Wicara Seniman Jumat (22/11) bertajuk “Kerja dan Keterasingan” dilakukan di panggung Jogja National Museum. Diskusi ini dipantik oleh dua seniman yaitu Benny Widyo (Pendulum) dan Dian Suci Rahmawati. Pada sesi ini keduanya menjelaskan makna dan gagasan dari karya masing-masing, yakni soal narasi tenaga kerja (buruh).
Pendulum yang menggunakan medium fotografi dalam instalasinya mengetengahkan isu tenaga kerja lewat sudut pandang tempat istirahat. Dalam karyanya Pendulum mengangkat permasalahan diskriminasi para pekerja yang bekerja di pusat-pusat perbelanjaan besar (mall).
Menurut Benny, dalam riset dan narasumber yang ditemuinya hampir semua pusat perbelanjaan ini nyaris tidak menyediakan—hal dasar yang dibutuhkan manusia—yakni tempat istirahat bagi para pekerjanya. Hal ini memunculkan paradoks antara mall yang hingar-bingar, dengan jaminan kesejahteraan para pekerjanya.
“Ada orang-orang termarjinalkan (dalam industri ini), yaitu yang harus bekerja stand by sedangkan untuk kebutuhan istirahat belum terjamin.… adanya paling tempat bernama genitor yang hanya 2 x 1 meter,” tambah Benny.
Tempat istirahat yang tersedia bagi para pekerja juga tidak nyaman, biasanya para pekerja beristirahat di kolong tangga atau dekat dengan toilet. Tak jarang mereka tidak bisa menyimpan peralatan pribadi, bahkan perihal kebutuhan manusiawi, contohnya membawa bekal. Benny menemui salah satu contoh kasus tentang itu, jadi pekerja tidak boleh membawa bekal, jika ketahuan maka bekal pun akan dibuang.
Sementara itu Dian memunculkan isu tenaga kerja lewat sudut pandang pekerja rumahan. Diawali keingintahuan Dian dari selebaran yang—ditempel dekat pasar—berisi lowongan kerja pembungkus coklat. Pada akhirnya keingintahuan ini bermuara pada tema pekerja rumahan yang dinilai mengalami diskriminasi.
Dimulai dari permasalahan kesejahteraan yang tidak terjamin seperti kesehatan dan tidak tercatatnya mereka oleh perusahaan. Menurut Dian hal tersebut menjadi rawan terjadi penyimpangan dan eksploitasi berlebih terhadap pekerja rumahan.
“Hal tersebut menandakan tidak ada yang memperdulikan hak-hak pekerja,” tandas Dian.
Dalam karya ini, Dian juga mencoba memakai pola kerja yang dipakai pekerja rumahan dalam menuntaskan kerjanya, yaitu pekerjaan yang sama dilakukan berulang-ulang. Dian menjelaskan dalam menyelesaikan 120 lukisannya ia mengerjakannya bagian per bagian,
“Ngerjain pigura sampai selesai, setelah itu baru berganti ke bagian yang lain dan begitu seterusnya,” tambahnya.
Pola ini juga dirasa merupakan pekerjaan yang melelahkan, karena dilakukan dengan waktu yang lama. Menurut Dian cara ini juga salah satu wujud dari eksploitasi tenaga kerja yang berlebihan.
Dian pun menggunakan gambar dinding dalam instalasinya yang berarti hal paling privat. “Dinding menyimbolkan rumah dan rumah sendiri diartikan sebagai tempat yang privat bagi setiap orang,” ujar Dian.
Padahal dalam realitanya para pekerja rumahan ini selalu melakukan pekerjaanya yang dirasa memberatkan di rumah. Hal ini juga yang dianggap Dian sebagai wujud permasalahan pekerja rumahan. (*)