Biennale Jogja XV

Vandy Rattana

Posted on Oktober 10, 2019, 11:33 pm
2 mins

Vandy Rattana lahir setelah periode Khmer Rouge dan besari di Pnom Penh. Ia memaparkan episode-episode tentang kekerasan sejarah melalui citra visual yang tidak banyak dipaparkan. Ia memulai praktik fotografinya pada 2005. Karyanya tentang kerja dan karya menggunakan beragam teknik kamera analog, mencoba membaurkan foto jurnalisme dan praktik artistik. Karya terakhirnya menunjukkan pergeseran filosofis di sekitar relasi antara historiografi dan penciptaan citra visual. Bagi Vandy Rattana, foto adalah konstruksi fiksi, lapisan atas yang puitis dan abstrak, sejarah mereka sendiri.

Sejak proyek dokumenter dan fotografis Bomb Pounds (2009), di mana foto-foto ranjaunya mengartikulasikan luka-luka psikologis masyarakat Kamboja yang berhasil lepas dari serbuan Amerika antara 1964 hingga 1973, Vandy Rattana terus memantau kawasan pinggir Kamboja dengan cara pandangnya dan membuka trauma masa lalu di sana. Setelah film pendeknya Monologue (2015), dia meluncurkan film pendek Funeral (2018). Pada 2007, ia mendirikan Stiev Selapak (Art Rebels) bersama beberapa seniman lain dan pada 2009 ia membentuk Sasa Art Gallery bersama kolega lain. Ia berkontribusi, pada 2011, pada terbentuknya SA SA BASSAC, ruang pertama yang didedikasikan untuk seni kontemporer di Kamboja.

Pada 2014, ia juga mendirikan Ponleu Association, yang bertujuan menyediakan akses untuk buku-buku referensi internasional, melalui proyek penerjemahan dan penerbitan dalam bahasa Khmer. Ponleu juga menerbitkan bukunya sendiri, berfokus pada beragam bidang pengetahuan (filsafat, sastra, sains, dan sebagainya).

Sebagai bagian pertama dari sebuah trilogy, MONOLOGUE berfokus pada dialog satu arah antara si seniman dengan kakak perempuannya yang meninggal sebelum ia pernah bertemu dengannya. Menggunakan sebuah peta yang digambar tangan oleh sang ayah dan dengan bantuan dari pemimpin desa setempat, Vandy menempatkan tanda di sebuah tanah di Barat Utara Kamboja, di mana dia diberitahu kisah tentang lima ribu orang lain yang meninggal di bawah rezim Polpot, dan bersama sang kakak dikuburkan di sana. Tokoh utama dalam film ini termasuk pohon sawit dan pohon mangga, sang seniman sendiri, serta suara alam, yang diwakili oleh suara dedaunan dan batang pohon, yang mengindikasikan angin dan nafas manusia. Suara Vandy membawa ketiga elemen ini ketika ia berbicara pada kakaknya, bertanya, dan seringkali menjadi sangat emosional ketika membicarakan keluarga mereka, atau tentang orang-orang mati yang terkubur di bawahnya. Flora dan fauna tumbuh dari tanah ini.

 

Sumber foto: cobosocial.com