Pembukaan Biennale Jogja XI

November 30, 2011

Yustina Neni (Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta), Alia Swastika (Kurator/Indonesia), Suman Gopinath (Mitra Kurator/India) (Foto oleh Oblo)

Gubernur Provinsi DIY Sri Sultan HB X dan Atase Kebudayaan India untuk Indonesia Bapak Zahur Zaidi di Tengah Installasi Karya Jompet Kuswidananto pada Pembukaan Biennale Jogja XI 26 November 2011, di Jogja National Museum (Foto oleh Oblo)

Preview: 25 November 2011 | Opening: 26 November 2011

 

Di:

Jogja National Museum, Jl. Gampingan no. 1, Yogyakarta

Taman Budaya, Jl. Sri Wedani no. 1, Yogyakarta

 

Tentang Biennale Jogja XI/ Equator #1

Biennale Jogja adalah event dua tahunan yang telah berlangsung sejak tahun 1988 dan kini telah mencapai usianya yang ke 22. Sebagai salah satu event seni rupa yang cukup bergengsi, Biennale Jogja telah menjadi acuan dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Pada Biennale Jogja XI kali ini, Yayasan Biennale Yogyakarta berfokus pada usaha untuk mengorganisir Biennale yang berskala internasional untuk membangun dialog, kerjasama dan kemitraan antarbangsa.

Seri Pertama: Shadow Lines merujuk pada garis imajiner yang membawa orang-orang untuk bersatu, dan sekaligus memisahkan mereka. Shadow Lines juga menyaran pada batasan geo-politis dan penciptaan negara modern di Asia Selatan.

Kurator pameran ini adalah Alia Swastika (Indonesia) dan Suman Gopinath (India). Pameran ini akan menampilkan 40 seniman Indonesia dan India dengan fokus tema “Religiusitas, Spiritualitas dan Kepercayaan”, yang akan menunjukan beragam pendekatan dan cara pandang dalam menyikapi ranah ini dengan interpretasi atas situasi kontemporer mereka, bersumber pada pengalaman personal dan struktur politik di negara tempat mereka hidup.

Seniman-seniman Peserta

Empat puluh seniman, 25 dari Indonesia dan 15 dari India akan mempresentasikan karya-karya yang kontekstual dan merepresentasikan situasi sosial terkini yang melingkupi ruang hidup mereka. Mereka akan menampilkan karya-karya secara individual, kelompok, maupun proyek-proyek seni komunitas untuk membuka dialog antar negara ini. Ke 40 seniman tersebut adalah:

Atul Dodiya, Archana Hande, Anita Dube, Amar Kanwar, N S Harsha, Prabhavati Meppayil, Sreshta Premnath, Pushpamala N, Riyaz Komu, K.P Reji, Sheela Gowda, Shilpa Gupta, Sheba Chhachhi, Sakshi Gupta, Valsan Koorma Kolleri, Setu Legi, Krisna Murti / Jompet Kuswidananto, Arahmaiani, Wedhar Riyadi, Andy Dewantoro, Christine Ay Tjoe, Paul Kadarisman, Albert Yonathan, Akiq AW, Ariadhitya Pramuhendra, Iswanto Hartono, Wimo Ambala Bayang, Tromarama, Octora, Theresia Agustina, Titarubi, RE Hartanto, Nurdian Ichsan, Wiyoga Muhardanto, Erika Ernawan, Melati Suryodarmo, Arya Panjalu, Sara Nuytemans, Ruangrupa, Irwan Ahmett.

 

Beberapa program dan proyek lain yang mengiringi pameran utama yaitu Paralell Events, Festival Equator dengan salah satu proyeknya Garapan Baru Balet Ramayana, seminar, seniman dan kurator bicara, serta proyek-proyek seni komunitas. Untuk informasi lebih lanjut silahkan kunjungi website kami: www.biennalejogja.org

 

 

 

 

 

[ Read more ]

biennale Yogyakarta

Biennale Equator seri yang pertama berfokus pada Indonesia dan India.
Sebuah kabar dari Alia Swastika (Kurator) dan Suman Gopinath (Co-Kurator)

