Site Loader

Salah satu pengetahuan sejarah baru yang berharga bagi saya ketika bekerja dalam
Biennale Jogja adalah bagaimana sejarah pendidikan seni antara Indonesia dan India
bermula. Pada kisaran 1930-an, penyair dan seniman besar, Rabrindanath Tagore,
datang ke Indonesia bersama beberapa orang, termasuk di antaranya adalah pengajar
sekolah seni Santiniketan di India. Dalam kunjungannya, mereka sempat bertemu
Sukarno di Bandung, lalu mengunjungi Jawa untuk melihat Borobudur dan
mempelajari batik, kemudian melanjutkan lawatan ke Bali untuk mengobservasi seni
tradisional di Indonesia-terutama seni kriya seperti ukir, tenun, dan lainnya. Ketika
pulang, mereka memasukkan pelajaran tentang seni-seni Indonesia ini dalam
kurikulum pendidikan di Santiniketan. Belakangan, setelah Indonesia merdeka,
Sukarno mulai mengirimkan beberapa seniman, seperti pematung Edhi Soenarso dan
pelukis Affandi, untuk belajar ke Santiniketan. Kebertautan antara diplomasi
antarindividu, pertemuan gagasan intelektual, dan gerakan kebudayaan ini mengusik
pemikiran saya, dan melihatnya sebagai model relasi antarindividu dan institusi yang
masih cukup relevan untuk dilakukan pada masa kini. 

Ketika memulai kerja besar Biennale Jogja seri Khatulistiwa, para pendiri yang terdiri
dari seniman dan pelaku seni antarkomunitas dan antargenerasi, membayangkan
munculnya sebuah manifesto yang akan menggemakan Indonesia di mata dunia
melalui sebuah kerja seni dan budaya. Manifesto itu adalah upaya membaca
khatulistiwa sebagai sebuah cara untuk memberikan alternatif terhadap apa yang
disebut sebagai Internasionalisme seni maupun seni global. Melalui gagasan tentang

khatulistiwa, para pelaku seni (di Indonesia) sesungguhnya juga sedang membaca
sejarah keterlibatan dan posisi kami sendiri dalam proses globalisasi seni yang
sedemikian intens ini. Kami semua menyikapinya sebagai sebuah petualangan
bersama; membuka peta bersama, menentukan titik-titik tujuan, mendaftar sejumlah
pertanyaan, dan bahkan bersiap jika kami tidak mendapatkan semua jawaban atas
pertanyaan itu. Hal yang terpenting adalah bagaimana perjalanan ini memberikan
pengalaman dan menantang munculnya gagasan geopolitik yang berbeda dari apa
yang selama ini terberi dalam lingkup seni rupa kontemporer pada khususnya, dan
tatapan kita atas dunia global pada umumnya.

Kurator dan Seniman sebagai Agensi
Dalam beberapa tulisan dan penelitian tentang peran Indonesia dalam dunia seni
(rupa) global, terutama untuk melihat apa yang terjadi pasca 1989, ketika peta seni
internasional mengalami pergeseran cukup besar, disebutkan betapa pentingnya peran
agen-agen internasional (lembaga budaya asing, museum internasional, institusi
multinasional) sebagai inisiator dari kerja-kerja kolaborasi internasional. Peran negara
(baca: Orde Baru) yang terbesar adalah dalam perhelatan Kesenian Indonesia di
Amerika (KIAS), yang inisiatifnya diselenggarakan oleh Kementrian Luar Negeri di
bawah kepemimpinan Mochtar Kusuma Atmaja. Proyek besar ini menuai banyak
perdebatan berkaitan dengan gagasan tentang Indonesia macam apa yang ingin
ditampilkan di sana, dan seniman-seniman siapa saja yang berhak untuk
“merepresentasikan” Indonesia. Sementara, pada awal 1990-an, kurator-kurator
Australia, Jepang, dan beberapa negara Eropa atau Amerika mulai berdatangan untuk
mencari seniman-seniman dari sebuah wilayah yang seolah baru ditemukan,

menjelajahi terra incognita. Barangkali seperti dahulu mereka menemukan rempah-
rempah. Ajang-ajang internasional baru yang muncul dari upaya-upaya membangun
kekuatan geopolitik seperti Asia Pacific Triennale, Fukuoka Asian Art Museum, dan
sebagainya merupakan ruang-ruang baru yang dimasuki oleh seniman Indonesia
untuk menjadi bagian dari masyarakat seni internasional.

