Sisi Lain Nollywood

Banyak hal yang bisa dibahas ketika membicarakan Nollywood saat ini. Meski perkembangan Nollywood melesat, masa depan film Nigeria justru nampak agak suram. Jalan yang ditempuh Nollywood memang tidak mulus setelah dua puluh tahun lebih keberadaannya diterima masyarakat. Harapannya, hal itu dilakukan untuk kemajuan industri film lokal secara umum.

Jalan Berliku Nollywood

Mengapa perlu dibedakan antara film Nollywood dan Nigeria? Jauh sebelum Kenneth Nnebue dan Alade Aromire membuat gebrakan dengan ‘Nollywood’nya, para pembuat film seperti Hubert Ogunde, Moses Adejumo dan Adeyemi Afolayan (Ade-Love) serta Ola Balogun telah memproduksi sekaligus menampilkan karya-karya mereka di bioskop berskala nasional sejak tahun 1960 hingga pertengahan tahun 80an. Jika dilihat dari kualitasnya pada saat itu, tidak diragukan lagi, film Nigeria sedang menuju masa kejayaannya.

Meski demikian, jalan masih berliku, terlebih lagi karena kebijakan keuangan yang tidak tepat, yang dikeluarkan oleh rezim militer, tidak memberi ruang bagi masyarakat untuk menikmati kemakmuran yang seharusnya menjadi hak mereka atas oil boom. Kerasnya hidup tidak hanya dihadapi oleh para produsen ataupun pembuat film, tetapi juga masyarakat, yang sekaligus adalah penonton. Para cinema goer lebih memilih untuk menghindari bioskop karena persoalan keamanan. Banyak rumah produksi yang gulung tikar karena semakin mahalnya harga pita seluloid serta tidak murahnya ongkos produksi. Meski di sisi lain, dunia hiburan tidak pernah sepi.

Tak lama kemudian, Nollywood membanjiri seluruh negeri. Adegan diambil dengan video kamera digital yang lebih terjangkau, bukan dengan pita, film-film ‘Nollywood’ beredar melalui video (yang kini berupa VCD dan DVD), langsung ke tangan masyarakat. Masyarakat pun tidak lagi perlu menggadaikan resiko keamanannya untuk menikmati film di tempat umum.

Living in a Bondage, digemborkan sebagai film Nollywood pertama, yang terdiri dari dua seri film bergenre thriller dan disutradarai oleh Chris Obi Rapu serta ditulis oleh Okechukwu Ogunjiofor (yang juga membintangi film tersebut). Diluncurkan pada tahun 1992, film tersebut diproduseri dan proses penulisannya juga dibantu oleh Kenneth Nnebue dari NEK Ventures yang secara kebetulan memiliki setumpuk video tape yang sudah tidak terpakai di tokonya. Dengan disalin ke dalam video tape tersebut, film juga di-dubbing dengan banyak bahasa. Dengan demikian, film tersebut bisa menjadi pembicaraan di tingkat nasional, meski diproduksi dalam bahasa Igbo, bahasa lokal dari masyarakat Nigeria di bagian tenggara.

Sudah cukup diketahui publik bahwa film pertama yang diproduksi secara digital ialah film berjudul Ekun (Tiger) yang diproduksi oleh sutradara Yoruba, Alade Aromire, yang telah meninggal. Meski diproduksi pada tahun 1986, film tersebut baru diluncurkan di tahun 1989, setelah para sutradara muda dikabarkan bermasalah dengan para pembuat film tradisional yang berkarya menggunakan pita seluloid.

Setelah menyaksikan kesuksesan yang diraih oleh Living in Bondage, banyak yang kemudian berlomba-lomba menirunya, industri film pun menjamur. Meski pada saat itu, sub-sektor dari film Nigeria yang berkembang pesat ini belum ada nama spesifiknya, kebanyakan sudah cukup familiar dengan sifat dan karakternya: yakni dengan dana dan kru yang minim, serta penggunaan alat yang minim, dan yang terpenting ialah waktu produksi yang juga sangat minim.

Beberapa film Nollywood bahkan dikabarkan hanya diproduksi selama lebih dari dua hari dan kebanyakan sutradara juga meromantisasi singkatnya waktu, apa yang mereka bisa lakukan dalam waktu yang singkat tersebut sembari mempertanyakan proses produksi yang dilakukan lebih dari enam bulan untuk satu film saja.

