Fotografi adalah medium. Ia juga bisa menjadi bahasa. Sarana untuk bercerita, menyampaikan kisah atau sebuah pesan. Lewat gambar-gambar fotografis, sebuah cerita diartikulasi secara personal oleh pembacanya. Beberapa gambar bahkan diartikulasi menjadi sebuah realitas.
Nigerian Monarchs karya George Osodi ini adalah salah satu essay foto yang dibuat untuk memanfaatkan kemampuan medium fotografi itu. Karya ini muncul dari kegelisahan George akan realitas di negerinya akhir-akhir ini. Sebuah realitas yang menurutnya tidak menyenangkan. Kegelisahan George pada negerinya itu kemudian disampaikan secara menarik lewat karya yang hingga kini masih terus ia kerjakan. Sebuah karya yang dibuat agar ia bisa merekonstruksi ulang realitas negerinya.
Nigeria kini adalah sebuah negeri yang sedang bergerak dinamis. Negeri ini adalah salah satu negara terluas di Afrika Barat. Nigeria memiliki kekayaan sumber daya, baik manusia serta alam, yang amat melimpah. Ia kaya minyak dan memiliki etnis yang berwarna. Namun, kekayaan negeri ini selain menguntungkan, rupanya juga sangat merisaukan. Sumber-sumber kekayaan negeri itulah yang selama ini sering menjadi pemicu konflik.
Seperti Indonesia, Nigeria juga sempat menjadi jajahan negara Barat. Baru pada 1 Oktober 1960, Nigeria mendapat kemerdekaan dari Inggris. Lepas dari Inggris, Nigeria akhirnya memasuki pemerintahan diktator dan baru ketika Olusegun Obasanyoda terpilih sebagai presiden, Nigeria memasuki era demokrasi. Olusegun terpilih secara demokratis dengan mengantongi 2/3 suara. Ia diusung oleh People’s Democratic Party (PDP). Ini menjadi tanda berakhirnya masa kediktatoran di Nigeria.
Namun Nigeria yang sejatinya amat beragam itu, belum benar-benar bisa bersatu, karena keberagaman itu juga memunculkan banyak kepentingan. Tercatat, selama lebih kurang 30 tahun Nigeria sempat mengalami perang saudara. Salah satu nya adalah berbagai konflik yang dipicu oleh kelompok Boko Haram yang ingin mendirikan negara Islam murni. Kelompok ini sempat menjadi perhatian dunia karena belum lama ini telah menculik 200 pelajar perempuan. Selain Boko Haram, sejumlah kelompok militan yang tersebar di beberapa penjuru Nigeria sering berkonlik dengan pemerintah, dan menyebarkan teror.
Sejumlah realitas yang terjadi di Nigeria itu diabadikan oleh para pembidik gambar yang kemudian didistribusikan ke berbagai belahan dunia melalui media massa ataupun sosial media. Imaji fotografis seperti itulah yang memonopoli gambaran tentang Nigeria selama ini. Imaji yang kemudian diartikulasi menjadi realitas tentang Nigeria. Gambaran fotografis tentang Nigeria yang “hitam”[1], miskin, penuh dengan konflik dan korup.
Secara faktual, sejumlah gerakan separatis memang sering muncul di dalam negeri. Walaupun kaya akan sumber minyak, tingkat kemiskinan juga cukup tinggi di negara ini. Selain itu Nigeria juga terkenal menjadi salah satu tempat bersarangnya kejahatan terorganisir atau mafia, terutama dalam hal penjualan narkoba. Pembajakan juga kerap terjadi, umumnya menyerang kapal-kapal milik perusahaan penambangan minyak di Delta Niger. Sejak Januari 2007, sudah terhitung sekitar 26 pembajakan dilakukan.
Sejak awal ditemukan, kemudian diproduksi secara massal, kamera telah menjadi benda yang amat revolusioner. Dengan kemampuannya merekam gambar serta memberhentikan momen, kamera telah mencipta revolusi pada sejarah kebudayaan umat manusia.
Apalagi ketika kamera semakin kecil dan semakin terjangkau. Semua orang pun berlomba-lomba memiliki kamera. George Eastman, seorang pebisnis yang melihat peluang besar dari bisnis visual ini, adalah salah satu pioner dari keterjangkauan kamera itu. Dengan tagline, “You Press The Button We Do The Rest” kamera Brownie keluaran Kodak ciptaan Eastman itu, menjadi barang yang ketika itu layaknya camilan populer, jika belum memiliki bisa dianggap tidak mengikuti semangat jaman. Orang- orang pun menjadi penikmat fotografi dan menjadi produsen serta obyek foto itu sendiri.
