Site Loader
LATAR PEMIKIRAN SIMPOSIUM KHATULISTIWA Oleh: Enin Supriyanto (Pimpinan Proyek Simposium Khatulistiwa) Biennale Jogja mencoba untuk memandang ke depan, mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi  atas ‘kemapanan’ ataupun konvensi atas event sejenis. Wacana seni kontemporer sangatlah dinamis, namun dikotomi sentral/pusat dan periferi/pinggiran agaknya masih sangat nyata. Ada kebutuhan untuk mencari peluang baru dalam memberikan makna lebih atas event ini. Diangankan untuk mereka suatu common platform yang sekaligus mampu memberikan  provokasi atas munculnya berbagai keragaman dalam perspektif untuk menghadirkan alternatif-alternatif baru atas wacana yang hegemonik. — Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Simposium Khatulistiwa dan Biennale Jogja merupakan dua komponen program Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) yang tidak bisa dikurangi nilainya atau diperbandingkan. Pada pehelatannya, Biennale Jogja seri khatulistiwa ini selalu bekerja dengan sedikit negara dan pada kesempatan berikutnya akan selalu meninggalkan mitra sebelumnya sehingga kesempatan mengembangkan pemikiran bersama menjadi berkurang, kalau bukan hilang sama sekali. Oleh karena pola kerja ini juga, Biennale Jogja akan selalu kehilangan kesempatan untuk berdialog dengan pemikiran-pemikiran jenius dari individu-individu lain di luar negara mitranya. Simposium Khatulistiwa ingin menjadi penghubung antara sebanyak mungkin jenius lokal dari seputar khatulistiwa. Hal-hal kecil yang terjadi di sana-sini yang menjadi pemicu untuk beragam perubahan perlu dikumpulkan dan disuarakan keberadaannya untuk terus menyegarkan pikiran kita dan terus menginspirasi kita. Kecerdikan mereka menghadapi kerumitan masing-masing negara di sepanjang khatulistiwa adalah apa yang menjadi ketertarikan Simposium Khatulistiwa. Kami percaya bahwa bersama kita bisa memberi dunia alasan untuk berubah! Melalui Simposium Khatulistiwa, YBY memosisikan diri sebagai agen penghubung dan juga titik penyebaran untuk ide-ide terkini, perkembangan, dan pertumbuhan dari seluruh negara-negara di wilayah khatulistwa. Apapun yang berhubungan dengan pembuatan wacara di seputar khatulistiwa terbuka untuk dinegosiasikan. Simposium Khatulistiwa menyandarkan semangat penyelenggaraannya pada pidato presiden RI pertama Ir. Sukarno ketika membuka Konferensi Asia-Afrika, 18 April 1955, “Apa yang dapat kita lakukan? Kita bisa melakukan banyak hal! Kita bisa menyuntikkan berbagai alasan ke urusan-urusan dunia. Kita bisa menggerakan segala kekuatan spiritual, moral, dan politis Asia dan Afrika untuk kedamaian!” Apa yang berlangsung di Indonesia pascareformasi ini seringkali kami sederhanakan sebagai “defisit perubahan” (meminjam istilah dari Dr. ST Sunardi). Untuk itu, kami merasa perlu menginspirasi diri kami sendiri, orang-orang di sekitar kami, dan juga masyarakat Indonesia secara umum bahwa kita bisa berubah. Kita bisa melakukan perubahan. Yang menarik dari penjelasan resmi YBY tadi adalah bahwa tidak ada bagian yang secara langsung menyinggung kenyataan bahwa secara “kebetulan” sesungguhnya pilihan wilayah dan agenda politis tadi menggemakan persoalan-persoalan sosial-politik-kebudayaan yang pernah membawa Indonesia sampai pada posisi penting dalam peta pergaulan antarbangsa, sekaligus