Setelah beberapa film bertema pembunuhan diproduksi dengan alur yang kurang lebih serupa dengan Living in Bondage (kisah seorang lelaki muda yang membunuh istrinya untuk kepentingan ritual demi mendatangkan uang, yang kemudian dihantui oleh arwah istri yang dibunuhnya tersebut), barangkali orang akan bisa menilai bahwa cerita semacam itu sudah sedemikian berlebihan. Hal ini kemudian berpengaruh pada pergeseran tren cerita, mengarah ke cerita yang sepenuhnya berisi kejahatan; hikayat kepahlawanan; drama romantis dan komedi-komedi slapstick (komedi fisik, mengandalkan gerak ketimbang dialog atau monolog pemainnya). Hampir tidak ada perubahan yang terjadi terkait dengan tema, akan tetapi terdapat perbedaan pada cara penyampaian. Kini, kita bisa menemukan para penulis naskah dan sutradara yang cukup cakap dalam Nollywood. Akan tetapi apakah mereka tidak keberatan dengan istilah Nollywood?

Bukan Nollywood
Yang menjadi alasan lain untuk melakukan pemisahan antara Nollywood dengan industri film lain adalah karena adanya bayang-bayang sektor film berbahasa daerah, terutama dari bahasa Hausa (Kannywood yang berbasis di Kano, Nigeria bagian Utara) dan pembuat film Yoruba (belum diberi nama tetapi sering disebut dengan Yoruwood, Yorywood atau Yollywood). Meski Living in Bondage diproduksi dalam bahasa Igbo, film ini banyak mempengaruhi film-film yang diproduksi dalam bahasa Inggris, yang pada akhirnya menunjukkan perbedaan kuantitas antara film yang berbahasa Igbo, Hausa dan Yoruba.

Industri-industri yang belakangan ini muncul juga menganggap bahwa produksi mereka lebih profesional daripada produksi Nollywood, serta banyak diproduksi dalam bahasa Inggris. Pernyataan yang sebenarnya bisa dimengerti, mengingat narasi-narasi serta kecenderungan akting dalam Nollywood. Akan tetapi, jika dicermati lagi, adanya proses editing yang tidak maksimal, kualitas suara yang buruk, dan terdapat banyak teks terjemahan yang tidak tepat, menjadikannya tidak beda dengan Nollywood. Cerita-cerita yang diangkat pun mirip, hal itu barangkali dikarenakan kebanyakan penonton lebih memprioritaskan kisah atau cerita yang diangkat dalam film, bukan pada detail proses pengerjaannya sehingga kebanyakan pembuat film Nollywood juga tidak terlalu ambil pusing dengan cara penyampaian cerita yang indah atau teknik pembuatan film yang maju.

Dengan nada serupa, tidak semua pembuat film yang memproduksi karyanya dalam bahasa Inggris sepakat dengan label Nollywood. Orang-orang seperti Mahmood Ali-Ablogun, Tunde Kelani dan Kunle Afolayan (Kelani dan Afolayanlah yang telah melalui dunia film Inggris dan Yoruba) sudah sejak lama tidak sepakat dengan label tersebut. Mereka tidak sepakat karena merasa telah berusaha melampaui standar Nollywood yang proses editing dan aktingnya dianggap buruk, ketiadaan fokus direktorial, kostum yang tidak sesuai, serta pencahayaan yang tidak tepat, serta kekurangan aspek sinematik lain.

Skeptisisme ini bisa saja berkurang. Banyak pemirsa Nollywood–termasuk para peneliti pemula–tidak menyadari atau bahkan menolak adanya perbedaan pada bahasa dan kualitas produksi. Dengan standar mereka, semua film Nigeria bisa diklasifikasi atau dilabeli dengan ‘Nollywood’.

Bahkan mereka yang tadinya menolak akhirnya menerima label tersebut, alasannya ialah untuk kebaikan industri secara keseluruhan: jika istilah yang berkonotasi negatif tersebut mampu memancing rasa penasaran, mengapa harus ditolak? Tentu saja, hanya sedikit yang tahu, mengapa film Half of A Yellow Sun yang diproduksi dalam situasi yang sudah tertebak, dengan dana internasional serta kru dan pemain dari Hollywood, dengan bangga menyandang label Nollywood, yang justru dirasa memalukan oleh kebanyakan orang.

Jika dimungkinkan maka di sisi lain, keriuhan juga akan muncul karena perubahan nama Nollywood menjadi istilah yang tidak dikenal. Sementara di sisi lain, terdapat sekelompok orang yang memilih untuk ‘memadatkan’ beberapa industri film Nigeria yang berbeda satu sama lain (seperti film berbahasa adat, film religi, serta industri yang disebut dengan industri film Nigeria baru), supaya bisa berdiri sendiri secara independen dan saling bergantung satu sama lain di bawah bendera Nollywood yang sudah cukup dikenal dan mengesampingkan apa yang sudah terjadi. Pendapat tersebut sudah muncul dalam berbagai cara, respon atasnya pun juga beragam.

