YOGYAKARTA — Bila chaos hanya dipandang sebagai negative chaos, ia tak akan pernah ditangkap sebagai peluang kemajuan, dialektika kultural, peningkatan etos kerja, daya kreativitas dan produktivitas. Chaos hanya dapat menjadi peluang masa depan bila kita mengubah pandangan dunia dengan membalik paradigma, dari negative chaos ke positive chaos.
Demikian pandangan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Hamengkubuwono X dalam sambutan tertulisnya membuka pergelaran Biennale Jogja XIII: Equator #3 di Jogja National Museum, Yogyakarta (1/11). Sambutan itu dibacakan Kepala Dinas Kebudayaan DIY Drs. Umar Priyono.
Menurut Sri Sultan, “Hacking Conflict” yang menjadi tema besar Biennale Seri Equator #3 dengan mempertemukan Indonesia dan Nigeria adalah ikhtiar membaca konflik sebagai terobosan kreatif. Seperti sifat chaotik tumbuhan merambat, demikian pula pertumbuhan dalam konflik kita pahami dengan merujuk pada beberapa sifat dasar rhizome. “Rumput itu berbeda dengan pohon beringin yang bertumpu pada satu titik, tunggal, sentralistik, hierarkis, birokratis. Rumput saling terhubung dengan rumput lainnya dalam pola yang tak teratur,” ujar Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Dalam kesempatan yang sama Direktur Biennale Jogja XIII Alia Swastika meletakkan konteks Biennale Jogja dalam hal relasi Indonesia dengan internasionalisasi seni. Menurut Alia, Biennale yang bersandar pada tema Equator ini adalah siasat bagaimana membaca peta sejarah hubungan Indonesia dengan negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
“Tahun 2015 ini Biennale Jogja berjumpa dengan Nigeria sebagai salah satu kawasan yang terpapar oleh garis katulistiwa. Seperti halnya tahun 2011 dan 2013 Biennale Jogja mengajak India dan Arab berjumpa dalam tema Religiusitas dan Mobilitas, maka saat ini kedua negara membaca bersama makna harian konflik besar dalam transisi demokrasi dalam tema Hacking Conflict,” jelas Alia.
Pameran Utama Biennale Jogja XIII yang dikuratori Wok The Rock (Indonesia) dan Jude Anogwih ini diikuti 34 seniman dan komunitas seni, termasuk 11 karya seniman Nigeria. “Saya mengarusutamakan kolaborasi sebagai metode bekerja. Dengan cara itu, pameran bersifat semi terbuka dalam bentuk ruang aktivitas. Ruang itu diciptakan bersama partisipan pameran dari pelbagai disiplin ilmu,” jelas Kurator Wok The Rock.
Pameran ini melibatkan seniman visual, pelaku teater, musisi, editor buku, praktisi iklan, dan penari. Jogja National Museum menyediakan tiga venue utama untuk pergelaran hingga 10 Desember 2015 ini, antara lain Pendopo Ajiyasa, Plaza JNM, dan Plaza Kriya.
Salah satu karya luar ruang yang menonjol adalah kolaborasi antara seniman Indonesia Maryanto dan seniman Nigeria Victor Ehikhamenor yang menyoal problem minyak dan energi di kedua negara.
Foto ilustrasi oleh Kelas Pagi Yogyakarta