Biennale Jogja XV

Membincangkan Karya Pisitakun Kuantalaeng di Biennale Jogja Equator #5 Mendatang

Wawancara dengan Pisitakun Kuantalaeng di Galeri Lorong (Selasa, 18 Juni 2019)
Posted on July 01, 2019, 12:08 pm
10 mins

Fakta menyebutkan bahwa bisnis online-shop berkembang sangat pesat di Asia Tenggara. Sektor bisnis seperti sandang, makanan, perhiasan, mainan anak-anak, hingga bahan bangunan dan kebutuhan rumah tangga lainnya yang bisa didapatkan secara online kian marak. Tidak hanya menjamur di kota-kota besar, fenomena ini juga kian merambah ke daerah rural, ‘pinggiran’.  Fenomena inilah yang menjadi sorotan utama seniman Thailand, Pisitakun Kuantalaeng untuk karyanya di Biennale Jogja Equator #5 mendatang.

Perkenalannya dengan Yogyakarta dimulai sejak 2012 silam, dimana ia pertama kali bertemu dan bersinggungan dengan banyak seniman di kota ini. Hingga pada 2018 lalu, salah satu Kurator Biennale Jogja Equator #5 Penwadee Nophaket Manont menawarkannya untuk berpartisipasi di helatan seni rupa yang dihelat dua tahunan ini.

Tawaran tersebut tentu saja langsung diterimanya, karena ia ingin lebih tahu lebih banyak tentang Yogyakarta. Pisitakun mengakui bahwa setelah menerima tawaran menjadi seniman di Biennale Jogja Equator #5, ia sempat terdiam dan bingung akan membuat karya seperti apa nantinya.

“Di Jogja banyak sekali seniman, ruang, pergerakan, dan kolektif seni, hampir semua orang di kota ini adalah seorang seniman,” kata Pisitakun di Galeri Lorong, Selasa, (18/6/2019) lalu.

Karena itu ia berpikir untuk tidak membuat banyak artwork untuk karyanya di Biennale Jogja Equator #5 nanti. Pada April 2019 lalu, Pisitakun sempat bertandang ke Jogja untuk proyek musiknya. Lewat kolaborasi antara Yes No Klub (Yogyakarta) dengan Neighbours Collective (Bangkok) ia menggelar tur untuk musisi eksperimental Asia di Indonesia. Bertajuk ‘Neighbours Collective Indonesia Tour 2019’, para musisi eksperimental ini telah tampil di Denpasar, Yogyakarta, Jakarta, dan Bogor.

Di jazirah musik eksperimental, nama Pisitakun Kuantalaeng cukup disegani. Ia telah merilis dua album elektronik eksperimental bersama Chinabot asal London, dan kini sedang proses produksi album ketiganya. Nama Pisitakun semakin dikenal atas karya-karya radikal yang membuatnya harus menjadi incaran militer Thailand.

Pada kunjungannya April lalu, pria yang belajar seni rupa di Universitas King Mongkut, Thailand ini menemukan situasi yang agak berbeda sejak kedatangan pertamanya ke Indonesia, 2012 silam. Kini, ia melihat banyak teman-temannya, termasuk para seniman yang menjalani bisnis lewat online, termasuk usaha kuliner. Sekembalinya di Thailand, Pisitakun mengunjungi beberapa kenalannya, terutama teman-teman sekolahnya yang kini bekerja di kantoran dan sebagian lainnya menjalani usaha online.

Ia berbicara dan membahas banyak hal dengan teman-temannya tentang perkembangan online shop kini berkembang sangat cepat, bahkan lebih cepat dari yang banyak orang bayangkan sebelumnya. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi, satu di antaranya karena konsumen yang dijangkau sangat tidak terbatas, bukan hanya mereka yang berada di satu kota saja, tapi juga menjangkau pelanggan dari luar kota, bahkan dari belahan dunia lainnya.

Bergitu juga yang terjadi pada penjualnya dimana mereka tidak perlu memproduksi sendiri barang yang dijual, cukup dengan media internet untuk memperoleh barang. Mereka tidak hanya mendapatkannya dari lingkungan sekitar, tapi bisa dari tempat lain yang bahkan belum pernah dikunjungi sebelumnya.

Kini lewat internet, batas negara seakan menjadi lebur. Kebanyakan masyarakat mengaktualisasikan dirinya di jagad maya. Pisitakun mencoba mendalami maraknya bisnis online yang kini dijalani teman-temannya, bisnis yang hanya cukup bermodalkan platform digital. Ia juga mendalami mereka yang mendulang uang dengan memanfaatkan situs YouTube dan Instagram, seperti selebgram dan Youtuber.

Jika dihubungkan dengan konteks Biennale Jogja Equator #5 yang mengangkat isu ‘pinggiran’, Pisitakun ingin menampilkan relasi-relasi yang ada antara Indonesia dengan Thailand atas fenomena ini. Kini ia sedang menjalani riset di Jogja selama dua minggu. Lewat karyanya nanti, ia juga bakal menyinggung soal masalah hukum, pajak, dan UU ITE. Untuk itu, Pisitakun masih mendalami risetnya dengan mewawancarai beberapa narasumber di antaranya; pelaku bisnis online baik penjual dan konsumennya, pakar hukum, peneliti sosial, hingga youtuber dan selebgram.

Internet adalah kunci dari bisnis ini, Pisitakun juga sempat menyinggung peristiwa kericuhan Mei 2019 lalu, dimana pemerintah sempat membatasi penggunaan media sosial dan mendapat kecaman dari beragam masyarakat, terutama para pelaku bisnis online yang merasa sangat dirugikan dengan kebijakan tersebut.

