Forum Group Discussion Yayasan Biennale Yogyakarta Sesi 2: “Melihat Masa Depan Biennale Jogja dan Peristiwa Seni Unggulan Sebagai Aset Jogja untuk Kebudayaan Dunia”
Forum Group Discussion (FGD) Yayasan Biennale Yogyakarta terdiri dari dua sesi, setelah selesai dengan sesi pertama bersama dengan pengelola art space dan komunitas yang berlokasi di lantai dua Kedai Kebun Forum Yogyakarta. Dilanjutkan dengan peserta dan judul yang berbeda yaitu Melihat Masa Depan Biennale Jogja dan Peristiwa Seni Unggulan Sebagai Aset Jogja untuk Kebudayaan Dunia.
Alia Swastika membuka sesi kedua dengan harapan akan dapat melihat kembali posisi organisasi-organisasi dari berbagai peristiwa seni dalam tata kelola seni dan budaya di Yogyakarta 5-10 tahun ke depan. Selain itu juga membahas, bagaimana hal-hal tersebut dapat diintegrasikan dengan visi pemerintah pusat, merefleksikan Biennale sebagai sebuah peristiwa seni, dan membayangkan ulang Biennale dengan visi misi dan bentuk baru. Selain itu diskusi difokuskan dengan kebijakan publik mencakup administrasi, pengelolaan sumber daya, resiliensi desa dan isu pemberdayaan sumber daya.
Peserta yang hadir terdiri dari Kepala Taman Budaya Yogyakarta, Pius Sigit Kuncoro, Nindityo Adipurnomo, Ahmad Noor Arief, Romo G. Budi Subanar, Mikke Susanto, Kuss Indarto, Revianto B. Santoso, Suwarno Wisetrotomo, Bambang Paningron, Wahyudi Anggoro Hadi (Kepala Desa Panggungharjo), perwakilan JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival), perwakilan FFD (Festival Film Dokumenter), Bambang Toko (Artjog) dan difasilitatori oleh Adi Wicaksono.
Adi Wicaksono memulai diskusi dengan beberapa pertanyaan yang menjadi titik tolak untuk direspon. Catatan pertama; Apakah Biennale Jogja bisa menjadi fenomena ekosistem kebudayaan? Address isu apa dan bagaimana? Apakah pengampu organisasi ini relevan untuk melakukan itu? Catatan kedua adalah saling berbincang tentang tata kelola, sebenarnya seperti apa.
Menurut Suwarno, ekosistem yg dinamis akan menunjukkan bagaimana jejaring bisa dibangun, seni rupa tidak hanya bicara dirinya sendiri tapi juga hal-hal lain di luar dirinya. Seni rupa juga mampu menggerakan sektor-sektor yg lain. Hal ini menjadi sebuah tantangan bagaimana peristiwa Biennale dipercakapkan dalam kebudayaan. Suwarno juga menambahkan, bagian yang belum tampak dari kesuksesan Biennale adalah kehadiran pemerintah setempat dalam konteks PEMDA DIY. Padahal Biennale itu dalam pandangan Suwarno merupakan peristiwa kebudayaan yg harus ditopang negara yang bukan event cari untung/komersial, wataknya menggerakan.
Respon menarik lainnya juga disampaikan oleh Romo Banar tentang Jogja sebagai kota seni, kontinuitas dan diskontinuitasnya. Romo merumuskan paling tidak 4 pilar yang membentuk/menghadirkan Jogja di abad-20. Ada pilar nasionalisme, keagamaan, pendidikan dan kebudayaan. Begitu juga dengan Nindityo Adipurnomo menyampaikan pendapatnya tentang Biennale Jogja adalah fenomena artistik atau kultural. Menurutnya dua hal ini tidak bisa dipisahkan dan saling membentuk. Fenomena kultural itu manifestasi artistik dan sebaliknya.
Merespon pertanyaan Adi di awal, Bambang melihat Biennale Jogja sebagai peta peristiwa budaya di Jogja, posisi Biennale dalam ekosistem peristiwa budaya bersifat event. Sebagai seniman pertunjukan, Bambang merasa cemburu dengan teman-teman seni rupa yang begitu dinamis. Perkembangannya tidak pernah selesai, selalu ada hal yg bersifat gelut tapi tidak melukai. Dalam konteks wacana, Biennale banyak dicemburui karena tidak terjadi di wilayah-wilayah kesenian yg lain. Teman-teman seni pertunjukan kontemporer terpengaruh seni rupa namun tidak berani berwacana, menurut Bambang ini hal yang memprihatinkan. Atas pertanyaan tentang sebenarnya Biennale Jogja merupakan peristiwa artistik atau kultural? Menurutnya tidak sekedar dua hal itu, bagaimana Biennale bisa merespon isu di
masyarakat dalam bentuk apapun dan menyampaikannya di tengah 600 festival-festival lain di Jogja yang memungkinkan untuk kanibal.
Salah satu peserta diskusi yang hadir merupakan Kepala Desa Panggungharjo, ia merespon tentang desa, bagaimana desa merupakan entitas yang tangguh. Desa menyimpan 3 komoditas strategis yaitu udara bersih, air bersih dan pangan sehat. Ketiga komoditas yang kemudian membuka strategi, relasi manusia antar manusia dan alam. Saat peristiwa Covid yang lalu, membuktikan bahwa puncak relasi kita ada di keluarga, puncak relasi sosial kita di kekeluargaan, puncak relasi ekonomi di bekerja sama dan puncak relasi politik kita itu musyawarah. Hal-hal ini menyelamatkan warga desa dari pandemi.
Diskusi berlangsung intens sampai pukul ba’da Maghrib, namun karena keterbatasan waktu perwakilan ARTJOG belum bisa menyampaikan responnya dan diharapkan akan ada pertemuan lainnya. Biennale Jogja ingin berterima kasih kepada semua peserta diskusi yang sudah berpartisipasi dalam FGD sesi 2 ini, harapan yang baik akan terus dipanjatkan demi kesuksesan para organisasi-organisasi seni dalam merawat kebudayaan Indonesia.
Selayang pandang potret acara FGD Yayasan Biennale Yogyakarta Sesi 2: “Melihat Masa Depan Biennale Jogja dan Peristiwa Seni Unggulan Sebagai Aset Jogja untuk Kebudayaan Dunia” di Kedai Kebun Forum :