Hal ini sangatlah mungkin. Meski para seniman mendefinisikan keberadaan mereka dalam konsep New Nollywood, Off-Nollywood, Neo Nollywood atau bahkan Sinema Nigeria Baru tidak berencana untuk turun dari panggung dalam waktu dekat, ataupun lebur dalam industri dengan karakter tertentu yang ingin mereka hindari.

Yang dimaksud di sini ialah bahwa Nollywood bisa kehilangan momennya untuk memajukan film Nigeria melalui cara-cara populis (dengan wajah-wajah populer, strategi distribusi yang efektif, serta perhatian internasional). Hal ini hanya akan membuat Nollywood menjadi kenangan yang sering kali diromantisasi: barangkali namanya akan tetap hidup, akan tetapi sebagai label, berpotensi digunakan secara tidak tepat, terutama oleh pembuat film tingkat pemula yang tiap hari muncul di dalam dunia perfilman Nigeria. Oke, barangkali tidak demikian, karena Nollywood sendiri juga secara bertahap melakukan perombakan diri.

Satu hal yang menandai adanya perubahan dari film-film pasca-Nollywood ini sangat terlihat dari kemajuan kualitas produksi, mengingat kebanyakan film-film Nigeria yang muncul akhir-akhir ini berangkat dari keseharian. Meski film-film ini sekilas terlihat lebih baik, beberapa di antaranya masih mengangkat cerita ala Nollywood, yang kebanyakan datang dari sudut pandang pebisnis, bukannya seniman.

Hal itu bisa dilihat misalnya dari fokus tematiknya, dikembangkan dari kisah-kisah cinta monoton berbasis kelas, drama sajarah, dan hal-hal yang mempertontonkan kekuatan egosentris, serta kisah-kisah fetis yang tidak realistis hingga horor psikologis; sejenis genre horor Hollywood; komedi romantis (seperti Phone Swap-nya Kunle Afolayan dan Flower Girl-nya Michelle Bello) dan tema-tema eksperimental lain. Meski tidak bisa disangkal bahwa kebanyakan alur ceritanya masih tertebak dan akhir ceritanya buruk.

Film thriller seperti Ojuju-nya C.J. Obasi dan Secret Room-nya Eneaji Chris mampu menahan para penonton untuk mengikutinya sampai akhir. Kekerasan terhadap anak-anak serta kekerasan dalam rumah tangga juga merupakan tema yang dikerjakan dengan sangat bagus dalam Silence-nya Alex Mouth-Helmed. Meski bukan berarti tanpa cacat, penyutradaraan dan teknik pencahayaan Mouth membuka harapan baru bagi industri.

Small Boy merupakan karya pertama dari Michelle Bello yang sulit untuk dikategorikan sebagai Nollywood. Selain itu ada B for Boy, dibuat oleh Anadu yang juga sulit dikatakan sebagai Nollywood karena teknik dan sentuhan yang ada pada film ini. Meski demikian, film ini masih mengangkat isu yang sangat sering diangkat dalam Nollywood, yakni persoalan kemandulan dan anggapan masyarakat yang mengidentikkannya sebagai kesalahan perempuan.

Selain persoalan tema, para sineas di Nigeria–terlepas dari generasi dan pendidikannya–masih menghadapi persoalan dana dan distribusi serta pembajakan. Ketiadaan struktur distribusi yang kokoh, membuat film bajakan menjadi produk yang digemari dan tersebar ke seluruh penjuru negeri. Film-film bajakan yang tersedia tersebut kini jarang disesali para sineas.

Para pembuat film komersil seperti Ememlsong telah belajar untuk memanipulasi struktur pasar demi meraih keuntungan. Tak jarang, mereka juga melakukan dua kali pengambilan gambar secara bersamaan, dengan produksi yang dibiayai distributor ataupun kolektif seniman. Dengan tersedianya uang pra-produksi dan uang hasil penjualan DVD, tidak mengherankan, jika ia bisa menghasilkan minimal dua film bioskop serta beberapa film lain yang tersebar melalui DVD setiap tahunnya. Sedangkan beberapa sineas artistik masih mengedepankan etika dalam proses produksinya, yang pada akhirnya membuat para produser dan sutradara harus terjerat hutang ataupun dilanda kebangkrutan.

