Pada Pra Biennale Yogyakarta tahun ini Noise Brut melakukan ziarah di Kali Brantas dan membicarakan hal-hal yang tak terlalu diperhatikan di sana. Kali Brantas merupakan sungai yang memiliki aliran sangat panjang, secara spesifik dalam Pra Biennale tahun ini, Nois Brut memilih landscape hilir yang berawal dari Mojokerto (Rolak Songo) sampai Surabaya. Daerah hilir dipilih karena secara sosiologis dan keseharian dekat dengan mereka, sedangkan bila di landscape tengah dan tinggi, mereka tidak mengenal medan dan tidak banyak mengetahui fenomena di sana.
Zona hilir banyak bersinggungan dengan absurditas perkotaan. Dalam zona tersebut limbah popok dan buaya putih menjadi fenomena yang dipertanyakan sebagai hal yang biologis juga magis. Ada kepercayaan masyarakat yang bila membakar popok akan menyebabkan iritasi pada bayi, karena itu masyarakat mengambil jalan tengah dengan membuang popok tersebut di Kali Brantas. Di sana buaya putih dipercaya sebagai mitos yang mereka puja sebagai dewa pelindung. Dibuangnya popok ke sungai secara perlahan-lahan, juga dianggap mampu membunuh buaya putih. Kedua mitos tersebut kemudian akan disampaikan dengan sesuatu yang jenaka dan komedi yang absurd.
Buaya putih dipilih karena banyak bersinggungan dengan hal-hal kapital. Seperti sakk (karung) yang bertuliskan tulisan Ponska, Pusri yang berhubungan dengan pupuk. Menurut Noise Brut, hanya ada 3% pupuk yang organik dan sisanya hanya gaya-gayaan yang sejatinya merupakan pupuk industrial.
Dalam mengerjakan karya ini, Noise Brut bekerjasama secara tematik dan saling bersinergi memasukkan ide-ide dengan setiap seniman atau kelompok di sekitar Kali Brantas. Mereka juga melakukan penjualan kaos untuk kemudian mempertanyakan kepada pembeli tentang pendapat mereka mengenai Kali Brantas. Pendapat-pendapat tersebut kemudian akan dikumpulkan dalam kliping dengan parodi dan narasi bingung.
Noise Brut bertujuan mengajak audiens untuk mengalami dua efek, yaitu merasa dan merasakan. Merasa ketika menjadi sosok penyebab kerusakan lingkungan dan menjadi sosok yang menjadi korban pada lingkungan yang dirusak atau telah rusak. Seperti mengajak menjadi sosok ikan yang habitatnya telah rusak karena limbah popok.
Noise Brut terbentuk pada tahun 2012, meseki memiliki banyak anggota namun pada Biennale Jogja tahun ini anggota yang terlibat adalah; Zalfa Robby, Dwi Januartanto, Sony Himantoko, Toyol Dolanan Nuklir, Uncletwis, dan Sito Fossy Biosa. Mereka berusaha menghapus domisili asal masing-masing, karena menurut mereka domisili merupakan wacana kuno. Mereka menggunakan dan berusaha mengawinkan berbagai macam medium seperti performance, video, suara, elektronik, dan gambar dengan menggunakan logika-logika pertunjukkan.
Mereka tertarik untuk mengombinasikan dan menangkap absurditas kehidupan dari masing-masing anggota. Lebih lanjut, mereka membicarakan tentang seks, religi, sains dan hal-hal yang terjadi di sekitar. Beberapa pameran yang pernah mereka ikuti yakni, Pra Biennale Jogja 2012, dan Biennale Sastra Jawa Timur 2015. (*)