Alia Swastika
Direktur Biennale
Alia Swastika adalah seorang kurator yang berbasis di Yogyakarta, dan telah bekerja dengan lingkup seni di kota tersebut selama 15 tahun. Selain projek-projeknya di Indonesia, Alia Swastika telah bekerja pada beberapa proyek seni dan pameran internasional antara lain: Marker Focus Indonesia Art Dubai 2012, Gwangju Biennale ke 9: ROUNDTABLE di Gwangju, Korea Selatan bersama 5 kurator lain, dan pameran-pameran lain. Sekarang Alia menjadi salah satu anggota Dewan Pendiri pada International Biennale Association (mewakili Jogja Biennale).
Rain Rosidi
Direktur Artistik
Rain Rosidi adalah kurator seni rupa dan dosen Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia. Bekerja sebagai pengelola dan kurator di ruang alternatif Gelaran Budaya (2000). Pada tahun 2003 mengikuti program residensi Manajemen Seni di Queensland Art Gallery, Brisbane, dan di Asian Australian Art Centre, Sydney. Kerja kuratorial antara lain: Neo Iconoclasts, Magelang (2014), Future of Us, Yogyakarta (2012), Jogja Agro Pop, Yogyakarta (2011), Indonesian Disjunction, Bali (2009), Utopia Negativa, Magelang (2008), Jawa Baru, Jakarta (2008).
Wok The Rock
Kurator
Wok The Rock (Lahir di Madiun, 1975) lulus dari Program Studi Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Wok The Rock adalah seniman lintas disiplin yang menghasilkan karya seni berbasis kolaborasi yang melihat gabungan penciptaan ruang, penyelidikan spekulatif dan eksperimentasi medium sebagai praktik artistiknya. Penciptaan ruang dan platform kerja juga berlanjut pada aktivitasnya di berbagai komunitas seni dan budaya. Saat ini ia menjabat sebagai direktur Ruang MES 56, sebuah artist-run-space fotografi kontemporer. Ia tinggal dan bekerja di Yogyakarta.
Jude Anogwih
Kurator Rekanan
Jude Anogwih adalah seniman visual dan kurator yang tinggal dan bekerja di Lagos, Nigeria. Ia merupakan salah satu pendiri Video Art Network Lagos (www.vanlagos.org) dan telah berpartisipasi dalam berbagai pameran nasional dan internasional. Proyek kuratorialnya terbaru adalah ARENA (where would I have got if I had been intelligent!) at Centre for Contemporary Art, Torun, Poland (2014); Contested Terrains (2011- 2012) at Tate Modern, London (kurator rekanan bersama Kerryn Greenberg). Selain bekerja sebagai kurator, ia juga terlibat sebagai organisator dan kurator bagi pameran nasional dan internasional di Center for Contemporary Arts, Lagos (www.ccalagos.org)
Lisistrata Lusandiana
Asisten Kurator
Lisistrata Lusandiana adalah seorang peneliti kajian budaya yang lahir dan tinggal di Yogyakarta. Pada tahun 2014 ia tamat dari Ilmu Religi Budaya dengan tesis seputar politik identitas backpacker. Sejak tahun 2012 aktif di lembaga kajian psikoanalisa Erupsi Akademia. Saat ini menjadi peneliti BJXIII Indonesia bertemu Nigeria sekaligus menjadi asisten kurator.
Hendra Himawan
Kurator Equator Festival & Parallel Event
Hendra Himawan adalah seorang kurator independen, peneliti dan penulis seni rupa. Banyak bekerja dengan seniman-seniman muda, berfokus dalam kerja seni berbasis proyek dengan menciptakan ruang baru untuk praktik seni alternatif bagi publik. Sering berafiliasi dengan komunitas seniman, akademisi, aktivis NGO, dan masyarakat kampung untuk membangun kerja-kerja kolaborasi lintas disiplin dan menguji sejauh mana seni mampu berkontribusi langsung dalam menciptakan perubahan sosial. Terlibat dengan berbagai proyek seni regional, beberapa kali mewakili Indonesia untuk proyek seni berbasis komunitas yang berpijak pada estetika relasional dan praktik-praktik kerja partisipatoris. Tinggal di Yogyakarta, ia juga mengajar di Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Arsita Pinandita
Kurator Equator Festival & Parallel Event
Arsita Pinandita, biasa disapa Dito, gemar membicarakan konten visual dalam ranah subkultur. Selain sebagai seorang praktisi, ia juga pengajar desain komunikasi visual. Acapkali menjadi penulis dalam peristiwa pameran diantaranya; ‘Jogja Art Scene’ (Benteng Vredeburg- 2010), ‘Dekaden Death Metal (Pascasarjana ISI-2012), ‘Lapar Mata’ (Jogja Gallery-2013), Quality in Time (Klick-2014), ‘Laras Sinawang’ (Sasono Hinggil-2015). Ia juga meyakini bahwa jika kita memiliki seni maka kita tidak perlu larut dalam realitas.