Biennale Jogja XV

Eldhy Hendrawan Mengajak Kita Mengingat Material Yang Terabaikan

Posted on August 01, 2019, 12:20 pm
2 mins

Eldhy Hendrawan lahir di Magelang pada tahun 1986. Setelah lulus tahun 2012 dari jurusan Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada, ia melanjutkan S2 di Taiwan. Karena kedekatannya dengan orang-orang yang berkecimpung di bidang seni, Eldhy menjadi tertarik dengan dunia seni. Lewat berbagai macam medium seperti, foto, tembok dan lain sebagainya, ia tertarik untuk merespon nilai-nilai dan kisah-kisah yang dimiliki sebuah material, baginya material dapat bercerita dan memiliki sejarahnya sendiri. Pada tahun 2015 Eldhy mengikuti pameran rekonstruksi lagu rakyat di ladang tebu di Taiwan.

Pada karyanya di pameran ini, Eldhy bermaksud untuk mengajak kita mengingat hal-hal yang selama ini telah terpinggirkan. Menurutnya sebuah material selalu memiliki sebuah kisah, namun material saat ini menjadi terabaikan. Dalam karyanya ia menampilkan naskah-naskah kuno Jawa yang telah dirampas oleh Raffles saat Inggris menginvasi Asia Tenggara. Menurutnya Raffles memang berjasa untuk Indonesia, seperti membuat buku History of Java, penemu bunga rafflesia, pendiri Kebun Raya Bogor, dan sebagainya.

Namun di sisi lain, ia juga merampas kekayaan yang dimiliki Keraton. Naskah-naskah kuno yang telah dirampas tersebut saat ini memang sudah dikembalikan kepada Indonesia, namun hanya dalam bentuk digital. Menurutnya dalam hal ini, sebuah material dari naskah asli tersebut seolah terabaikan dengan adanya digitalisasi. Kemudian Eldhy merespon tembok rumah-rumah tua yang terabaikan. Rumah-rumah tua tersebut dulunya merupakan tempat yang megah dan dijadikan tempat tinggal, namun seiring berjalannya waktu rumah tersebut mulai diabaikan sehingga hancur atau dihancurkan. Sisa-sisa tembok yang telah dihancurkan tersebut, oleh Eldhy dikumpulkan dan disatukan kembali menjadi suatu kesatuan yang erat.

Dalam karya ini, Eldhy juga menggunakan pasir dari peristiwa Geger Sepei untuk mengingatkan terabaikannya tembok pojok benteng utara kraton Yogyakarta yang sudah hilang dan tidak ada yang satar kalau itu sudah hilang. (*)