Site Loader

Bekerja dengan visi baru membawa kami pada kesadaran tentang kerja kuratorial sebagai kerja kolaboratif yang melibatkan banyak pihak. Dalam Biennale Jogja XVII ini, kami berkumpul bersama sekawanan pemikir, aktivis, kurator, penulis, dan seniman; untuk bersama-sama mewujudkan gagasan translokalitas dan transhistorisitas. Kami juga bekerja dengan teman-teman warga desa dalam tim kerja, belajar seluk beluk sejarah dan pengetahuan tersituasi.

Kerja kuratorial tak lagi berpusat pada individu-individu, melainkan menjadi proses komunal di antara kami semua. Dari Romania, Nepal, sampai kawasan Tengah dan Timur Indonesia, akan bertemu dengan lokalitas di Yogyakarta serta beberapa desa yang ada di Bantul. Ruang seni dan ruang warga membaur. Biennale Jogja XVII melihat spirit kolektivitas dan komunalitas sebagai praktik keseharian yang bertumpu pada pengetahuan tacit. Pengetahuan yang dimiliki bersama, dihidupi dan menjadi inspirasi bagi banyak orang.


Memperkenalkan Tim Kuratorial Biennale XVII 2023:

 

ALIA SWASTIKA – Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta

Alia adalah lulusan Jurusan Komunikasi Universitas Gadjah Mada.Sejak 2008 ia menjadi kurator dan Direktur Program di Ark Galerie, Jakarta/Yogyakarta.Sekarang bekerja sebagai Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta. Pada 2011 Alia menjadi kurator Biennale Jogja XI bersama Suman Gopinath (India) lalu 2012 menjadi salah satu dari Co-Curators Gwangju Biennale di Korea Selatan.Pada 2017, terpilih sebagai kurator pada pameran seni kontemporer Indonesia pada perhelatan Europalia Arts Festival dan mengorganisir pameran di 4 museum di Belgia dan Belanda. Pada 2019,menjadi salah satu konsultan kurator untuk pameran Contemporary Worlds: Indonesia, di National Gallery of Australia,Canberra. Selain melakukan kerja kuratorial, ia aktif menerbitkan tulisan pada berbagai surat kabar, majalah, jurnal dan buku baik di dalam maupun luar negeri.Pada 2015, mendirikan Study on Art Practices yang menerbitkan jurnal Skripta, sebuah media diskursus seni kontemporer.Bukunya “Praktik Negosiasi Seniman Perempuan dan Politik Gender Orde Baru” terbit dengan dukungan penelitian dari Ford Foundation pada 2019. 

 

 

 

NATASA PETRESIN-BACHELEZ – Konsultan Kurator Biennale Jogja XVII

Nataša Petresin-Bachelez adalah seorang kurator, editor sekaligus penulis. Sejak 2021, dia menjadi kepala program budaya di  Cité internationale des arts di Paris. Bersama Elena Sorokina, dia adalah salah satu pendiri inisiatif untuk praktik dan visi perawatan radikal. Ia adalah salah satu direktur Les Laboratoires d’Aubervilliers (2010-2012, dengan Alice Chauchat dan Grégory Castéra). Dia bekerja sebagai pemimpin redaksi jurnal Versopolis Review (2020-2021),  L’Internationale Online (2014-2017) dari Manifesta Journal (2012-2014). Dia menyelenggarakan simposium di INHA, Paris; Jeu de Paume, Paris; Tate Modern, London; dan Museum Seni Modern, Ljubljana. Bersama dengan Patricia Falguières dan Elisabeth Lebovici dia adalah salah satu penyelenggara seminar Something You Should Know (2016 – sedang berlangsung, EHESS, Paris). Sejak 2019, ia bekerja sebagai tutor di Sekolah Seni Sint Lucas, Antwerpen.

 

 

 

 

 

ADELINA LUFT – Kurator Biennale Jogja XVII

Adelina Luft adalah seorang kurator dan penyelenggara budaya yang praktiknya muncul dan berkembang di Yogyakarta sejalan dengan pola pikir dekolonial dan cara kerja yang mengutamakan proses, kolaborasi dan interdisiplinaritas. Proyek kuratorialnya membahas kedekatan lintas lokal, dan hubungan manusia/nonmanusia dengan tanah, migrasi, dan identitas. Sejak 2021 dia berbasis di Bucharest, di mana dia memulai berbagai projek, antara lain, We Are Here to Stay dengan imigran/pengungsi Arab bersama dengan  Romanian Peasant Museum dan MNTRplusC, atau pameran kelompok Ecologies of Repair di Gaep. Saat ini ia adalah kolaborator di tranzit.ro/Bucuresti dan co-curator untuk Biennale Jogja Equator 2023, dimana sebelumnya ia menjabat berbagai peran di edisi  tahun 2017 dan 2015.

