Jika program Residensi Kelana Laut dilakukan di Pulau Sulawesi, dan Kelana Sungai di Pulau Kalimantan, maka Residensi Kelana Darat dilakukan di Pulau Sumatra. Ada tiga seniman yang terpilih untuk berkelana menyusuri Sumatra lewat jalur darat, mereka adalah Ferial Afiff, Rahmadiyah Tria Gayathri, dan seniman asal Malaysia Yim Yen Sum.
Ferial Afiff adalah seniman fleksibel yang telah aktif berkarya lebih dari 10 tahun. Seniman yang berdomisili di Yogyakarta ini memiliki pola berkarya yang tanpa batasan maupun gaya tertentu, secara artistik dia kerap beralih-peran sebagai fasilitator, kurator, penulis, peneliti, produser, dsb. Dalam berkarya, Ferial senantiasa penasaran berhubungan dengan orang lain serta kondisi kehidupan yang menyertainya, terutama tema sosial, lingkungan, budaya, sejarah, gender. Hingga kini proses berkaryanya tumbuh organik, berkelindan di berbagai metode, bekerjasama, berkolaborasi dengan orang lain, juga mengamati, meneliti, dan mengeksplorasi berbagai hal.
Ferial mengikuti residensi kelana setelah diundang oleh kurator Biennale Jogja XV. Baginya sebuah perjalanan selalu menjadi hal yang penting dan menyenangkan. Ia juga penasaran ingin keliling Indonesia dan menelusuri sejarah masa lalu, terutama di kawasan Selat Malaka. Di program Residensi Kelana ini, selama 35 hari ia berpergian seorang diri dari satu kota ke kota lainnya. Menelusuri lima provinsi mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, dan berakhir di Jambi. Bisa dikatakan Ferial benar-benar berkelana, karena menggunakan hampir semua moda transportasi seperti, mobil, bis, kapal, hingga pesawat kecil.
Pada Residensi ini, Ferial berusaha menyusuri jejak tokoh-tokoh perempuan masa lalu di Sumatra Timur. Sejak mengetahui sosok Boru Lopian Sinambela, anak sekaligus salah satu tokoh paling berpengaruh dalam perjuangan Sisingamangaraja XII (bersama Lifepatch 2017), ia mulai penasaran dengan tokoh-tokoh perempuan masa lalu asal Sumatra. Dari berbagai sumber diketahui Boru Lopian turut angkat senjata, tokoh spiritual, sekaligus terlibat dalam menyusun strategi pergerakan. Beliau melakukan semua itu sejak usia belia, diduga tewas bersama ayahnya di usia yang juga masih dibawah 16 tahun (seumuran anak-anak SMP hari ini).
Entah bagaimana spirit beliau masih terus menempel, dan membuat Ferial jadi bertanya-tanya, kemanakah para tokoh lain. Apalagi kala itu Boru Lopian dibantu, dan berguru dengan pasukan inong-inong Aceh. Maka beberapa bulan sebelum berangkat, ia mengumpulkan info para tokoh perempuan bersejarah pulau emas terbesar ke 6 di dunia ini, terutama yang wilayahnya bersinggungan dengan Selat Malaka, atau dahulu dijuluki Sumatra Timur. Tokoh yang ditelusuri ada sekitar 15 tokoh, kurang lebih dari masing-masing provinsi ada 3, atau ada juga yang wilayahnya bersinggungan. Para tokoh perempuan di masa lalu ada banyak, terutama dari Aceh. Sehingga untuk meminimalisir jumlah, ia membagi dari peran mereka; seperti yang pernah menjadi pemimpin, panglima, pencipta kerajaan, penyair, pendiri sekolah, guru, sampai tokoh berupa batu, hingga metafisik.
Total perjalanan 35 hari, Ferial mengalami berbagai jenis moda transportasi yang terjangkau dengan keuangan yang seadanya. Momen paling seru itu saat mencari cara ke Kabupaten Lingga, karena kapal maupun pesawat hanya ada beberapa kali seminggu, saat bertanya ASDP jadwal Kapal Roro, mereka bilang akan libur karena kapal berlabuh selama 2 minggu. Akhirnya Ferial menelpon maskapai lokal, berhasil memesan namun tak bisa bayar karena di pelabuhan tidak ada ATM/mini market, lalu di pagi buta ia minta tolong keluarganya di Pamulang – Tangsel, untuk membayarkan tiket maskapai ke mini market terdekat untuk ia kembali.