Selain menginvestasikan tabungan pribadi mereka, para sineas ini telah mengganti rute penempatan produk, dengan sponsor perusahaan dan merekomendasikan produk dari perusahaan tersebut dalam film. Hal ini kadang tidak terlalu menyenangkan bagi para penonton, yang kadang tidak paham mengapa ketika mereka menonton film terdapat iklan, dan ketika menonton iklan, terdapat beberapa cuplikan film.

Sementara itu, para sineas lain mendapatkan dukungan finansial dari individu dan perusahaan swasta, seperti produksi film Invasion 1897 yang diproduksi oleh Lancelot Imasuen (tentang serangan Inggris terhadap kerajaan Benin pada abad 19).

Saat ini banyak produksi yang dikerjakan secara internasional, karena banyak sineas muda yang berkesempatan belajar di luar negeri untuk melanjutkan eksperimen Nollywood. Film Confusion Na Wa yang dibuat oleh Kenneth Gyang, sampai saat ini masih melakukan perjalanan di sirkuit festival dan melakukan pemutaran film spesial secara global. Sementara B For Boynya Anadu juga telah menerima penghargaan karena upayanya dalam mengusahakan terobosan baru. Penghargaan tersebut didapat dari lembaga-lembaga film, baik dari Inggris dan Amerika. Hal-hal tersebut bisa diraih karena adanya dana internasional serta kolaborasi yang pernah dilakukan jauh-jauh hari sebelum masa Nollywood. Anadu dan Gyang merupakan alumni dari Berlin Talent Campus, suatu platform dan jaringan pendidikan global bagi praktisi dan peminat film. Anadu juga pernah berpartisipasi dalam residensi yang dibiayai Cannes, yang mendampinginya menyelesaikan naskah B For Boy.

Kesempatan-kesempatan semacam itu cukup langka bagi para sineas Nollywood klasik. Meski menarik, karya-karya mereka belum memenuhi standard sinematik. Meski, kesempatan ke luar negeri bukan satu-satunya yang diharapkan.

Dukungan lokal lainnya juga didapat dari dana pemerintah. Para sineas menerima jumlah yang beragam hingga 10 juta Naira untuk menyelesaikan produksi yang sebelumnya telah mereka anggarkan tidak kurang dari 20 film Nollywood.

Saat ini, jalan menguntungkan yang bisa ditempuh oleh film Nigeria ialah melalui penyebaran di bioskop–kembali ke masa pra-Nollywood. Munculnya kembali bioskop pada tahun 2004, serta DCP yang akomodatif, membuat para sineas Nollywood terjebak dalam hiruk-pikuk karpet merah dan mulai bergairah dalam mengorganisasi pertunjukan film perdana. Pertunjukan-pertunjukan tidak terbatas dilakukan pada ruang bioskop, tetapi juga di tengah-tengah peristiwa publik serta hotel, karena pada mulanya tidak banyak bioskop yang tertarik dengan Nollywood.

Mengingat pertunjukan perdana dari sebuah film merupakan faktor penting untuk kepentingan pemasaran, beberapa sutradara kemudian ‘memperpanjang karpet merah’. Meski hal ini terbatas karena bentuknya, perpanjangannya juga tidak sampai ke isi, seperti yang disebutkan sebelumnya.

Selain mengenai hal-hal yang ada di permukaan, film-film seperti The Meeting yang dibuat oleh Mildred Okwo dan Silence seperti disebutkan sebelumnya cukup mengejutkan. Dalam The Meeting, Rita Dominic berperan sebagai pegawai negeri yang korup–cukup berbeda dari peran biasanya sebagai perempuan cantik dalam melodrama Nollywood. Di film Silence yang berbahasa Inggris, Iyabo Ojo, aktris dari industri film Yoruba, berperan menjadi ibu rumah tangga yang menyembunyikan ingatannya atas kekerasan yang dialami pada masa kecilnya, melalui air mukanya yang dingin dan keras. Baik Dominic maupun Ojo keluar dari peran yang biasa ia mainkan untuk menunjukkan kemampuan mereka ketika menghadapi naskah yang berbeda.

Karya lain ialah Misfit, sebuah thriller psikologis yang dibuat oleh Daniel Oriahi. Karakter utama perempuan tanpa nama dalam film ini diperankan oleh Ijeoma Agu, yang diculik dan disiksa dalam penyekapan yang menyedihkan. Ketidakmungkinan memasukkan daya tarik dalam peran ini disadari oleh Agu dan Oriahi. Imajinasi ulang atas film ini sebagai standar Nollywood, mungkin dilakukan, dengan menempatkan film ini sebagai film horor.