suatu prestasi khusus dalam perjalanan sejarah Indonesia modern. Inisiatif dan agenda kerja YBY adalah juga gaung yang terdengar di masa lalu, dari suatu peristiwa pertemuan “bangsa-bangsa di sabuk Khatulistiwa”, di pertengahan abad ke-20, dengan Indonesia sebagai salah satu inisiator utama, sekaligus penyelenggara dan tuan rumah. Risalah ringkas ini justeru akan memanfaatkan “kebetulan” tadi. Kebetulan yang saya maksud adalah: Negara-negara yang ada dalam wilayah sabuk Khatulistiwa—antara 23.27° LU dan 23.27° LS, adalah bagian terbesar dari 29 negara (baru merdeka, bekas wilayah jajahan kolonialis Barat) peserta Konferensi Asia-Afrika (KAA), Bandung, 1955.[1] Lebih jauh lagi, jika kita terima bahwa Gerakan Negara-negara Non-Blok (GNB) adalah kelanjutan dari KAA, maka hampir semua negara yang sudah dan akan jadi rekanan BJ adalah juga adalah anggota GNB.[2]Saya beranggapan bahwa pelajaran dari—dan refleksi terhadap—KAA dapat memberi bekal pada kita untuk lebih memahami persoalan kita hari ini, dan juga tantangan-tantangannya. Upaya ini akan dapat memberi sejumlah bekal bagi kita untuk memasuki wilayah persoalan dan tantangan yang segera akan dihadapi juga oleh BJ jika sungguh-sungguh ingin menjalankan agenda politiknya di medan seni rupa kontemporer global. Sejumlah catatan penting tentang KAA dapat memberikan gambaran pada kita mengenai pemikiran yang pernah berkembang di negara-negara Asia–Afrika saat para pemimpin dan intelektualnya mulai sungguh-sungguh memikirkan posisi dan sikap mereka berhadapan dengan imperium yang menata dan menguasai hirarki hubungan negara-bangsa setelah berakhirnya kolonialisme, seusai Perang Dunia II, dan menjelang ketegangan global Perang Dingin. Dalam konteks sejarah yang khusus inilah kita bisa memahami mengapa Soekarno, Presiden Indonesia ketika itu, dalam pidato sambutannya berani dengan lantang mendaku bahwa KAA adalah “konferensi antarbenua yang pertama dari bangsa-bangsa kulit berwarna sepanjang sejarah umat manusia!” [3] Sementara Richard Wright (1908-1960)—penulis/jurnalis/aktivis gerakan sipil kulit hitam AS yang kemudian pindah ke Paris dan jadi warga Perancis—demikian bersemangat datang ke Bandung atas inisiatif dan biaya sendiri hanya untuk menyaksikan langsung peristiwa KAA.[4] “Dari hari ke hari kerumunan orang berdiri di bawah terik matahari tropis, memandang, menyimak, bersorak; ini kali pertama dalam pengalaman hidup mereka yang terhinakan mereka menyaksikan orang-orang hebat dari bangsa, ras dan warna kulit yang serupa dengan mereka tampil berkuasa, bangsa mereka sendiri mengatur ketertiban, Asia dan Afrika mereka yang sedang mengatur nasibnya sendiri.”[5] YBY adalah apa yang disebut Wright sebagai ‘upaya mengatur nasibnya sendiri’ karena ia lahir dari kebutuhan sekumpulan praktisi seni rupa kontemporer yang membutuhkan sejumlah kesepakatan tertentu dalam penyelenggaraan Biennale Jogja agar ada standar, sehingga bisa terus-menerus bisa dikembangkan dan dalam realitas macam itu jugalah kritik dapat hadir dengan masuk akal. Oleh karena itu, Simposium Khatulistiwa adalah sebuah forum internasional yang dirancang sebagai arena pertemuan ahli, pemikir, praktisi, peneliti dari berbagai bidang. Ini adalah acara untuk berbagi informasi dan pengetahuan, bertukar pikiran dan pendapat sebagai upaya