Wabah itu pun menjangkiti dunia. Fotografi menjadi medium yang sangat berguna. Ia juga digunakan oleh orang-orang yang berkepentingan untuk mencapai tujuannya. Salah satunya adalah rezim yang berkuasa. Citra fotografis yang diproduksi dan direproduksi terus-menerus, lalu disebarkan pada ruang-ruang yang pas, adalah alat sempurna untuk menciptakan realitas ala rezim itu. Ia adalah alat propaganda yang mujarab.
Dalam sejumlah catatan, medium fotografi mulai digunakan untuk mendokumentasikan Afrika, khususnya Afrika Barat dan Tengah, pada tahun 1850 an dan 1860 an. Ketika itu studio foto mulai dibuka di kota-kota pelabuhan seperti Freetown, Monrovia atau Accra.[2] Ketika itu fotografer, termasuk fotografer Afrika sendiri, berlomba-lomba menampilkan Afrika yang eksotis,[3] sekaligus sebagai negeri “hitam”.
Konstruksi bahwa Afrika itu “hitam”, miskin, dan “tidak beradab” adalah salah satu peninggalan kolonialisme yang masih tetap kronis pada era pascakolonial. Oleh para penjajah, Afrika dicitrakan secara fotografis sebagai sesuatu di luar diri mereka. Sesuatu dari negeri jauh yang pada beberapa bagian amat eksotis.
Pada masa kolonial, bagi khalayak pribumi, kamera adalah sesuatu yang tidak tersentuh. Sebuah medium yang asalnya dari negeri barat yang hanya mampu diakses oleh segelintir orang saja. Pribumi menjadi tidak bersuara. Keterbatasan aksesibilitas pada kamera itu pun dimanfaatkan dengan semena oleh segelintir orang yang berkepentingan mengkonstruk realitas orang-orang yang mereka anggap sebagai jajahan. Fotografi kemudian menjadi medium untuk menciptakan citra tentang bangsa Barat yang datang ke benua itu sebagai Mesias untuk memperadabkan Afrika.
Salah satu fotografer asal Afrika yang menampilkan Afrika secara elegan dari mata Afrika sendiri adalah Seydou Keita. Ia adalah salah satu fotografer asal Afrika yang tercatat dalam sejarah fotografi kontemporer dunia. Seydou adalah fotografer asal Mali. Lewat lensanya, Keita menampilkan Afrika yang glamor dan berkelas. Ketika itu, jika warga Mali dan sekitarnya, terutama kalangan atas dan pesohor ingin membuat citra fotografis yang elegan, mereka akan datang ke Keita. Ia berjaya pada tahun 1950-an. Namun Keita baru mendunia puluhan tahun kemudian, ketika ia sudah tidak aktif lagi memotret. Sebelum itu, di Eropa, Seydou Keita hanya dikenal dengan sebutan unknown. Seorang unknown yang memotret wajah-wajah Afrika yang eksotis, yang sesuai dengan harapan masyarakat Barat tentang negeri jauh itu.[4]
Hingga kini, tidak bisa dipungkiri, citra-citra fotografis tentang Afrika yang beredar di dunia kebanyakan adalah gambaran eksotis penuh dengan stereotipe negeri “hitam” itu. Di luar Keita, sejumlah fotografer –baik orang Afrika sendiri- yang namanya tidak tercatat, seringkali masih mencitrakan Afrika dalam satu citra fotografis seperti ini.
Gambar fotografis ini tampaknya sudah menjadi semacam realitas yang dimaklumi kebenarannya oleh khalayak. Ini terbukti, ketika saya sedang melakukan riset sederhana untuk tulisan ini. Saya bertanya kepada sejumlah kawan fotografer tentang apa yang ada di kepala mereka, ketika membicarakan Nigeria dan fotografi. Kebanyakan dari mereka akan menjawab, “Kayaknya fotografinya belum berkembang dan yang kelihatan ya foto-foto tentang kerusuhan, Boko Haram, atau kemiskinan.”
Namun setelah saya berselancar di dunia maya, ternyata ada sebuah essay foto karya fotografer asli Nigeria yang begitu menarik mata saya. Dalam karya itu terlihat para lelaki kulit hitam mengenakan pakaian tradisional berwarna-warni yang tampak begitu berwibawa, dan sangat elegan. Ya, karya itu adalah Nigerian Monarchs, milik George Osodi.
Rekonstruksi Identitas Nigeria Lewat Nigerian Monarchs
George Osodi adalah seorang fotografer kelahiran Nigeria yang sudah memiliki rekam jejak di dunia internasional. Ia mendokumentasikan Nigeria dari berbagai sisi. Ia tidak hanya mendokumentasikan soal-soal yang gelap dan hitam saja. Ia mendokumentasikan Nigeria yang begitu berwarna, Nigeria yang sebenar-benarnya. George adalah salah satu generasi baru fotografi di Nigeria yang memanfaatkan medium ini bukan hanya sebagai alat propaganda yang berkuasa, tetapi sebagai alat untuk merepresentasikan diri, refleksi dan merayakan diri sendiri. Nigerian Monarchs adalah salah satu contoh karya fotografis itu.
