Studio Malya resmi terbentuk di akhir tahun 2017 dan diinisiasi oleh beberapa mahasiswa serta alumnus Fisipol UGM yang pernah tergabung dalam kegiatan mahasiswa Teater Selasar. Studio Malya merupakan ruang belajar bersama yang mengkaji dan mengeksplorasi beragam wacana atau pengetahuan. Kepentingannya, membuka berbagai kemungkinan-kemungkinan baru, baik dari perspektif ataupun metodologi, dalam membaca situasi sosio-kultural Indonesia yang begitu dinamis. Temuan dari proses eksplorasi itu dituangkan dalam beragam media dan menjadi pijakan untuk bertemu dan bertukar pengetahuan dengan berbagai kelompok social.
Studio Malya, bersama dengan mitra kolaborasinya (penyintas 65), pada Biennale kali ini mengetengahkan wacana rekonsiliasi kultural yang diemban anak muda dalam masa pasca-konflik 65’. Wacana tersebut dihadirkan secara reflektif bersama 51 informan yang terdiri dari seniman, arsiparis, akademisi, pegiat sosial, musisi, agamawan–dan tentu saja–anak muda. Mereka membuat instalasi audio yang terdiri dari 64 buah “telepon” kaleng yang memperdengarkan beragam kesaksian dan komentar mengenai peristiwa 65’, serta sebuah telepon berwarna merah yang berfungsi sebagai sarana bagi audiens untuk menyampaikan responsnya terkait peristiwa 65’. Melalui karyanya, Studio Malya dan mitra kolaborasinya berupaya merebut imajinasi publik melalui penciptaan new-museum yang memungkinkan untuk menghadirkan beragam sejarah kecil dan praktik pengelolaan konflik yang selama ini terpinggirkan oleh narasi/kepentingan dominan.