Proyek yang dikerjakan Yennu Ariendra untuk Biennale Jogja XV boleh disebut masih terkait erat dengan proyek-proyek yang pernah ia garap sebelumnya. Dia beranjak dari pengamatannya terhadap berbagai bentuk perlawanan simbolik masyarakat akar rumput di daerah Jawa.
Dimulai dari cerita tentang Raja Kirik, yang mengadopsi kesenian Jaranan Buto di Banyuwangi, Jawa Timur, lalu kemudian ekspresi musik akar rumput lewat dangdut koplo, dan terakhir Gruduk Merapi, ekspresi kesenian yang diinisiasi oleh warga lokal Ndeles, Klaten, Jawa Tengah. Melalui ketiga fragmen tersebut, Yennu mengajak kita untuk melihat berbagai bentuk perlawanan melalui ekspresi-ekspresi kesenian.
Di dalam kisah Raja Kirik, kita dapat melihat bagaimana orang Osing (sebutan untuk masyarakat Banyuwangi) membentuk sebuah narasi tandingan atas kisah Menak Jingga. Sementara pada fragmen kedua, dangdut koplo, musik dangdut yang lahir untuk memecah kebekuan dangdut klasik. Dan pada fragmen ketiga, Gruduk Merapi, digunakan oleh warga Ndeles untuk merespons pertambangan pasir yang berlangsung di wilayah mereka.