Dalam foto essay ini, George memotret para penguasa tradisional dari berbagai kerajaan di Nigeria yang banyak diantaranya telah ada semenjak konsep Nigeria sebagai sebuah negeri belum dimunculkan oleh pemerintahan kolonial Inggris pada tahun 1914.
Bila ditelusur ke belakang, kerajaan-kerajaan tradisional di Nigeria sudah bermunculan lebih dari 2000 tahun yang lalu, termasuk Kerajaan Kanem-Borno, kerajan Hausa dari Katsina, Kano, Zaria dan Gobir di bagian utara Nigeria Utara, Kerajaan Yourba dari Ife, Oyo dan Ijebu di Nigeria Barat Daya dan Kerajaan Benin di sebelah Selatan, serta komunitas Ibo di bagian Timur.[5]
Namun ada sejumlah kerajaan yang baru muncul sesudah tahun 1914, dan bahkan juga ada yang muncul baru-baru saja. Kemunculan kerajaan-kerajaan yang baru saja adalah gambaran dari begitu besarnya tarik ulur kepentingan diantara mereka. Sejumlah kerajaan yang muncul sesudah 1914 kebanyakan adalah bentukan pemerintah kolonial Inggris yang ingin menciptakan Raja-Raja boneka yang dapat mereka kontrol secara langsung.
Memang secara formal dalam pemerintahan negara, kedudukannya tidak terlalu berpengaruh dalam hal kebijakan publik. Namun secara informal para Raja ini memiliki pengaruh sangat kuat diantara rakyat pendukungnya. Hal ini terjadi karena para Raja umumnya memiliki kapital ekonomi, kapital sosial, kultural serta simbolik yang amat kuat.
Pada mulanya Nigeria adalah bagian dari kebudayaan kuno Nok. Perbatasan Nigeria dan Kamerun adalah rumah bagi orang-orang yang berbicara bahasa Bantu, sebuah bahasa yang secara umum menjadi bahasa ibu bagi banyak negara-negara Afrika di bagian selatan Gurun Sahara. Kini tercatat kurang lebih ada 500 kerajaan tradisional di Nigeria. Masing-masing kerajaan itu memiliki corak dan warna yang beragam. Masing-masing juga memiliki pemerintahan dan kepemimpinan tradisional yang khas sesuai dengan adat tradisi serta pengalaman sejarah mereka masing-masing.
Para pemimpin tradisional ini mendapat pengakuan akan kekuasaanya dari kesetian rakyat mereka, walaupun tidak ada Undang-Undang yang menjadi dasarnya. Kekuasaan kerajaan-kerajaan tradisional ini dibiayai oleh kekayaan serta properti yang diwariskan, selain itu juga berbagai kontribusi dari seluruh anggota komunitas.
Kebanyakan dari kelompok etnis ini tersebar di sepanjang Delta Niger, tempat dimana sumber daya alam Nigeria yang paling kaya tersembunyi. Perebutan kuasa atas ladang-ladang minyak yang besar itu pulalah yang seringkali menjadi sumber konflik antar klan di Nigeria. Selain juga karena sejumlah perbedaan keyakinan dan kepentingan yang sudah tidak bisa dijembatani lagi secara damai.
Dalam rentetan foto itu, Para Raja serta para pendampinya tampak berpose secara kaku di hadapan kamera George. Mereka pun mengenakan pakaian kebesaran lengkap beserta ornamen-ornamennya. Para Raja beserta pendampingnya, dipotret dilatari interior desain istana. Hal ini menggambarkan kekuasaan atas rakyat mereka. Beberapa Raja juga tampak duduk di atas kursi kebesarannya. Secara simbolik foto semacam ini jelas sebuah afirmasi atas bentuk kekuasaan. Dalam konteks ini adalah, kekuasaan para Raja ini atas rakyat Nigeria di daerah yang mereka kuasai.
Foto-foto ini memang tampak berjarak. Namun justru jarak inilah yang membuat rakyat serta pemerintahan Nigeria segan kepada para pemegang kekuasaan Monarki ini. Para Raja ini justru yang paling kenal dan ‘dekat’ dengan rakyat Nigeria, karena keterbatasan wilayah kekuasaan membuat mereka sering berhubungan secara langsung dengan rakyat. Kekuasaan para Raja ini masih bisa terus hidup, justru karena mereka dihidupi oleh loyalitas rakyat. Dalam beberapa hal, menurut George, pendapat para Raja ini akan lebih didengar dibanding pendapat Presiden atau bahkan Tuhan sekalipun.
