Moelyono, Thanom Chapakdee dan Tran Luong adalah tiga seniman dari generasi yang sama. Karya-karya mereka sangat berkait dengan konteks-konteks politik di negara masing-masing, di mana periode ketika mereka mulai berkarya persoalan sensor dan kontrol negara sangatlah krusial. Ketiga seniman ini menantang resiko untuk memperjuangkan kebebasan berpikir dan berkarya, membuka narasi-narasi yang disembunyikan. Bagi mereka, seni adalah sebuah jalan politik, untuk memperdengarkan suara-suara yang dibungkam.
Bagaimana mereka bergulat menemukan jalan politik mereka? Bagaimana kerja seni dan aktivisme dalam konteks perubahan rezim dan sistem seni yang berubah? Diskusi ini akan membongkar Praktik dan gagasan keberpihakan dari ketiga seniman, dipandu oleh Naomi Srikandi, yang juga berbagi pengalaman dalam seni dan aktivisme dalam beberapa tahun terakhir.
Nerissa Del Carmen Guevara, Ferial Affif dan Nguyen Thinh Tri banyak mendasarkan kerja-kerjanya pada upaya untuk melihat bagaimana kaitan tubuh dan ingatan sebagai sebuah laku membangun sejarah baru, yang terutama juga berangkat dari perspektif perempuan. Dalam penciptaan karyanya di Biennale Jogja 2019, Ferial melakukan perjalanan melintasi Sumatera Timur untuk menemukan narasi-narasi tentang pahlawan perempuan yang tidak masuk dalam wacana arus utama. Sementara karya Thinh Tri juga berangkat dari imajinasi sejarah tentang masyarakat Panduraga. Keduanya melacak ingatan-ingatan orang biasa sebagai sejarah lisan kolektif.
Sementara Nerisa Del Carmen Guevara menggunakan tubuh sebagai medium untuk menuliskan kembali narasi sejarah terpinggir. Bagaimana pencatatan ingatan dan tubuh menjadi metode kerja penciptaan seni? Diskusi ini menyoroti bagaimana narasi perjalanan menjadi bagian dari proses penciptaan. Dalam konteks residensi Kelana, Menjadi pejalan selama sebulan, para seniman menemukan beragam cara untuk membuka kompleksitas narasi sejarah, serta membongkar konsep-konsep yang mapan tentang dunia modern.
Dalam konteks ini, Pengalaman menjadi sebuah cara memproduksi pengetahuan, perjalanan dan perjumpaan menjadi metodologi kerja artistik. Dalam presentasi kali ini para seniman memaparkan berbagai narasi: politik tanah, sejarah tersembunyi, politik identitas, konflik-konflik sosial, dan sebagainya. Ketimbang menunjukkan presentasi ini sebagai pameran karya seni, para seniman lebih berorientasi membagi amatan bersama, untuk ditempatkan dalam konteks kolektif. Bagaimana temuan hasil perjalanan ini kemudian disejajarkan dengan praktik mereka sebelumnya yang menggunakan konteks budaya yang lain? Bagaimana seniman membangun kolase narasi dari lokasi Yang berbeda-beda?