Biennale Jogja XV

Sarasehan dan Pembukaan Hotel Purgatorio

Posted on Oktober 30, 2019, 12:46 pm
4 mins

HOTEL PURGATORIO, sebuah karya instalasi oleh Yoshi Fajar yang merespon site spesifik di RW 10 Kampung Jogoyudan, menghadirkan instalasi konseptual mengenai hotel dengan menyediakan ruang tidur, model instalasi kloset – kamar mandi, dan beranda santai. Maksudnya adalah “menantang” konsep hotel global yang standar, memusat dalam segala hal, dan yang bersifat korporasi. Menyajikan instalasi, ruang, peristiwa/momentum, dan dekonstruksi mengenai hotel sekaligus cara berpikir kita mengenai ruang dan menyadarkan bahwa setiap orang memungkinkan mempunyai otoritas membangun ruangnya. Karya ini dikerjakan dalam waktu 3 hari secara struktur. Material dikumpulkan dari sumbangan individual ataupun material bekas pakai yang dikumpulkan dari jaringan ugahari, ada juga beberapa dari bekas rumah gusuran.

Selama Biennale Yogya XV Equator #5 berlangsung, hotel ini dikelola secara profesional oleh manajemen Muda-mudi RW 10 Kampung Jogoyudan sebagai tuan rumah penginapan, dan dipublikasikan melalui jaringan airBnB. Selama jangka waktu itu pula, Hotel Purgatorio akan menjadi ruang publik bagi setiap orang untuk bertemu, berbincang, atau berdiskusi.

Acara sarasehan dan pembukaan Hotel Purgatorio dilaksanakan Selasa, 29 Oktober 2019, dihadiri oleh pemuda dan pemudi warga Jogoyudan, ketua RT dan RW Jogoyudan, Kepala Dinas Kebudayaan Yogyakarta Aris Eko Nugroho dan Staff ahli Gubernur Yogyakarta Drs. Tri Mulyono, kemudian dilanjutkan penjelasan Yoshi Fajar, dan kurator Biennale Jogja XV Arham Rahman.

Sarasehan berlangsung di Balai Serbaguna RW X Jogoyudan, pukul 20.00 malam, Tujuan sarasehan ini adalah melibatkan masyarakat dan pemerintah untuk saling bersinergi menciptakan kawasan lingkungan yang dapat dijadikan ruang publik. Pada sarasehan ini, secara keseluruhan antara warga dan pihak pemerintah saling mendukung adanya proyek Hotel Purgatorio. Secara bersamaan berarti juga mendukung aktivitas yang berkaitan dengan kebudayaan. Drs. Tri Mulyono, sebagai staf ahli perwakilan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta mendukung kegiatan seni yang melibatkan masyarakat. Menurutnya budaya yang tergerak maju dapat menjaga identitas nasional.

“Melalui kekayaan budaya yang menjadi teladan falsafah hidup, memaknai budaya, tidak hanya berkesenian, tetapi menjadi identitas esensial budaya, bagaimana suatu bangsa dapat bertahan,” ujarnya.

Kepala Dinas Kebudayaan Aris Eko Nugroho menjelaskan bahwa masih terkait dengan makna kebudayaan berkaitan dengan Perda No 3 tahun 2017, bagaimana upaya untuk mengembangkan kebudayaan yang melibatkan masyarakat dan pemerintah, rentan seniman Biennale menjadi kebutuhan setiap tahun, sebagai catatan yang dikembangkan.

Pemilihan Jogoyudan sebagai lokasi pembangunan Hotel Purgatorio karena berkaitan dengan tema Biennale Jogja XV, yaitu memaknai ‘pinggiran’. Selain lokasinya yang terletak di pinggiran kota, masyarakat kurang tahu secara detail lokasi kampung Jogoyudan, karena tempatnya yang sempit. Karena itu proyek ini juga untuk mengenalkan potensi kampung Jogoyudan, dari sisi lokasi dan kemampuan warga dalam mengelola kampung.

Pembuatan Hotel Purgatorio juga melibatkan masyarakat sekitar Jogoyudan, seperti wokshop Damar Kurung yang mengajak anak-anak untuk melukis dalam sebuah lampion. Gambar-gambar tersebut merupakan representasi keaslian lingkungan dan aktivitas warga kampung Jogoyudan seperti; berjualan, memancing ikan, dan lain-lain.

Setelah Biennale Jogja XV usai, Hotel ini akan berganti nama menjadi Hotel Jogoyudan. Kondisi lokasi karya pembangunan karya dapat berubah, dengan dikelola warga melalui Hospitality yang dikembangkan oleh warga, Hotel Jogoyudan dibangun menggunakan material bambu, sebagai penunjang. Standar Hotel Jogoyudan yang diakui secara Internasional digali melalui wokshop perkampungan, kuliner seperti membuat jamu, batik, ecofirm, pentas seni, diskusi film, hingga acara Biennale selesai, tamu yang datang akan disuguhi diskusi dan tawaran ruang publik bersama warga yang terlibat.