Wisnu Ajitama lulus dari Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta (2016). Wisnu sedang melanjutkan studi pascasarjana Penciptaan Seni Murni di Institut Seni Indonesia. Berangkat dari hobi naik gunung dan susur gua, karya-karyanya membicarakan isu sosial yang berkaitan dengan hubungan alam dan manusia. Ia merespon material yang ada di alam, seperti akar dan tumbuhan, untuk diolah kembali menjadi instalasi berukuran besar. Wisnu berkarya di ruang-ruang tersembunyi (seperti: hutan, gunung, dan sungai yang minim aktivitas manusia) dan ruang publik. Pada pengerjaan setiap karya, ia merespon falsafah setiap lokasi dan melibatkan kerja sama masyarakat setempat. Beberapa karya Wisnu dapat ditemukan di Gunung Pengger (Dlingo, Bantul) dan di Gunung Watu Payung (Gunung Kidul). Di tahun 2018, Wisnu terlibat dalam Geumgang Nature Art Biennale dan Nature Art Cube (2018) di Korea Selatan. Ia juga menggelar pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta bertajuk Environmental Art-LENG di tahun yang sama.
Berbeda dengan material yang digunakan pada karya-karya sebelumnya, akar dan tumbuhan, pada karya ini Wisnu merespons tripleks bekas untuk menyampaikan gagasan tentang pinggiran. Menurut Wisnu, tripleks sangat dekat dan lekat dengan orang-orang pinggiran yang menggunakan material tersebut untuk membangun tempat tinggal. Melalui material itu, Wisnu membuat konstruksi karya menyerupai usus dua belas jari dengan gaya pajang (display) untuk merespons ruang galeri. Usus dua belas jari ini merepresentasikan orang-orang pinggiran yang tidak mampu lagi menggunakan pikiran untuk menghadapi kemajuan zaman yang semakin cepat. Bagi orang pinggiran, usus dalam perutlah yang digunakan untuk berpikir. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana cara memenuhi kebutuhan untuk makan.