membangun pemahaman kritis atas berbagai praktik seni rupa kontemporer dalam kaitannya dengan dinamika sosial, budaya, dan politik di kawasan khatulistiwa. Dengan ini, praktik dan wacana seni kontemporer membutuhkan sebuah ruang yang terbuka, inklusif dan siap akan beragam studi kritis dari berbagai disiplin yang relevan. Simposium Khatulistiwa juga akan berfungsi sebagai upaya untuk mengembangkan jejaring antara berbagai perorangan dan lembaga yang bisa mengaktivasikan peran para ahli dan praktisi seni kontemporer Indonesia ke dalam sebuah forum internasional. _________________ [1] 29 negara peserta KAA, Bandung 1955: Afghanistan, Indonesia, Pakistan, Burma/Myanmar, Iran, Filipina, Kamboja, Irak, Iran, Arab Saudi, Ceylon (Sri Lanka), Jepang, Sudan, Republik Rakyat Cina, Yordania, Suriah, Laos, Thailand, Mesir, Lebanon, Turki, Ethiopia, Liberia, Vietnam (Utara), Vietnam (Selatan), Pantai Emas (Gold Coast, sekarang Ghana), Libya, India, Nepal, Yaman. [2] Wilayah gerak Biennale Jogja seri Khatulistiwa dibingkai dalam batas garis balik utara (tropic 23’27’’) dan garis balik selatan (tropic 23’27’’). YBY mempertemukan Indonesia dengan negara-negara (wilayah): India (2011), Negara-negara Arab (2013), Afrika (2015), Amerika Selatan (2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia (2019) – Karena kekhasan cakupan wilayah ini, acara BJ tahun 2019 juga disebut sebagai ‘Bienal Laut’ (Ocean Biennale), dan kemudian Asia Tenggara (2021). Seluruh rangkaian acara ini kemudian akan diakhiri dengan penyelenggaran Konferensi Equator di tahun 2022. [3] Sampai sampai tenggat naskah awal ini tersusun, saya belum mendapatkan naskah pidato dalam Bahasa Indonesia yang diterbitkan dalam buku: Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru! Pidato P.J.M. Presiden Soekarno pada pembukaan Konferensi Asia-Afrika, tanggal 18 April 1955, (Terdjemahan dari bahasa Ingris oleh Intojo), Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, 1955. Untuk keperluan kali ini, saya gunakan terjemahan bebas ke Bahasa Indonesia, berdasarkan naskah Bahasa Inggris yang justeru banyak tersebar di sejumlah situs internet. Nasakah Bahasa Inggris: Let a New Asia and New Africa Be Born, http://www.bandungspirit.org [4] Catatan dan ulasannya tentang KAA 1955 langsung dipublikasikan di AS dalam bentuk buku kecil setahun setelah konferensi: Richard Wright, The Color Curtain, A Report on Bandung Conference, World Publishing Company, N.Y., 1956. Dalam esai ini saya merujuk pada terbitan baru, buku yang memuat 3 naskah sekaligus, yakni: Richard Wright, Black Power, Three Books from Exile: Black Power; The Color Curtain; and White Man, Listen!, Harper Perennial Modern Classics, N.Y., 2008.—pp. 429-629. [5] Richard Wright, 2008, p. 536. _________________ Penyelenggara Yayasan Biennale Yogyakarta
Tim Kerja Tn. Enin Supriyanto Pimpinan Proyek Simposium Khatulistiwa E-mail: goodbyenin@gmail.com
Nn. Grace Samboh Pengelola Program Simposium Khatulistiwa E-mail: sambohgrace@gmail.com Nn. Ratna Mufida Pengelola Operasional Simposium Khatulistiwa E-mail: ratnamufida@yahoo.com

Kantor/alamat surat Yayasan Biennale Yogyakarta d.a. Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani 1, Yogyakarta,  Indonesia 55122 Telepon: +62 274 587712 E-mail: symposiumequator_yby@yahoo.com www.biennalejogja.org