Catatan dari Biennale Forum Biennale Jogja XIII

BIENNALE FORUM sebagai rangkaian program Biennale Jogja XIII telah dilaksanakan pada 17 – 19 November 2015. Program ini merupakan sebentuk simposium akademis yang bertujuan untuk membincangkan, mendiskusikan,  dan menyebarkan wacana-wacana baru dalam ranah seni rupa kontemporer yang berbasis pada praktik seni yang dijumpai pada BJ XIII. Biennale Forum sendiri merupakan sebuah tradisi yang telah dimulai pada BJXII yang mencoba memperluas pula cakupan pembicaraan pada lingkup seni Asia dan bahkan wilayah geografis yang lebih luas.

Tema Biennale Forum 2015 adalah “Perbincangan tentang Lokal, Kosmopolitan dan Relasional”, terutama untuk melihat praktik pertukaran kebudayaan dan bentuk-bentuk seni partisipatoris yang banyak dipertunjukkan oleh seniman-seniman yang terlibat dalam BJ XIII Hacking Conflict. Selain mengundang praktisi, akademisi, kurator, dan pelaku seni dari berbagai wilayah di Asia, tahun ini, bekerja sama dengan Simposium Khatulistiwa dan Indo/Art/Now, Biennale Forum berhasil menghadirkan kurator Perancis yang sangat berpengaruh, Nicolas Bourriaud. Tema perbincangan yang beragam dan kapabilitas para pembicara telah menarik perhatian publik sehingga acara ini dihadiri lebih dari 150 orang setiap harinya, termasuk para tamu dan penonton BJ XIII yang berasal dari berbagai negara.

Hari pertama Biennale Forum dilangsungkan di Gedung Societet Militer Taman Budaya Yogyakarta, menghadirkan Nicolas Bourriaud dengan tema kuliah “20 tahun Perjalanan dari Relational Aesthetic  menuju Altermodern”. Sebagai kurator, Bourriaud telah melaksanakan pameran-pameran penting yang dianggap memberikan perubahan bagi lanskap seni rupa kontemporer, termasuk pamerannya yang berfokus pada gagasan relational aesthetic . Bourriaud memberikan ilustrasi tentang bagaimana perubahan kebudayaan dan lingkup seni terutama berbasis pada gagasan tentang anthropocene di mana persoalan kemanusiaan dan bagaimana manusia itu sendiri beroperasi dalam semesta telah berubah karena adanya inovasi-inovasi baru dalam teknologi. Bourriaud menyebut bahwa pemikiran-pemikiran inilah yang mengantarnya pada gagasan pameran The Great Acceleration, Taipei Biennial 2014. Relasi antara manusia-objek, dan bagaimana ini mempengaruhi praktik penciptaan kesenian juga menjadi perhatian penting bagi NB.

Selanjutnya, setelah kuliah umum, Enin Supriyanto selaku moderator acara bersama dengan penanggap Agung Hujatnika, Alia Swastika, dan Antariksa melanjutkan percakapan untuk mencoba membawa perbincangan ke dalam konteks lokal Asia, dan terutama Indonesia. Pada hari pertama yang dihadiri oleh 200 orang pengunjung ini, para audiens sangat aktif mengajukan pertanyaan pada NB.

Pada hari kedua dan ketiga Biennale Forum yang diadakan di Concert Hall Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia, format diskusi lebih diarahkan menjadi perbicangan panelis. Pada 18 November, tampil tiga pembicara yaitu Agung Hujatnika (Indonesia), Vera Mey (Kamboja/Indonesia), dan Janice Kim (Korea Selatan) yang dimoderatori oleh Chabib Duta Hapsoro. Ketiga pembicara memberikan pemaparan tentang praktik masing-masing yang berkaitan dengan pertukaran budaya, gagasan tentang mobilitas dan internasionalisme. Agung memresentasikan pameran-pameran yang ia kerjakan, mulai dari Biennale Jakarta 2009, Bandung Pavillion di Shanghai Biennale 2011, dan juga Biennale Jogja XII. Vera Mey memberikan penjelasan tentang bagaimana Singapura melalui berbagai program residensinya berusaha untuk menghubungkan praktik-praktik seni yang beragam di lingkup Asia Tenggara dan menghubungkannya dengan dunia internasional. Janice melengkapi dengan bagaimana praktik internasionalisme dan pertukaran kebudayaan diaplikasikan dalam konteks Korea Selatan.

Pada hari ketiga, 19 November, Kepala Kurator Mori Museum of Art, Tokyo, Jepang, Mami Kataoka, memberikan respons yang menarik terhadap pemaparan NB mengenai relational aesthetic  dan menunjukkan bagaimana gagasan ini berkembang dalam konteks Asia. Dalam kuliahnya yang dilengkapi dengan gambar-gambar menarik, Kataoka menunjukkan bahwa praktik-praktik relational aesthetic  dan participatory art in Asia terutama banyak berlandaskan pada filosofi-filosofi Budhisme, dan bagaimana relasi sosial di Asia yang secara alamiah berkembang di masyarakat sendiri.

Selanjutnya, sebagai penutup, diskusi panel melibatkan Joned Suryatmoko, Rain Rosidi dan Syafiatudina yang merespon praktik-praktik seni partisipatoris dalam konteks seni Indonesia. Dimoderatori oleh Lisistrata Lusandiana, masing-masing pembicara membawakan kasus dari pertemuan dan persinggungan mereka dengan kerja kolaborasi, baik antar seniman, antar institusi maupun seniman dengan masyarakat.

Biennale Forum BJ XIII merupakan hasil kerjasama yang erat antara Yayasan Biennale Yogyakarta, Indo/Art/Now, Taman Budaya Yogyakarta, Insitute Indonesia Perancis dan Program Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.