Seperti yang diterangkan di awal, Pisitakun tidak ingin membuat artwork untuk pameran mendatang. Meski mengaku masih mendalami gagasan yang diusungnya, ia mengatakan kemungkinan akan membuat sebuah platform digital sejenis. “Bisa juga dipertimbangkan untuk membuat karya musik dan video nantinya,” tambahnya.


Pada 2012, Pisitakun menampilkan karya seni yang kontroversial. Setelah mendengar bahwa karya tersebut menjadi viral dan mulai menyebar di media sosial, teman-temannya mengatakan kepadanya bahwa dia harus pergi. Lantas, ia meninggalkan Bangkok lalu ke Indonesia, dan kemudian Jepang, Pisitakun kembali ke Thailand pada tahun 2013.

Seniman asal Bangkok ini mulai membuat seni visual dan musik sejak 2014. Dalam berkarya, ia tertarik pada musik di lingkungan media yang berbeda. Banyak hal yang menjadi inspirasi dalam karya-karyanya, seperti acara bersejarah, suara sintetis, dan alat musik.

Paska kudeta militer di Thailand, Pisitakun juga berjuang untuk kebebasan berpendapat, ia dianggap berhasil mengubah duka menjadi seni. Album pertamanya ‘Black Country’ mulai dikerjakan pada tahun 2016, ketika ia menyaksikan pertengkaran antara kelompok politik yang berseteru di Thailand.

“Orang-orang tidak mau saling mendengarkan, mereka hanya marah dengan korupsi. Saat itulah saya benar-benar ingin mengungkapkan sesuatu yang tidak memungkinkan untuk dialog. Bukan sesuatu yang merupakan negosiasi selangkah demi selangkah, tapi sesuatu yang berisik,” katanya.

Hasilnya adalah album ‘Black Country’ yang menggunakan campuran suara musik tradisional dengan irama berbaris dan teriakan para jendral militer yang mengumumkan bahwa mereka telah menguasai negara, ia menciptakan sebuah karya eklektik untuk mencerminkan kondisi negaranya yang kisruh. Tidak lama setelah ia menyelesaikan karya tersebut, Raja Thailand Bhumibol Adulyadej meninggal. Thailand pun berduka, dimana semua orang memakai pakaian hitam selama setahun.

Portrait courtesy General View Records 場.景.設.定

Black Country juga mengadopsi Black Metal, “Genre musik ini tentang agama Kristen, tetapi saya mengadaptasinya untuk membicarakan masalah-masalah yang ada di Thailand. Meski band-band Black Metal memiliki lirik, tetapi Anda tidak dapat memahaminya karena gaya bernyanyinya seperti itu. Bagi saya sangat bagus untuk mengkritik sesuatu dengan menggunakan cara ini. Anda bisa lolos dengan mengatakan lebih banyak hal, dan memperdengarkannya dengan keras”.

“Kami adalah negara yang sangat santai; negara yang tersenyum. Tapi itu tidak berarti bahagia sepanjang waktu, kami hanya menyimpannya di dalam. Terkadang itu adalah propaganda ketika dikatakan bahwa kita adalah orang yang baik, tenang, dan tidak perlu bertarung. Kami punya banyak protes di mana orang-orang dibunuh oleh pemerintah. Hanya propaganda yang bisa mengatakan kepada dunia bahwa kita adalah negara yang tersenyum.” kata Pisitakun pada wawancaranya dengan thequietus.com.

Setahun kemudian Pisitakun memakai ‘Black Country’ sebagai pertunjukan multimedia berupa parade improvisasi musik selama tiga hari, tanpa henti, ditambah dengan pemutaran film dan resital puisi yang dirancang untuk menguji kesunyian di Thailand.

Namun pada hari ketiga pertunjukan di Thong Lor Art Space tersebut, tiba-tiba saja polisi datang mendekatinya dan menanyakan acara tersebut. Pisitakun mengatakan bahwa pertunjukan itu tentang Jepang, bukan Thailand, tak lama para polisi itu pergi. Namun ternyata ada lebih banyak lagi petugas yang berdatangan. Mereka mengambil tiga lukisan, sekitar 20 artwork, dan semua poster yang ada.

Ketika mencoba protes, polisi mengatakan bahwa jika karya seni itu tidak bersalah, dia bisa datang dan mengambilnya dalam waktu beberapa hari. Karena masih belum mendapatkan pekerjaannya kembali, dan khawatir bahwa konfrontasi akan berdampak tidak baik bagi keberuntungannya, Pisitakun terpaksa harus menutup pertunjukannya lebih awal, dan membatalkan tiga pertunjukan lain yang telah direncanakannya.

Di Thailand terdapat undang-undang ketat yang mengatur kebebasan berbicara. UU ini telah berlaku sejak awal 1900-an, dan ditegakkan dengan kekerasan yang meningkat sejak militer menggulingkan pemerintah Thailand dalam kudeta tahun 2014 lalu. UU tersebut dapat menjatuhkan hukuman penjara dari 3 hingga 15 tahun bagi mereka yang terkena tuduhan menghina monarki Thailand.

Meski Undang-undang yang ketat membatasi diskusi publik di Thailand, Pisitakun telah menemukan cara untuk menjelajahi hal-hal yang tidak terungkap melalui musik noise eksperimental. Bahkan ia melakukan tur Eropa dan berbicara tentang protes, dan propaganda.