Belajar dari Gagasan “Pinggiran”
Oleh: Tim Kurator Biennale Jogja Equator #5 (Arham Rahman, Akiq AW, dan Penwadee Nophaket Manont)
Isu pinggiran, di dalam perhelatan seni rupa arus utama semacam Biennale, sama sekali bukanlah hal baru. Ia sering digunakan sebagai bingkai gagasan (kuratorial), atau biasa juga sebagai usaha untuk “taking position”–seperti global south art, misalnya, yang dikonsolidasikan lewat Havana Biennale dan diarahkan untuk mengevaluasi gagasan tentang Seni Global.
Meskipun begitu, isu pinggiran tidak selalu berhasil diartikulasikan dan rawan terjebak pada berbagai persoalan: entah direpresentasikan secara eksotik, dibicarakan dengan romantik, atau kalau tidak, kosmopolitanisasi atas isu pinggiran saja.
Lalu, jika isu pinggiran diketengahkan dalam perhelatan Biennale Jogja, bagaimana jebakan-jebakan tersebut diatasi? Apa pentingnya persoalan pinggiran dibicarakan di dalam konteks Biennale?
Perspektif Pinggiran
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kami merasa perlu untuk terlebih dahulu mendedahkan secara sederhana bagaimana pinggiran akan dipandang. Secara istilah, pinggiran selalu dikaitkan dengan lokasi geografis yang berada di luar kawasan pusat, entah kawasan satelit maupun rural (dalam istilah lain; pelosok).
Padahal, pinggiran tidak melulu soal tempat, tetapi yang juga penting adalah tentang subjek atau komunitas yang menghidupinya. Subjek-subjek yang tidak diuntungkan atau dirugikan secara ekonomi-politik di dalam struktur masyarakat tertentu. Karena itu, (subjek) pinggiran sudah barang tentu juga hadir di kawasan utama, yang secara antagonistik menjadi antinomi bagi “yang pusat”.
Secara ringkas, pinggiran mencakup isu-isu, praktek hidup atau subjek yang tidak/belum masuk menjadi wacana akademis, kebijakan publik, dan wacana media. Juga terkait dengan masalah relasi kuasa, perihal bagaimana subjek pinggiran berhadap-hadapan dengan kekuasaan yang hegemonik di manapun subjek-subjek atau masyarakat pinggiran itu hadir.
Pandangan ini setidaknya bisa membantu kita untuk memperluas cakupan pembicaraan mengenai pinggiran dan melihat narasi jenis apa yang berupaya ditawarkan oleh sesuatu yang ditandai atau menandai dirinya sebagai “pinggiran”.
Sebagai isu, pinggiran bisa kita kaitkan dengan berbagai persoalan yang berlangsung di sekitar kita. Masalah ketidakadilan gender, pelanggaran hak asasi atas kelompok masyarakat tertentu, persoalan perburuhan terutama yang terkait dengan isu buruh migran, diskriminasi berdasarkan ras atau agama, dll.
Sementara dalam soal praktek hidup, bisa kita lihat dari berbagai laku hidup yang telah dipraktekkan secara turun-temurun, yang diwariskan melalui pengajaran tradisi, mitos-mitos yang dituturkan, serta yang melihat hubungan manusia dengan alam sebagai sebuah kesatuan, yang tersingkir karena cara hidup eksploitatif-kapitalistik yang melihat kuasa manusia atas alam.
Isu-isu dan praktek hidup dari subjek-subjek pinggiran semacam itu yang kiranya perlu dilihat, dipelajari, dan memungkinkan untuk dibicarakan dalam konteks Biennale. Meskipun rentan jebakan, membicarakan pinggiran di dalam konteks Biennale bukanlah hal yang mustahil dilakukan. Lagipula, sebagai sebuah perhelatan seni rupa, Biennale mempunyai cara ungkapnya sendiri untuk membicarakan persoalan-persoalan yang berusaha diusung. Biennale perlu diposisikan sebagai salah satu metode atau instrumen untuk membicarakan berbagai jenis persoalan, yang di dalam konteks ini, mengenai persoalan pinggiran.
Pinggiran yang hendak dibicarakan di dalam Biennale Jogja perlu diberikan konteks, sehingga tidak sekadar menampilkannya sebagai sekumpulan data telanjang lalu merayakannya dengan gegap-gempita, tetapi melihat pinggiran dalam konteks terkininya dan dengan siapa mereka berhadap-hadapan.
Biennale Jogja Equator #5 yang menggandeng negara-negara di kawasan Asia Tenggara sebagai mitra kolaborasi, tidak diarahkan untuk “merepresentasikan” pinggiran itu sendiri–atau dalam istilah yang cukup menyebalkan: “sebagai sumber inspirasi”. Akan tetapi dengan berusaha menunjukkan bagaimana yang pinggiran mengekspresikan dirinya dan membicarakan narasi atau persoalan tentang dirinya sendiri.