Demikianlah, hampir selama dua dekade, internasionalisasi dipandang sebagai sebuah
proses ke luar. Menjadi internasional seolah-olah hanya berarti kita berada di Paris,
London, Venice, atau New York, atau—yang sedang menguatkan posisinya—Korea
serta Hong Kong. Kita tidak pernah melihat bahwa menjadi internasional, meletakkan
diri dalam peta global, juga berarti bahwa membuat Indonesia menjadi lokus atau
lokasi untuk mengundang pelaku seni internasional. Hal yang terpenting bukan
perkara mendatangkan karya-karya itu saja, tetapi menjadi inisiatif untuk kerja-kerja
membangun tatanan dunia baru. Tentu, peristiwa seperti Konferensi Asia-Afrika
(KAA—Bandung, 1955) adalah inspirasi besar—bagi kami yang terlibat dalam
Biennale Jogja seri Equator—yang menunjukkan bagaimana inisiatif-inisiatif
semacam ini penting untuk menunjukkan posisi ideologis yang diambil pascakolonial.
Gagasan KAA adalah sebuah visi besar yang belum selesai diperjuangkan, dan
karenanya, meneruskan semangat visioner ini menjadi pilihan yang sangat strategis
bagi negara seperti Indonesia. Maka, peristiwa seni internasional seperti Biennale
perlu didorong untuk menjadi wujud dari bagaimana kita menginisiasi moda-moda
pertukaran antarabangsa dengan titik berangkat ideologis yang kuat, bukan sekadar
menjadi tren dari internasionalisme. Dengan berangkat dari gagasan para pelaku seni
secara langsung, bukan model Biennale skala besar yang diinisiasi oleh pemerintah
secara penuh, gagasan visioner solidaritas negara khatulistiwa ini sekarang beralih

dari pemerintah sebagai agen, menjadi seniman/kurator sebagai agen. Sifat agensi
seniman/kurator ini yang perlu digarisbawahi sebagai pergeseran yang penting, yaitu
dari negara ke masyarakat sipil.

Bekerja bersama negara-negara dari kawasan khusus semacam khatulistiwa, pada
akhirnya mempertemukan kembali pelacakan relasi antarbangsa maupun antarbudaya
dengan negara-negara yang terlibat dalam KAA seperti India atau Mesir, lalu Afrika,
dan kemudian memperluasnya dalam khazanah yang lain seperti Amerika Selatan dan
Pasifik. Menariknya, relasi-relasi ini hampir semua sempat terhenti pada periode
Perang Dingin dan terutama karena pergeseran orientasi internasionalisme Orde Baru
yang lebih merujuk pada Amerika sebagai poros kapitalisme. Relasi-relasi politik
ekonomi yang coba dibentuk melalui KAA pada akhirnya seperti terputus, termasuk
dalam konteks seni budaya.

Para seniman yang terlibat dalam Biennale Jogja seri Equator sebagian besar
menyatakan baru kali pertama mengunjungi Indonesia dalam konteks kesenian. Bagi
saya pribadi, memang ini seperti menjadi pernyataan yang menampar tentang
bagaimana relasi politik pada 1980-an justru terasa menjauhkan kita dari narasi dan
sejarah yang lebih dekat, menawarkan ilusi untuk menjangkau dunia yang lebih jauh
tanpa melihat lingkup sekitar. Pertemuan Tagore dan Sukarno yang kemudian
membawa Soenarso dan Affandi ke Santiniketan tidak berlanjut pada masa-masa
selanjutnya. Ketika Biennale Jogja seri Equator #1: Shadow Lines membawa narasi-
narasi tentang India ke Yogyakarta, perlahan sejarah-sejarah kecil itu tersibak, dan
sedang mencari jalan untuk disambungkan kembali. Berpijak pada penelusuran atas