Film-film ini telah membuktikan keberadaannya yang berbeda satu sama lain. Seni dalam bermain peran kini lebih dibuat sederhana meski kadang sedikit berlebihan. Proses edit, pencahayaan dan suara kini dikerjakan secara lebih profesional dan soundtrack orisinil sekarang sudah bisa ditemukan dari film Nigeria. Hal ini lain berbeda dengan kebiasaan sebelumnya, memasukkan lagu yang sedang banyak didengarkan orang ke dalam film.

Sementara kebanyakan film masih menaruh perhatian untuk memberi tontonan kosong pada penonton, film lainnya sudah lebih memiliki nuansa, dan memperhatikan detail lebih kecil yang filmic dan luar biasa. Linearitas yang ada pada Nollywood kini bukan lagi sebuah dongeng.

Jika ingin melihat kejutan, film A Mile from Home yang dibuat oleh Eric Aghimien dan Onye Ozi (the Messenger) yang dibuat oleh Emelonye, merupakan film yang tidak pernah muncul di bioskop, tetapi bisa langsung ditemukan dalam DVD, seperti kebanyakan film Nollywood lain. Dengan kemunculan 40 film di tiap minggunya, ruang yang terdapat dalam bioskop 21 Nigeria hampir tidak ada.

Akan tetapi jika ada film yang masuk sebagai film bioskop, film-film box office seperti October 1, Ije, 30 Days in Atlanta, dan Return of Jenifa menunjukkan bahwa film-film lokal bisa lebih baik dari pada film blockbuster Hollywood yang tengah tayang di bioskop Nigeria. Selain perlu dana dalam mengembangkan kreativitas, campur tangan dalam distribusi dan pertunjukan film Nigeria baik di dalam maupun di luar negeri perlu dilakukan, supaya para sineas bisa mendapatkan keuntungan dari hak kekayaan intelektual mereka.

Melangkah ke depan
Selama sepuluh tahun ke belakang, industri film Nigeria telah mengalami perubahan berarti. Para praktisi film dan pemerintah di semua level telah mencurahkan kapasitas, kemampuan serta dukungannya. Organisasi-organisasi seperti Afrinolly, Goethe-Institut dan Unilever secara terus menerus menyediakan platform dalam kolaborasi kreatif dan pendanaan. Wacana seputar film Nigeria tersebar luas dan dapat ditemukan dari konferensi akademis dan workshop-workshop pembentukan kebijakan hingga obrolan umum. Jurnalisme film–online dan cetak–sedang menanjak, perusahaan media pun sudah lebih menyadari peran mereka dalam kemajuan industri tersebut.

Berdasarkan peristiwa-peristiwa pseudo-seismik ini, sangatlah mungkin membayangkan peran Nollywood dalam perfilman Nigeria di masa mendatang. Nollywood lebih dari industri, Nollywood ialah sebuah pengaruh, genre sekaligus fase, yang meluas melampaui akarnya. Seperti yang ditemukan dalam proses pembuatan film beberapa tahun lalu, Nollywood telah merajut jalan untuk era baru kreativitas pasca-Nollywood yang telah melewati masa di mana film DVD dan film bioskop dipisahkan, yang butuh beberapa tahun untuk dilewati.

Barangkali, perhatian dunia saat ini, bukan diarahkan pada pertimbangan yang salah, tetapi karena Nollywood (dengan ribuan manifestasinya) layak bersanding dengan Hollywood dan Bollywood. Para sineas Nigeria yang kini tersebar di Inggris, Amerika dan ke pelosok Eropa, kini telah menciptakan karya mereka sendiri, film-film yang terinspirasi oleh Nollywood. Pengaruhnya pada alur dan gaya terlihat jelas di beberapa film yang tersebar antar-benua.

Nollywood bisa berlanjut sebagai sebuah ‘genre’ yang semoga saja terus berkembang, yang berputar dalam rantai film instan. Atau bisa juga menjadi era di mana film Nigeria pernah disebut atau juga dikatakan sebagai era yang sedang berlangsung, atau ‘mediocrity’. Atau mungkin, hanya mungkin, segala macam ekspresi yang terdapat pada film Nigeria–baik secara lokal maupun internasional–tidak dipusingkan lagi ataupun tidak menumbulkan kontroversi dengan memikul label tersebut dan menghidupinya. Kisah cerita yang bahagia pada akhir hayat juga nampaknya menjadi alur yang ideal bagi Nollywood.

Penulis: Aderinsola Ajao (Programme Officer Goethe Institut Lagos-Nigeria, Kritikus Film dan Seorang Jurnalis)
Penerjemah: Lisistrata Lusandiana.