Biennale Jogja Dari Masa Ke Masa

Biennale Jogja Time after time

Mengumpulkan dokumen dan dokumentasi Biennale Jogja*

Kehidupan rupanya terlalu besar untuk hanya dijadikan obyek penelitian, dan terlalu agung untuk tidak dirayakan.
(Ignas Kleden, 1988)

Tak bisa dipungkiri, Biennale Jogja (BJ) merupakan perhelatan besar seni rupa rutin yang paling konsisten di Indonesia. Tandingannya hanyalah Biennale Jakarta (yang walau lebih tua dari pada BJ namun tidak serutin BJ penyelenggaraannya). Beberapa biennale lain, seperti di Jawa Timur dan Bali, belum setua kedua biennale yang saya sebut sebelumnya dan juga tidak diselenggarakan serutin keduanya. Seperti Biennale Jakarta, BJ merupakan produk pemerintah kota.

Dalam 21 tahun eksistensinya, BJ berganti wajah sebanyak tiga kali. Pada mulanya adalah Pameran Seni Lukis Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada 1983, 1985, 1986, dan 1987. Kemudian TBY, yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Rob M. Mujiono, mengubah penyelenggaraan pameran besar tersebut menjadi Biennale Seni Lukis Yogyakarta (BSLY) 1988, 1990, dan 1992. Dalam pengantar katalog BSLY 1988, Mujiono menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan biennale ini adalah untuk menyediakan sarana pameran karya-karya terbaik selama dua tahun terakhir, supaya pada waktunya dapat sekaligus menjadi barometer aktivitas dan tingkat kreativitas seniman juga apresiasi publik terhadap seni lukis Yogyakarta. Untuk pemilihan karya-karya terbaik ini, BSLY memiliki dewan juri yang bukan hanya memilih karya yang ikut dalam pameran, tetapi juga sejumlah karya yang diberikan penghargaan (menjadi pemenang); demikianlah seterusnya sampai BSLY 1992.

Sehari sebelum BSLY 1992 dihelat, perhatian publik dan media direbut oleh pembukaan Binal Experimental Arts 1992. (Jogja memang kota plesetan: Dalam logat dan bahasa Indonesia, “biennale” dibaca: “bi-nal” dan “binal” sebagai sebuah kata juga berarti “nakal”.) Binal ini diadakan oleh sekian banyak muda-mudi yang pada saat itu memprotes syarat-syarat menjadi peserta BSLY. (Dua syarat yang paling menjadi kontroversi pada saat itu adalah “Peserta adalah pelukis profesional berumur minimal genap 35 th. pada 1 Juli 1992 […] Peserta menyerahkan karya lukisan (dua dimensional) dan bukan media batik” Sumber: Proposal Binal Experimental Arts 1992.) Seperti namanya, Binal menyajikan berbagai bentuk seni lain selain seni lukis; mulai dari karya-karya instalasi di ruang publik (di lembah, bundaran, dan boulevard UGM), pertunjukan di ruang-ruang publik (Stasiun Tugu, Taman Sari, dan Alun-alun Selatan), pameran karya di studio-studio seniman (Eddie Harra dan Regina Bimadona), pameran instalasi di Senisono Galeri, sampai dengan diskusi yang terbuka untuk umum di Gedung Tempo. Selama sembilan hari (27 Juli – 4 Agustus 1992), Yogkakarta dipenuhi dengan maraknya kegiatan seni yang melibatkan 300-an seniman. BSLY 1992 yang dimulai dan berakhir sehari setelahnya kehilangan pamor. Nyaris tidak ada media yang meliput BSLY kecuali membandingkannya dengan Binal.

Dua tahun kemudian, nama BSLY tak lagi terdengar. Sebagai gantinya, TBY menggelar Pameran Rupa-rupa Seni Rupa yang berisi: Pameran Nasional Seni Patung Outdoor, Pameran Biennale IV Seni Lukis, Pameran Seni Rupa Kontemporer (Instalasi), dan Sarasehan Seni Rupa. Pameran Rupa-rupa Seni Rupa ini merupakan cikal bakal lahirnya Biennale Seni Rupa Yogyakarta (BSRY) yang tidak lagi memiliki dewan juri seperti pada BSLY. Sebagai gantinya, Pameran Rupa-rupa Seni Rupa pada 1994 dan BSRY 1997 dan 1999 memiliki sejumlah narasumber dan beberapa penulis yang terlibat. Tim narasumber (yang awalnya, pada 1994, disebut tim kurasi) inilah yang mengurasi –dalam logika kurasi yang kita kenal sekarang – perhelatan ini.

Tidak ada BSRY pada 2001. Kebijakan Otonomi Daerah membuat sokongan dana dari pusat untuk penyelenggaraan BSRY terputus satu periode. Pada 2003, Biennale kembali dihelat dengan kemasan baru. Sosok kurator (tunggal) hadir membungkus Biennale dengan sebuah tema. Perhelatan inipun resmi disebut BJ. Bukan hanya sosok kurator yang dihadirkan dalam perhelatan BJ ini, tetapi juga elemen swasta juga hadir sebagai salah satu sponsor penyelenggara kegiatan ini. Alhasil, suksesi BJ semakin tergantung pada kurator, tim manajemen, dan sponsornya. BJ VII 2003 yang dihadirkan kurator Hendro Wiyanto dengan tema Countrybution adalah cikal bakal kemapanan BJ.

Benar saja, pada 2005, BJ VIII 2005 dengan tema Di sini dan Kini dan tiga orang kuratornya, M. Dwi Marianto, Eko Prawoto, dan Mikke Susanto, menggunakan 13 lokasi dalam perhelatannya. Disponsori oleh Gudang Garam Internasional, BJ VIII 2005 ini mengembalikan paham “menang – kalah” (yang satu lebih baik dari yang lainnya) dengan penghargaan sebagai penandanya. Demikianlah pola penyelenggaraan besar-besaran, festivitas, dan pemberian sebentuk penghargaan terus dilakukan (dan bahkan makin membesar) pada BJ selanjut-lanjutnya. Walau hanya dihelat di tiga lokasi, keempat kurator BJ IX 2007 Neo-nation, Suwarno Wisetrotomo, Kuss Indarto, Eko Prawoto, dan Sudjud Dartanto, menyertakan 167 seniman dan 4 kelompok; sementara BJ X 2009 Jogja Jamming: Gerakan Arsip Seni Rupa bahkan diselenggarakan oleh empat kurator, Wahyudin, Eko Prawoto, Samuel Indratma, dan Hermanu bersama dewan kurator Agus Burhan, Ong Hari Wahyu, dan Sindhunata. Tak heran tercatat sebanyak 323 seniman (termasuk 82 kelompok) yang turut serta dalam perhelatan BJ terakhir ini.

Sesuatu yang menarik terjadi pada perhelatan BJ X 2009 ini. Sejumlah pekerja seni yang sudah sekian tahun malang-melintang dalam dunia seni rupa mengajukan pelembagaan (mandiri) BJ.

(Grace Samboh, Kurator, peneliti, tinggal di Yogyakarta, Indonesia)

* Tulisan ini merupakan catatan singkat dari penemuan-penemuan saya dalam proses mengarsip ke-10 perhelatan Biennale Jogja. Pengumpulan dokumen dan dokumentasi, kemudian pengarsipan Biennale Jogja dikerjakan bersama (dan untuk) Indonesia Visual Art Archive.