religiositas, keyakinan, dan spiritualitas, saya dan Suman Gopinath selaku kurator
pameran, karya-karya seniman dari dua negara menunjukkan betapa kayanya
persamaan dalam laku hidup masyarakat. Sinkretisme dan ritual, seperti yang muncul
pada karya Shaksi Gupta dan Riyaz Komu, bisa kita lihat refleksinya pada karya
Jompet Kuswidananto atau Setu Legi. Politik identitas berbasis agama—termasuk
ketegangan antara keyakinan sebagai ruang personal dan ikatan sosial—bisa terbaca
dari karya-karya Akiq A.W., Arya Panjalu/Sara Nuytemans, Amar Kanwar, dan
Sheela Gowda. Perjalanan para seniman: N.S. Harsha, Valsan Koorma Kooleri, Atul
Dodiya, dan Riyaz Komu ke Indonesia membuka kemungkinan untuk menelusuri
jelajah lebih besar antardua negara. Tidak hanya para seniman berupaya untuk
membangun kembali relasi “saling pandang” tetapi juga pengunjung mendapat ruang
untuk mengulik kembali memori kolektif atas India yang selama ini lebih banyak
dibangun melalui stereotip film-film Bolywood. Melalui karya-karya yang
dipamerkan, ada tawaran untuk mendiskusikan kembali simbol, konteks sosial, peta
sejarah, serta pengaruh budaya-budaya kontemporer pada masyarakat seperti
Indonesia dan India yang masih kuat hidup dalam relasinya dengan akar kebudayaan
lokal.

Pada seri kedua, Not A Dead End, kurator Agung Hujatnika dan Sarah Rifky (Mesir),
menjelajahi kawasan Arab, dalam konteks yang sangat relevan setelah periode Arab
Spring. Berbeda dengan edisi sebelumnya yang hanya membawa seniman Indonesia
untuk berkarya di Yogyakarta, pada edisi kedua ini dimulai residensi seniman
Indonesia ke negara atau wilayah mitra. Pengalaman residensi pada periode politik
yang penuh ketegangan dan spekulasi inilah yang kiranya mewarnai Biennale Jogja
seri Equator 2013. Duto Hardono, Venza Christiawan, Prilla Tania, dan Tintin Wulia

menjelajah kawasan Arab, sementara beberapa seniman dari Mesir dan Arab
melakukan residensi di Yogyakarta.

Pada edisi ketiga, Hacking Conflict, kami bekerja dengan Nigeria, melalui duet
kurator, Wok the Rock dan Jude Agnowih, menelusuri bagaimana ketegangan dan
konflik memberi ruang negosiasi dan rekonsiliasi. Enam seniman Nigeria tinggal
selama sebulan di Yogyakarta, berkolaborasi dengan komunitas lokal, dan sebaliknya,
dua seniman Indonesia menghabiskan waktu di Lagos. Bekerja dengan Afrika adalah
pengalaman yang sangat berbeda, penuh kejutan, tetapi pada saat yang sama juga
menghasilkan upaya-upaya dialog yang produktif.

Selama mengorganisasi residensi dan berbagai kemungkinan pertemuan, kami melihat
bagaimana seniman secara intensif terlibat dalam dialog-dialog yang egaliter dan non-
hierarkis, dan sebaliknya secara produktif membangun kolaborasi dengan berbagai
kelompok dan institusi lokal. Para mahasiswa dan seniman muda yang terlibat dalam
kerja-kerja relawan menjadi tulang punggung yang penting untuk memediasi
pertemuan ini. Justru melalui mata dan panduan para relawan serta mahasiswa inilah,
para seniman menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Yogyakarta, mencerap
khazanah praktik keseharian yang nyata, tidak melulu terhubung dengan lokus
kesenian yang terbatas. Kesejajaran dalam konteks produksi pengetahuan, di antara
seniman dan warga sehari-hari, adalah bagian dari ikhtiar untuk membangun ruang
pertemuan yang spontan dan terbuka.

Valsan Koorma Kooleri bekerja dengan sebuah workshop tembikar lokal di
Kasongan, atau N.S. Harsha bertemu dengan anak-anak muda yang membuat grafiti
mewujudkan proyek bersama mereka melukiskan kosmologi yang subtil. Sementara
Dina Danish (Arab) menghabiskan waktu untuk mengobservasi dan mengintervensi
proses pembuatan batik dalam kerangka karya yang lebih konseptual. Aderemi
Adegbite menemui keluarga-keluarga muslim di kampung-kampung kota Yogyakarta
untuk merefleksikan tafsir religius dalam konteks yang berbeda sekaligus membangun
proses dialog akar rumput. Ndidi Dike berkeliling ke berbagai pasar tradisional di
Yogyakarta untuk menemukan bagaimana lanskap sumber daya alam, produk pangan,
kerajinan, dan komoditas di kawasan equator, khususnya Asia-Afrika, adalah
kekayaan yang tidak saja menjadi dasar kehidupan fisik dan ekonomi, tetapi juga
mengandung filsafat sosial dan budaya.