Cara mendokumentasikan yang demikian itu adalah upaya George menampilkan Nigeria yang berwibawa dan tidak sehitam seperti yang selama ini ditampilkan. Dengan barisan foto yang berwarna-warni, serta barisan jubah yang tampak anggun dan elegan, George ingin menggambarkan bahwa orang-orang Nigeria adalah orang-orang yang bangga akan dirinya sendiri, akan identitasnya serta akan kebudayaannya.
Nigerian Monarchs adalah gambaran bahwa Nigeria memiliki kekayaan yang tidak banyak dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Oleh karena itu, kekayaan ini tidak seharusnya menjadi sumber konflik yang membabibuta. Bagi George, keberagaman ini adalah harta karun Nigeria yang seharusnya menjadi sumber kebanggaan seluruh bangsa. Sebuah identitas Nigeria yang kaya warna namun tetap harmonis dalam perbedaan.
Lewat essay foto ini, George ingin merekonstruksi identitas Nigeria. George ingin merayakan identitas ke-Nigeriaan-nya. Lewat dokumentasi serta arsip-arsip visual ini, George berharap khalayak pembaca Nigerian Monarchs dapat semakin mengerti sejarah bangsa Nigeria. Dan selanjutnya, ia berharap, hal ini bisa menjadi cara ampuh untuk mengembangkan rasa cinta pada identitas nasional bangsa Nigeria.
Kecintaan pada identitas nasional Nigeria ini menjadi begitu krusial karena berbagai konflik yang terjadi selama ini adalah gambaran betapa bangsa Nigeria belum benar-benar mengenal, atau menurut George, sudah melupakan budaya serta sejarahnya sendiri. Jika diri sendiri belum benar-benar mengenal diri, bagaimana mungkin orang luar juga akan mengenal mereka dengan baik.
Jika kita tidak mengenal diri dengan baik dan tidak mewartakan yang baik ke luar, maka orang luar akan memiliki kuasa untuk mewartakan hal apapun yang dianggap laku dijual. Berbagai stereotipe serta hal-hal kontroversiallah yang akan diwartakan. Sudah saatnya, menurut George, orang Nigeria sendiri, bercermin pada budaya sendiri, bangga akan hal itu lalu menampilkannya pada dunia luar.
Nigerian Monarchs adalah on going project. Hingga kini George masih terus mendokumentasikan Raja-Raja kecil Nigeria yang tersebar di penjuru negri. Perjalanan jauh serta akses ke para Raja ini yang ternyata tidak mudah, membuat projek ini menjadi projek yang tidak sebentar. Namun, hingga kini, tanggapan amat positif telah bermunculan dari khalayak. Karya George ini telah melanglang buana dan dipamerkan di sejumlah negara Eropa. Khalayak Nigeria sendiri pun amat positif menyambut karya ini, karena akhirnya ada mata Nigeria sendiri yang mengabadikan Nigeria sebenar-sebenarnya.
Penulis: Lucia Dianawuri (Peneliti Pusaka Institut)
*Gambar: Unknown gunmen have stormed a viewing center in Nigeria’s northeastern town of Potiskum, killing two people and leaving several others wounded. http://www.presstv.ir/detail/2014 /04/10/357985/two-killed-in- nigeria-viewing-center-attack/
______________
[1]Hitam di sini adalah metafora terhadap situasi yang buruk, negatif. Berkebalikan dengan putih yang secara umum dipersepsikan orang sebagai kondisi yang baik, bersih, atau tidak tercela.
[2] http://africaphotography.org/about
[3] Ini tidak jauh berbeda dengan terma Moi Indie (Beautiful Indies) di Nusantara. Saat Nusantara masih dikolonisasi oleh Barat, foto-foto juga lukisan-lukisan yang ditampilkan adalah, citra-citra yang menampilkan eksotisme visual Nusantara. Hindia-Belanda yang cantik dan indah.
[4] BBC The Genius of Photography, episode 6
[5] http://www.kingdomsofnigeria.com/history.php
Referensi :
Peres, Michael R (ed), Focal Encyclopedia of Photography, 4th Edition, Oxford:
Elsevier Inc., 2007.
Sumber foto-foto Nigerian Monarchs http://georgeosodi.photoshelter.com/gallery/NIGERIAN-MONARCHS/G0000X9MCoZDi.bE/
Sumber foto Kemiskinan Afrika http://www.b.dk/kommentarer/afrika-i-vore-hjerter
Sumber foto Kekerasan di Nigeria http://www.bet.com/news/global/2014/03/03/nigeria-bloodshed-continues-with-32-dead.html
Sumber foto Unknown Gunmen in Nigeria http://www.presstv.ir/detail/2014/04/10/357985/two-killed-in-nigeria-viewing-center-attack/
Film New African Photography 2013 episode George Osodi, Produksi Aljazeera
Film BBC The Genius of Photography episode 6, Produksi BBC