Ketika berbicara tentang arsip, kumpulan berkas usang dan kertas kecoklatanlah yang terlintas di benak kebanyakan orang. Namun Pameran Arsip yang merupakan satu rangkaian perhelatan Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, mencoba untuk mematahkan stigmatisasi tersebut.
Penyelenggaraan Biennale Jogja Seri Khatulistiwa telah berlangsung selama 10 tahun, sejak penyelenggaraan pertama pada 2011. Rentang waktu yang terbilang cukup panjang ini, memberikan banyak pelajaran dan beragam pertemuan dari berbagai negara yang turut andil dalam rangkaian Seri Khatulistiwa.
Pameran Arsip Khatulistiwa, Game Of The Archive. Kalimat itu terpampang pada tembok utama gedung pameran, sebagai pembuka bagi pengunjung. Narasi perjalanan Seri Khatulistiwa pun tergambar pada tembok. Dengan dominasi warna biru tua, dan dihiasi oleh animasi Dinosaurus Google. Sangat menarik, melihat bagaimana Dinosaurus, seolah menjelaskan perjalanan pameran arsip dari generasi ke generasi.
Respon Pengunjung Terhadap Pameran Arsip
Tak dapat dimungkiri, kian hari teknologi memegang peranan penting dalam proses dan praktik komunikasi. Apalagi di tengah masyarakat industri yang tengah bertransformasi menjadi masyarakat informasi. Teknologi komunikasi pun seringkali dikaitkan dengan perangkat keras.
Arsip tidak hanya jadi ruang usang yang berdebu dan menyeramkan. Arsip tidak hanya tentang tumpukan kertas yang membosankan. Wacana arsip yang dihadirkan dalam pameran arsip ini mengalami modifikasi. Dengan terajut dalam dua kata kunci yaitu, ‘alih wahana’ dan ‘ruang bermain’.
Walaupun masih ada pengarsipan klasik, Pameran Arsip menghadirkan pengarsipan dalam arsip dan dokumen yang direka secara visual. Dengan menekankan pada metode spekulatif untuk membaca sejarah, di mana ada kaitan langsung antara masa lalu dan masa depan.
Pameran Arsip menjadi media komunikasi massa, di mana selain menyampaikan informasi tentang narasi-narasi kearsipan seri khatulistiwa, juga sebagai media hiburan yang menyasar generasi muda. Bentuk pengarsipan dalam game Minecraft, serta permainan-permainan tradisional yang bersinggungan dengan arsip khatulistiwa. Ada pula ruang yang putih dengan sisa-sisa produksi yang berserakan di lantainya. Pada ruang ini, pengunjung bebas menulis atau menggambar sesuatu dari sisa cat yang ada, pada ruang tersebut.
Media hiburan senantiasa membangun fantasi (fantasy), menyentuh emosi (affect) dan membentuk makna (meaning) pada audiensnya, sehingga sedikit banyak membentuk cara mereka mendefinisikan dan memahami realitas atau dunia yang mengitarinya (Shrum, 2004).
Media hiburan lantas berkembang menjadi industri, yang bahkan skalanya semakin mengglobal. Sebagai bagian dari ekonomi kreatif, media hiburan mengkombinasikan kreativitas, inovasi dan prinsip-prinsip dalam industri media demi mempertahankan kelangsungannya. Berbeda dengan industri lainnya, media hiburan menuntut kemampuan mengelola bakat dan kreativitas menjadi komoditas yang memiliki nilai ekonomisnya.
Lantas muncul pertanyaan. Apakah pengunjung yang datang, paham akan isu-isu yang dinarasikan dalam Pameran Arsip tersebut? Ataukah mereka hanya berkunjung untuk berburu konten semata?