Hubungan antara Indonesia dan India dimulai beberapa millennium yang lalu, dengan jalur laut dan jalur darat yang menghubungkan kedua negara melalui perdagangan dan agama. Pada pergantian abad ke-20, penyair Rabindranath Tagore, dianggap sebagai salah satu pelopor pembangun jembatan antara kedua negara, sebagai orang India pertama yang serius berupaya mewujudkan lalu lintas dua arah dalam beasiswa dan seni antara India dan Indonesia. Tagore tidak memperlakukan India sebagai ‘monolit’ ketika ia membahas cara-cara bagaimana pengaruh budaya terpancar keluar benua untuk mencapai pantai Asia Tenggara. Sebaliknya, ia mencoba menjalin hubungan berdasarkan studi literatur regional yang berbeda, praktek-praktek budaya dan sejarah India. Saat tiba di Jakarta pada tahun 1927, Tagore dikatakan telah berkata, “Saya melihat India di mana-mana, tapi saya tidak mengenalinya.” [ Read more ]

biennale Yogyakarta

Biennale Jogja sampai saat ini selalu dihubungkan dengan lokasi spesifiknya, di jantung pulau Jawa, pusat aktivitas budaya. Kota Yogyakarta telah menjadi titik awal untuk mempertanyakan  “Daerah Istimewa” dan konteksnya terhadap Indonesia dan di luar, seperti pada biennale-biennale terdahulu yaitu “Countribution”, “Neo-Nation”, Jogja Jamming, dll. “Lokalitas” dalam seluruh aspeknya, adalah pemicu dan sumber yang menarik untuk diteliti dan dieksplorasi.

Dimulai sejak Biennale Jogja XI 2011 ini, Biennale Jogja akan bekerja di sekitar katulistiwa antara 23.27 derajat Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja (BJ) mencoba untuk memandang ke depan, mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi  atas ‘kemapanan’ ataupun konvensi atas event sejenis. [ Read more ]

biennale Yogyakarta

Pitra Hutomo, Archivist, Indonesia Visual Art Archive, Yogyakarta, Indonesia

Pandangan atas aset wisata utama propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (selanjutnya disebut DIY), yakni budaya klasik Mataram dan Jawa, nampak jelas jika kita masuk ke situs web Dinas Pariwisata DIY. Ilustrasi foto yang dimaksudkan jadi ciri DIY, yakni bangunan Kasultanan seperti Kraton dan Tamansari, atau bukti peradaban kuno seperti Candi Prambanan, Ratu Boko, dan Borobudur. Peletakannya sebagai ilustrasi yang mewakili Propinsi DIY dianggap wajar karena, sebagian besar pengunjung Candi Prambanan adalah wisatawan yang berkunjung dan tinggal sementara di pusat Kota Yogyakarta (selanjutnya disebut Jogja). Sebagai titik bertolak, Jogja memang menyediakan banyak pilihan obyek wisata di dalam maupun luar wilayah administratifnya. [ Read more ]

biennale Yogyakarta

Yoshi Fajar Kresno Murti, Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan “Indonesia Visual Art Archive”, Yogyakarta, Indonesia

Tiga kosakata yang meriah dan menarik untuk diperiksa dari perhelatan Biennale Jogja (BJ) X 2009 yaitu penggunaan idiom lokal seperti “gugur gunung” dan “gotong royong” yang bersanding dengan penggunaan kosakata Bahasa Inggris sebagai representasi idiom global yaitu: “jamming”. Ketiga kata atau idiom tersebut selalu hadir disebut-sebut dalam setiap terbitan dan menjadi kata kunci perhelatan BJ X 2009. [ Read more ]

biennale Yogyakarta

Seniman dan Masyarakat

February 15, 2011

Biennale Yogyakarta 2011, Nuraini Juliastuti,

Nuraini Juliastuti, Peneliti Kunci Cultural Studies Center, Yogyakarta, Indonesia

Dari waktu ke waktu, para seniman Indonesia selalu berputar di perdebatan tentang definisi hubungannya dengan masyarakat. Turunan dari perdebatan tersebut sangat banyak, tetapi rasanya ia berputar pada hal-hal berikut ini: Apakah arti masyarakat, atau publik? Apakah masyarakat hanya dimaknai sebagai subyek, atau sekedar sebagai sumber inspirasi dan tempat dilakukannya praktik berkesenian? Apa cara terbaik untuk mendekati dan merespon persoalan masyarakat? [ Read more ]

biennale Yogyakarta