Titik pertama pendaratannya adalah kota Banda Aceh, setelah beberapa hari lanjut naik L300 ke Lhoksumawe, baru setelah beberapa hari ke Medan naik bis, sama halnya saat ke Pekanbaru. Saat ke Kabupaten Kampar ia patungan sewa mobil, barulah pulangnya menggunakan bis, dan L300. Patungan sewa mobil pulang pergi ke Kabupaten Siak, lantas beberapa hari di ke kota Pekanbaru naik motor.
Diteruskan ke Jambi naik bis, naik travel ke Pelabuhan Roro Kuala Tungkal, lalu menyebrang ke Pulau Dabo Singkep – Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Setiap berpindah pulau di Kabupaten Lingga, Ferial naik berbagai jenis kapal, dari speed boat buatan sendiri, sampai kapal-kapal kecil para nelayan. Barulah terbang naik pesawat capung kembali ke Jambi, lalu aktivitas di wilayah ini kembali menggunakan motor. Lalu terakhir dari Jambi terbang kembali ke Yogyakarta.
Selama penelusuran tersebut Ferial juga menemukan tokoh yang tidak diketahui, bahkan oleh penjaga situs bersejarah, perpustakaan daerah khusus adat, atau kerajaan tertentu juga pernah tidak ada jejaknya. Beberapa tokoh begitu harum namanya, ada foto atau lukisan wajahnya, namun kebanyakan adalah kuburannya. Seperti di Aceh yang ia pikir akan paling sulit, ternyata justru paling terbuka, paling banyak tokoh perempuannya dari berbagai peran, serta dengan bangga akan dinyatakan kisahnya. Ada juga kelompok atau narasumber yang terang-terangan menolak peran perempuan, dengan alasan dilarang oleh agama, atau hal lain yang bersifat mendomestikasi. Tapi banyak juga yang tidak tahu kemudian menjadi berbalik, seperti terpancing, bertanya-tanya kenapa tidak mencari para tokoh perempuan ini, dan menyatakan akan lebih menelusuri, atau mencatat.
Selama proses penelusuran, ia mendapatkan beberapa nama tokoh perempuan yang meninggalkan kesan mendalam. Hasilnya keseluruhan tokoh tersebut sama samar kisahnya, tidak dijelaskan mendetil bagaimana pola saat berperannya. Kemiripannya adalah tentang kecantikan, penolakan lamaran berakhir perang, serta proses meninggalkan sesuatu yang mereka bangun dengan kondisi semacam terpaksa. Sehingga ketika ia mendatangi jejak-jejak yang tersisa, bila tidak ada istananya mungkin makamnya, dan tidak ada manuskripnya.
Setidaknya mengalami hadir di tanah yang sama, tempat dahulu mereka berada, Ferial bisa lebih mengasah imajinasi, memasuki kisah mereka lebih mendalam. Serta dalam berbagai kesamaran, senantiasa ada kisah yang membangkitkan semangat, selayaknya mencari harta karun.
Sepulangnya berkelana, Ferial kerap mendapat pertanyaan akan bahayanya perempuan yang berpergian seorang diri. Namun baginya ketakutan-ketakutan tersebut harus dihapus. Baginya berpergian sendirian tidak menakutkan selama tujuannya jelas. Sepanjang perjalanan tersebut, sebagian besar ia bertemu dan menetap di rumah teman, kenalannya teman, juru pelihara situs, komunitas, penjaga museum, penjaga perpustakaan, penjaga pusat dokumentasi, tokoh adat, tokoh agama, tokoh spiritual, dukun, maupun rekan-rekan dosen, dan mahasiswa.
Untuk pameran utama Biennale Jogja XV mendatang, Ferial akan membuat 9 lukisan yang dikerjakan oleh 9 seniman perempuan. Sebelumnya, karya-karya Ferial sempat hadir di berbagai kota di Indonesia dan negara lain seperti: Singapura, Myanmar, Jepang, Korea Selatan, India, Sri Lanka, Madagaskar, Switzerland, dan sebagainya. (*)