Pengalaman para seniman asing untuk bekerja dengan seniman-seniman dan
komunitas lokal bagi kami bukan sekadar sebuah proses penciptaan kaya artistik,
tetapi adalah sebuah ruang bertemu antara para individu dari latar belakang
kebudayaan yang berbeda, yang berusaha untuk memasuki praktik dan pemikiran
yang berbeda dalam sebuah praktik hidup antarmanusia, relasi yang langsung
mengonfrontasikan nilai yang satu dengan nilai lainnya. Tentu saja perjumpaan ini
tidak dapat dilihat sebagai proses kolaborasi yang ideal, karena hanya berlangsung
dalam waktu singkat, tetapi saya percaya bahwa intensitas pertukaran pengalaman ini
tersimpan dalam ingatan mereka untuk membangun relasi di masa depan. Pertemuan-
pertemuan antarindividu menjadi generator bagi imajinasi antarbangsa dalam skala
yang lebih kecil, di mana kesalingpahaman yang egaliter dan keterbukaan untuk

menerima kebiasaan-kebiasaan baru, menjadi penggerak utama bagi solidaritas
antarmasyarakat.

Biennalisasi dan Dekolonisasi
Peta seni global yang banyak bergeser pasca 1989 dengan berbagai peristiwa
internasional yang melingkupinya, kemudian ditandai dengan munculnya pameran-
pameran internasional skala besar yang kemudian disebut sebagai biennale (setiap dua
tahun sekali) atau triennale (setiap tiga tahun sekali) yang muncul di berbagai penjuru
dunia. Setelah pameran Magicien de La Terre di Center Pompidou, Paris, gagasan
untuk memperluas diskursus seni global untuk mencakup wilayah-wilayah baru
seperti Asia atau Amerika Latin. Setelah itu, tonggak penting yang bisa disebut adalah
pameran Havana Biennale di Kuba pada 1993. Salah satu penggerak Havana Biennale
adalah Gerardo Mosquera. Havana Biennale dianggap membangun kontribusi penting
karena memberi ruang untuk keluar dari dominasi wacana Barat, dan terutama
melihat bagaimana seni bisa menjadi jalan perjuangan politik. Gema politik dari
Havana Biennale ini mendorong munculnya gerakan-gerakan lain berbasis semangat
dekolonisasi dan mendiskusikan internasionalisme dalam perspektif yang lebih kritis
pada dominasi Barat. Pada pertengahan 2000-an, Sharjah Biennale di Uni Emirates
Arab muncul sebagai kekuatan penting untuk mendorong munculnya seniman-
seniman dari kawasan Arab dan Afrika Utara, serta membangun dialog yang lebih
terbuka antara Islam dan dunia Barat. Maraknya proyek-proyek biennale internasional
di seluruh dunia, yang pelahan-lahan terasa seragam di sana-sini, memicu lahirnya
kritik bahwa biennale hanya menjadi ruang gentrifikasi dan komodifikasi kebudayaan
baru sebuah kota, terutama untuk menautkan dinamika kota dengan ide-ide seni

global, merupakan bahan diskusi yang kian menukik pada paruh kedua perkembangan
biennale. Dalam berbagai diskusi, hampir setiap penyelenggara biennale dituntut
untuk menghadirkan kekhasan dan identitas mereka sendiri, di mana mereka berupaya
untuk menjadi berbeda dengan biennale lain. Pendekatan spesifik seperti Ural
Industrial Biennale yang berfokus untuk melihat dampak industrialisasi dalam praktik
hidup sehari-hari, atau juga Land Biennale di Ulan Bataar, Mongolia yang mendorong
seniman menciptakan karya-karya dalam ruang terbuka, atau Ghetto Biennale di Haiti
yang melihat kembali sejarah dan konsepsi kelas sosial dalam ruang urban. Kehadiran
Biennale Jogja seri Equator acapkali disejajarkan dengan upaya-upaya serupa yang
dilakukan dalam rangka memperkuat kajian wilayah atau spirit Selatan yang
mempunyai misi politis untuk mempertanyakan relasi kuasa dalam konteks politik
kebudayaan.

