Duduk bersandar di bean bag, Huhum Hambily (Koordinator Divisi Publikasi dan Komunikasi) berkisah. Dulu, dia adalah sukarelawan pemandu pameran di Biennale Jogja XII 2013. “Sering dimarahi, jadi kurang betah. Sering mbolos,” tuturnya sambil tertawa.
Demikian cerita masa lalu darinya yang disampaikan pada kegiatan Sumber Terbuka: Bincang Pengelola. Acara ini digelar di Panggung Utama Jogja National Museum (JNM) pada Kamis (11/11) sore.
Seperti judulnya, diskusi ini dihadiri oleh para koordinator divisi Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 yang berjumlah tujuh orang. Salah satunya adalah Prima Abadi Sulistyo, Koordinator Divisi Sukarelawan dan Magang.
Tebo, demikian sapaan akrab Prima, enggan menganggap para sukarelawan sebagai pekerja belaka. “Rugi sekali bila hanya bekerja,” ujarnya.
Menurut Tebo, sukarelawan seperti pemandu pameran mesti menganggap Biennale sebagai ruang belajar. Dia mengarahkan mereka untuk aktif berinteraksi dengan audiens. Tidak hanya pasif sebagai penjaga pameran.
“Memahami karya, lalu berdialog dengan audiens,” paparnya. Di situlah, tegas Tebo, bentuk pembelajarannya.
Perihal dialog, Tebo menuturkan bahwa itu juga terjadi antarpemandu pameran. Skema rekrutmen tertutup yang disebar di berbagai kampus Yogyakarta membuat tim pemandu pameran jadi heterogen.
“Dari situlah, muncul dialog lintas ilmu lintas wacana,” tukas Tebo.
Tidak hanya di situ, Tebo memaparkan keberlanjutan pembelajaran bagi para pemandu pameran. “Mereka diarahkan untuk menulis refleksi atas karya-karya pameran sesuai keilmuan masing-masing dan kemudian akan dibukukan,” paparnya.
Acong, salah satu pemandu pameran, sepakat dengan Tebo soal aspek pembelajaran sukarelawan. Sebagai mahasiswa jurusan Seni Teater Institut Seni Yogyakarta, dia tertarik untuk mencicipi atmosfer seni rupa seperti Biennale Jogja XVI Equator #6 2021.
Ekspektasi itu terpenuhi. “Saya belajar soal manajerial pameran, sebagaimana manajerial panggung yang dipelajari di seni teater,” ungkapnya sambil berdiri agar bisa sigap merespon audiens bila diperlukan.
Sebagai pemandu, Acong senang karena bisa bertemu banyak orang dengan beragam karakter. Ada yang aktif bertanya, ada pula yang ngeyelan. “Diminta jangan disentuh, masih saja dilakoni,” keluhnya sembari tertawa di balik masker.
Acong, tidak seperti Huhum di 2013, betah sebagai pemandu pameran. Serangkaian pembelajaran yang didapatnya membuat pemandu pameran lebih dari sekadar penjaga.