Kepentingan Persoalan Pinggiran
Pinggiran di dalam Biennale Jogja juga tidak hanya membicarakan tentang isu-isu yang melingkupinya, tetapi juga membicarakan bagaimana negara-negara di kawasan Asia Tenggara berbagi permasalahan yang sama. Dengan kata lain, pinggiran adalah jembatan penghubungnya. Biennale Jogja berupaya menghubungkan berbagai wilayah yang mempunyai kompleksitas persoalannya sendiri-sendiri: Jogja, Aceh, Pontianak, Polman, Sabah, Pattani, Mindanao, Suluh, Ho Chi Minh, dll.
Selain berbagi persoalan bersama, dengan isu pinggiran, kita juga hendak melihat beberapa soal umum. Pertama, bagaimana subjek-subjek pinggiran membayangkan kawasan (Asia Tenggara) dan dunia global. Istilah “Asia Tenggara” bukanlah istilah generik yang lahir dari basis kesadaran masyarakat di kawasan ini. Asia Tenggara, sebagai penyebutan kawasan, muncul sebagai tampias dari perang dingin.
Ada relasi-relasi tradisional yang pernah berlangsung di kawasan ini, jauh sebelum batas-batas teritori dari negara-negara di kawasan ini ditetapkan. Kita tidak bermaksud untuk meromantisir relasi-relasi tradisional itu, tetapi hendak melihat efek-efek setelah era kolonialisme dan munculnya batas antar-negara-bangsa. Kawasan-kawasan semacam Pattani dan Sulu, misalnya, yang tidak hanya menjadi kawasan “antara”, tetapi juga berusaha membedakan dirinya dengan negara-negara yang kini membawahinya. Dinamika tersebut dapat kita telisik dari ekspresi-ekspresi kebudayaan atau kesenian mereka.
Kedua, pinggiran sebagai salah satu sarana untuk memahami kondisi yang tengah kita hadapi saat ini, terutama perihal masyarakat yang terbelah karena hegemoni kekuasaan tertentu. Situasi tersebut banyak berlangsung saat ini, pembelahan masyarakat karena perbedaan preferensi politik atau perbedaan-perbedaan lainnya. Kadang kita gagal membaca situasi itu, sekonyong-konyong mengambil posisi yang kita anggap paling benar.
Di dalam masyarakat pinggiran, dinamika antara kelompok penindas dan yang ditindas selalu hadir. Satu kelompok tertindas menindas kelompok tertindas lainnya, melahirkan pusaran konflik yang tidak ada habisnya. Semacam kelompok yang merasa paling demokratis menuding suatu masyarakat tertentu sebagai kelompok fundamentalis, begitu juga sebaliknya. Atau antara kelompok kaos merah dan kaos kuning di Thailand. Polarisasi semacam ini hadir, tetapi luput dipahami sebagai bagian dari permainan kekuasaan.
Ketiga, bagaimana kita belajar dari perspektif pinggiran. Sebagai gambaran, kita bisa belajar dari bagaimana masyarakat adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, dalam mempertahankan hak ulayatnya dari ekspansi PT LONSUM yang ditopang oleh negara. Perusahaan tersebut, sejak era kolonial, sedikit-demi sedikit mencaplok tanah ulayat masyarakat adat untuk dijadikan perkebunan karet.
Sejak beberapa tahun belakangan ini, mereka berupaya melakukan pendudukan, reclaiming, di atas lahan-lahan yang dirampas oleh PT LONSUM, kendati mesti berhadapan dengan aparat. Begitu juga dengan perjuangan petani-petani Kendeng yang tengah berupaya melawan PT Semen Indonesia yang hendak mengeksploitasi pegunungan Kendeng, dan secara langsung mengganggu kehidupan masyarakat setempat.
Kedua kasus tersebut bukan hanya perkara hajat dan ruang hidup masyarakat yang terganggu, namun juga menjadi ancaman atas cara hidup yang diyakini masyarakat setempat–adat Sedulur Sikep di Kendeng dan Tallasa’ Kamase-masea (hidup sesederhana mungkin) di Kajang. Keduanya mempunyai prinsip yang sama: manusia dan alam sebagai entitas yang tidak bisa dipisahkan. Sialnya prinsip hidup semacam itu, saat berhadapan dengan kekuatan ekspansif berdalih investasi atau pembangunan, acap kali dilabeli sebagai prinsip hidup yang anti-kemajuan.
Kepentingan-kepentingan dari Biennale Jogja untuk menyoroti isu pinggiran tersebut sekaligus menjawab persoalan kedua yang diajukan sebelumnya. Pinggiran perlu kita pahami bukan hanya sebagai konsep, tetapi juga memahami situasi nyata yang diberlangsung di berbagai tempat.