam bentuk pameran seperti tradisi biennale? Barangkali tetap bisa diwujudkan dalam bentuk yang lain.

Tawaran kuratorial dalam biennale ini adalah mencoba melihat Asia Tenggara dan beberapa wilayah  lain sebagai kemungkinan negara mitra. Memang mengadakan pameran  berfokus pada Asia Tenggara terdengar sebagai gagasan klise yang sudah banyak dilakukan. Tetapi, justru ini mendorong kita melihat kemungkinan lain; bahwa Asia Tenggara mempunyai potensi-potensi yang jauh lebih kaya dan relevan dengan  situasi global ketimbang hanya membayangkannya sebagai wilayah geografis yang secara politik sering disebut sebagai ASEAN.

Dalam pertemuan kemarin, ada kesadaran untuk melihat kembali keterhubungan antar rumpun bangsa dan sejarah terpinggir berkaitan dengan masyarakat Asia Tenggara; kompleksitas antara Sejarah jalan sutra, Indo-China, Dinamika Melayu, Religiusitas dan konflik sosial horizontal, situasi kolonialisme dan pasca-kolonial, dan sebagainya. Dengan melihat Asia Tenggara sebagai cara pandang dan metode atas praktik keseharian masyarakat kontemporer yang kompleks inilah, gagasan ekuator menjadi relevan untuk diposisikan sebagai ruh bagi pembacaan atas situasi geopolitis di sini. Selama ini Asia Tenggara lebih dilihat sebagai konsep regional  dalam konstelasi politik global, yang sering menjadi penyebab dari pembacaan yang nyaris terberi dan stereotipikal.

Keputusan untuk memilih Asia Tenggara ini kemudian bisa diturunkan kembali sebagai Cara membangun posisi politik bagi kawasan-Kawasan baru yang selama ini dilihat sebagai Pinggiran. Ketimbang membicarakan tentang praktik seni di pusat, ada dorongan melihat wilayah-wilayah lain seperti Makassar, Padang, Kinabalu, Pattani, Bagyo, Dha Nang, Dan kota-kota lain yang selama ini seperti tersembunyi dalam wacana urbanisme dan pembangunan pusat megapolitan di Asia Tenggara seperti Jakarta, Bangkok, Manila, dan seterusnya. Biennale Jogja Ekuator menjadi platform yang tepat untuk mengusung narasi dan wacana-wacana sejarah, identitas, ekologi, dan beragam lainnya dalam relasi  antara kota-kota ‘pinggiran’ tersebut.