Dalam diskursus seni rupa pada kisaran 2010-an, dekolonisasi menjadi isu penting
yang disuarakan oleh aktivis-aktivis kebudayaan dari negara-negara Asia-Afrika dan
Amerika Selatan, sebagai rangkaian dari semakin intensifnya gagasan tentang pasca-
kolonial dan dekolonisasi di ranah pemikiran politik kebudayaan. Salah satu pemikir
utama dalam kajian dekolonisasi, Walter Mignolo, menyebut bahwa “Kita, para
pemikir prodekolonisasi (seniman, kurator, aktivis, kritikus dan filsuf) harus memutus
hubungan dari warisan pemikiran estetika modern dan turunan warisan Roman dan
Yunani. Jadi, langkah pertama adalah meninjau dan mencipta ulang warisan-warisan
itu. Memang ada kecenderungan untuk terus menggunakan warisan-warisan lama ini
karena berbagai alasan (terutama karena pengetahuan Barat sudah tersebar secara
global, dan pengetahuan itu seperti sudah ada dalam diri kita yang mengalami

pendidikan tingkat lanjut. Sementara bagi kelompok yang tidak mengalaminya,
pengetahuan Barat tidaklah relevan.”

Memutus hubungan, sebagaimana yang ditegaskan Mignolo di atas, dalam konteks
masa kini memang terdengar radikal. Tetapi, kita membutuhkan satu pernyataan
untuk ditumbuhkan sebagai mitos dan imajinasi kolektif, yang perlahan menjadi
kenyataan bersama ketika kita mempercayainya. Biennale Jogja seri Equator
membangun pernyataan melalui pilihan geopolitisnya: khatulistiwa. Dalam kerja
selama empat edisi hingga buku ini diterbitkan (2019), setidaknya mitos ini terbentuk
di antara mereka yang pernah terlibat—kurator, seniman, kritikus, penulis, dan tim
kerja lainnya—untuk menjadikan kawasan khatulistiwa sebagai titik pijak untuk
melihat dunia dalam pandangan yang lebih berpihak pada sejarah pengetahuan dan
pengalaman kita sendiri. Spirit dekolonisasi dan Gerakan Selatan mendorong kami
untuk dapat menggali narasi-narasi di antara ensiklopedi masa lalu, melihat warisan-
warisan dari cakrawala nenek moyang kami sendiri. Melalui pertemuan dengan
pelaku seni dan budaya dari negara-negara di seputar khatulistiwa, kami belajar
bahwa ada pengetahuan-pengetahuan lain yang terhubung karena persamaan bentang
alam, iklim, spiritualitas, dan sebagainya. Dengan spirit khatulistiwa, Warisan
(pengetahuan seni) Barat yang kami pelajari sekian lama diharapkan tidak lagi
menjadi rujukan utama, tetapi justru memprovokasi untuk bisa mempertanyakan
ulang dan membangun proyek sejarah lokal.

Harus disebutkan, dalam catatan akhir ini, selama delapan tahun kami telah mengelola
sumber-sumber daya yang menakjubkan dari kawasan ini; sebuah projek trans-

nasional yang ambisius ketika tidak melibatkan kawasan Eropa, Amerika, atau
Australia memberikan konsekuensi pada strategi pendanaan. Kami harus bekerja
keras untuk mencari sumber-sumber dana dari donor-donor di kawasan ini sendiri.
Dan di sinilah tantangan dekolonisasi pada titik yang paling menukik: bagaimana kita
percaya pada sumber daya kita sendiri dan berdaya guna di atas kaki sendiri?
Pendanaan, kurangnya infrastruktur, atau keterbatasan akses, selama ini acapkali
menjebak kita untuk menggunakan kembali sistem dan strategi yang memperkuat
peranan warisan lama dalam rangkaian berpikir (mindset) kita. Memperjuangkan
sumber daya dari dalam tidak saja berkaitan dengan menolak apa yang asing dari
Barat, tetapi juga menjadi cara agar perjuangan dekolonisasi menjadi usaha bersama
bagi jejaring pemikir dan praktisi politik budaya dalam satu masyarakat.

Perjalanan mengelilingi setengah bola dunia, dari India ke Nigeria, dan masih
berlanjut separuh bola, bagi kami adalah perkara mengalami ruang dan mangsa.
Petualangan menembus cakrawala dan menuliskan cerita. Juga upaya untuk bergerak
membangun makna atas sejarah budaya dan pengetahuan kita, memberinya peluang
untuk memenangkan kuasa.