Tema: Festival Tanah: “Lemahku Kekuatanku”
Waktu: Jumat, 30 Oktober 2015, 13.00-23.00 WIB
Tempat: Dusun Dobangsan, Giripeni, Wates, Kulon Progo
Acara: Pameran Karya Seni Instalasi, Panggung Rupa Bunyi, Pergelaran Wayang Sawah, Gejog Lesung Paras Peni Budoyo, BBDKK, Kelompok Bermain Yudistira, dan Pasar Pangan Sehat.
“Memperlakukan tanah dengan semestinya adalah tanggung jawab kita sebagai manusia. Bukan sekadar oleh petani, tapi semua manusia dengan kesadaran akan pentingnya tanah” — Teguh Paino, seniman tani Kulon Progo.
Isu tanah, pemberdayaan desa, dan kemandirian petani menjadi isu sentral yang coba dikelola pemerintahan terkini dengan sangat serius. Bukan saja ini tampak dari kucuran finansial yang langsung masuk ke kas desa, tapi juga nyaris seluruh program kerja diarahkan untuk menjadikan desa sebagai basis kekuatan baru pertahanan negara.
Bersamaan dengan semangat perubahan itu, desa juga menyimpan enigma konflik yang laten. Masuknya kultur baru, pemodal besar dari luar, kemiskinan struktural petani, dan rentannya budaya setempat adalah sekam yang terus berapi di arus bawah.
Festival kebudayaan dipandang menjadi cara wicara yang lain untuk membaca dan mengurai sekam itu agar tidak menjadi bara dan magma dengan daya ledak mematikan potensi desa itu sendiri. Dalam festival, khususnya festival desa atau wiwitan, suara-suara yang tertekan diberi tempat, kelompok-kelompok marjinal diajeni, dan warga diberi kesempatan partisipasi yang luas.
Desa Giripeni, Wates, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi percobaan festival kesekian untuk melihat desa bukan sebagai ancaman, tapi potensi pertahanan negara yang kuat. Khususnya pertanahan budaya dan ekonomi kecil/menengah.
Di bawah tajuk “Festival Tanah: Lemahku Kekuatanku”, wiwitan desa ini mempertemukan pelaku seni rupa kontemporer dengan komunitas tani. Kelompok kesini@an dan Kelompok Tani Martani secara kolektif bekerja secara gotong dan royong menyasar persoalan kontekstual dalam masyarakat perihal tanah melalui model kerja estetik yang dipahami warga.
Kelompok kesini@n dikelola 10 perupa di bawah pimpinan Teguh Paino. Menurut Teguh, kesini@an terbentuk karena kepedulian mereka terhadap dunia seni rupa di Kulon Progo pada tahun 2009. “Kulon Progo selama ini perkembangan seni rupanya belum terbaca di Yogyakarta,” kata Teguh Paino. Sebelum bernama kesini@an, anggota-anggotanya tergabung dalam kelompok Sanggar Perupa Beda Gaya.
Di lingkup Yogyakarta, kelompok kesini@an pernah terlibat dalam Biennale Jogja (2009), FKY (2010), dan Biennale (2015). Bermarkas di Giri peni yang 80% penduduknya adalah petani, kesini@an banyak mengangkat tema tentang sawah dalam karya mereka.
Bahkan dari Desa Giripeni ini pernah lahir seorang tokoh seni rupa bernama Trubus Sudarsono. Trubus Sudarsono merupakan salah saorang perupa yang akrab dengan Bung Karno. “Salah satu karya Trubus Sudarsono Patung Denok berada di Istana Bogor. Trubus menjadi anggota lekra dan beliau jadi salah satu orang hilang pada tahun 1965,” cerita Teguh.
Sosok Trubus, lanjut Teguh, banyak menginspirasi mereka. Dan mereka berharap semangat itu terus memacu berkarya mengangkat nama Kulon Progo dan memajukan dunia seni rupa di Kulon Progo.
Dalam pergelaran Biennale Jogja XIII, khususnya Equator Festival, kesini@an menyelenggarakan beberapa kegiatan, antara lain Pameran Karya Seni Instalasi dan Wayang Sawah.
Wayang Sawah melibatkan anak-anak sekolah di Kulon Progo. Wayang ini lahir ketika Kesini@an bersinergi dengan masyarakat Giri Peni dalam acara Wiwitan Sawah di Juli 2015. Awalnya mereka bekerjasama dengan Gabungan Kelompok Tani Giri Peni untuk membuat karya tentang sosialisasi pengendalian hama.
Dalam pengendalian hama untuk pertanian, ada beberapa unsur yang terlibat yaitu hama dan pemangsa alami. Hama sendiri terdiri dari dua bagian: teman petani dan musuh petani.
Kelompok Tani tadinya hanya mau membuat banner bergambar hama tersebut. Kesini@an memberi ide, buat wayang untuk sosialisasi hama. Untung Raharjo, ketua kelompok tani, mendukung ide tersebut. Kelompok kesini@an kemudian membuat wayang sawah dengan 3 figur utama, Pak Sukar (petani kolot), Mbah Dikin (Petani sadar lingkungan), dan Pak Untung (ketua kelompok Tani).
Lewat figur-figur tersebut, Kesini@an membantu kelompok Tani Giri Peni untuk menyebarluaskan bagaimana cara pembasmian hama yang benar, alat apa saja yang aman digunakan dalam proses penyemprotan hama.
“Wayang Sawah sebagai media untuk penyuluhan kepada petani mendapat apresiasi dari Pak Bambang (Dinas Pertanian Kulon Progo). Wayang Sawah ini kami tampilkan kembali dalam Equator Festival Biennale Jogja XIII,” tutur Teguh.
Sebagai pendukung acara juga ada Panggung Rupa Bunyi, Gejog Lesung Paras Peni Budoyo, BBDKK, Kelompok Bermain Yudistira, dan Pasar Pangan Sehat dari masyarakat setempat.
INFO LEBIH LANJUT :
Sekretariat Panitia FESTIVAL TANAH
Sekretariat kesini@an:
Jl. Jogja – Wates KM 01,
Gunung Gempal, RT 23/10 Giripeni,
Wates, Kulon Progo
BIENNALE JOGJA XIII EQUATOR #3
Kantor Yayasan Biennale Yogyakarta
d/a Taman Budaya Yogyakarta
Jl. Sriwedani no. 1 Yogyakarta
Telp. (0274)587712
Email: [email protected]