Biennale Jogja XV

Melawan Idiom Orde Baru Lewat Monumen Marsinah

Posted on Oktober 31, 2019, 4:19 pm
3 mins

Sekira 20 tahun yang lalu, Moelyono membuat sebuah karya tentang Marsinah dan sedianya dipamerkan secara lengkap di Surabaya. Sayangnya, rencana itu urung terlaksana karena dibubarkan aparat.

Lewat karyanya di Biennale Jogja XV, “Pembangunan taman Monumen Marsinah” 2019, Moelyono “menghidupkan” kembali Marsinah. Dia hendak menyoroti dua hal: pertama, Marsinah sebagai simbol perjuangan yang tidak pernah selesai. Kedua, mengingat ulang bagaimana rezim Orba memperlakukan Marsinah secara tidak manusiawi: dibunuh dengan cara yang sangat kejam.

Sebagai ruang refleksi catatan dari aktifis buruh dan pengalaman seniman menyuarakan Marsinah melalui media seni rupa, Selasa, (29/10) di Jogja National Museum digelar diskusi bersama; Arif W Jati – Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM) dan Moelyono – Perupa. Sebelum diskusi juga dilakukan workshop cukil kayu bersama Kelompok pelajar dan mahasiswa RODE610.

Diskusi bertajuk “Pembangunan Taman Monumen Marsinah” dimulai dengan pembahasan perbandingan pameran karya instalasi Marsinah yang pernah dilakukan pada 1993 di Surabaya dengan pameran saat ini di Biennale Equator #5. Moelyono menjelaskan jika pameran yang dilakukan saat ini memiliki dua makna.

Pertama, sebagai simbol mendukung perjuangan kaum buruh. Kedua, merespon atau sebagai refleksi kondisi pemerintahan saat ini yang hampir mirip di masa Orde Baru. “contohnya kabinet menteri saat ini yang bisa dibilang ambyar…..hampir mirip sama seperti di masa Orba”, tambah Moelyono. Monumen Marsinah yang dipamerkan, menurut Moelyono karyanya saat ini memang berbicara dalam konteks mengaktualisasikan di masa sekarang.

Menurut Moelyono hal yang membedakan antara pamerannya pada tahun 1993 dan saat ini adalah kondisi kebebasan. Di masa Orde Baru hal-hal yang berbau perjuangan buruh direpresi oleh pemerintah. Hal ini membuat tema-tema berbau buruh yang diangkat jadi pameran saat itu dilarang.

Cerita lain juga dipaparkan oleh Arif dari KSUM yang menceritakan kronologi saat itu. “pameran itu ada tapi tidak dibuka untuk umum”, tambah Arif. Kehadiran intel di pameran saat itu sempat membuat ketegangan.

Negosiasi yang dibantu Munir saat itu tidak menemui jalan keluar dan alhasil pameran ini ditidak diizinkan untuk dibuka. Menurut Arif kondisi ini disebabkan oleh munculnya berita di salah satu surat kabar yang berisi pameran ini beserta foto-fotonya.

Makna dari Monumen Marsinah

Menurut Moelyono karya yang dibuatnya saat ini punya beberapa makna. Instalasi yang sengaja dibuat dalam tahap pembangunan memiliki arti jika pengungkapan kasus pembunuhan Marsinah masih belum tuntas.

Moelyono juga memanfaatkan patung Burung Garuda Pancasila sebagai simbol dari pemerintahan Orde Baru yang selalu pancasilais dengan kolam merah yang berproyeksikan gambar jam yang menyimbolkan perjuangan Marsinah bersama buruh-buruh lainnya di PT. CPS yang memproduksi jam saat itu.

Selain itu Moelyono juga menggunakan monumen sebagai narasi tanding dari Orde Baru yang selalu menggunakan monumen sebagai alat untuk mempropagandakan program-program pemerintah di masa Orde Baru.

Moelyono meniru metodologinya pemerintah Orde Baru dalam menyebarkan gagasan namun mengisi menumen dengan narasi pinggiran seperti tema Marsinah. “Saya bermain di bahasa visual (monumen) agar tema soal Marsinah menarik”, tambah Moelyono. Hal ini menjadikan Monumen Marsinah sebagai simbol melawan idiom Orde Baru.