 

 

 

 

 

SHEELASHA RAJBHANDARI & HIT MAN GURUNG – Kurator Biennale Jogja XVII

Sheelasha Rajbhandari yang lahir pada tahun 1988 di Kathmandu, merupakan seorang seniman visual, culture organizer, dan salah satu pendiri kolektif seniman Artree Nepal. Penelitian longitudinalnya mereposisi narasi kuotidian dan jamak dengan menenun cerita rakyat, sejarah lisan, dan ritual performatif sebagai penjajaran historiografi konvensional. Praktik Rajbhandari berakar pada pengalaman perempuan dan berusaha untuk menghadapi bagaimana agensi dan jasmani perempuan menjadi situs politik yang diperebutkan untuk negara-bangsa kontemporer; sebuah fenomena yang paralel dengan pembongkaran lanskap matrisentris dalam masyarakat ekstraktif.

Hit Man Gurung, lahir pada tahun 1984 di Lamjung, saat ini berbasis di Kathmandu. Beragam media karya Gurung berkaitan dengan beberapa fenomena politik, ekonomi, dan budaya yang paling mendesak yang mengubah lanskap fisik dan sosial Nepal. Terutama menangani Perang Rakyat selama satu dekade di negara itu, beberapa tahun pemerintahan yang tidak stabil, dan dampak semua ini terhadap kehidupan pribadi dan profesional warga Nepal. Secara paralel, seninya juga berbicara tentang dampak kuat dari kapitalisme global, ledakan ekonomi yang dramatis di Timur Tengah dan Asia Tenggara, investasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam pembangunan infrastruktur di kawasan ini, dan permintaan
                                                                                                    tenaga kerja murah yang tak henti-hentinya; dia lebih jauh menyatukan berbagai
                                                                                                    pola migrasi massal yang terlihat di seluruh Nepal.

 

EKA PUTRA NGGALU – Kurator Biennale Jogja XVII

Eka Putra Nggalu menamatkan pendidikan filsafat di STFK Ledalero Maumere. Tahun 2015, terlibat menjadi salah satu inisiator berdirinya Komunitas KAHE, sebuah komunitas lintas disiplin ilmu dan praktik yang menggunakan kesenian sebagai medium untuk merefleksikan gagasan serta isu-isu sosial masyarakat. Bersama Komunitas KAHE menginisiasi beberapa proyek dan platform (teater, sastra, seni rupa, diskusi) yang berbasis pada aktivasi isu, modal, dan potensi komunitas warga. Beberapa yang bisa disebutkan antara lain, festival teater Maumerelogia (2016-2019), Maumere Exhibition (2019-2022), Flores Writers Festival (2021-2022), Voicing Bajo and Bugis People of Maumere (2020), dan Re-Imagine Bikon Blewut (2022). Ia juga aktif mengelola serta menulis di media daring laune.id.

 

 

 

 

 

 

GEGERBOYO – Artistik Kuratorial  Biennale Jogja XVII

GEGERBOYO adalah proyek kolaborasi antara Enka Komariah, Prihatmoko Moki, Vendy Methodos, Anjali Nayenggita, Dian Suci (2017-2022) dan Ipeh Nur (2017-2022). Terbentuk di Yogyakarta, Indonesia pada Juni 2017.  Karya-karya GEGERBOYO banyak terinspirasi oleh tradisi budaya Jawa, budaya urban, kaitan keduanya serta korelasi dengan fenomena sosial politik yang sedang terjadi saat ini. Metode praktik berkarya GEGERBOYO seperti halnya memerankan lakon dalam pertunjukan ketoprak, satu sama lain saling merespon dan menimpali setelah sebelumnya menyepakati satu tema besar yang akan dibuat. GEGERBOYO adalah wahana bereksperimen, barter pengetahuan, tukar pikiran terutama yang berkaitan dengan kebudayaan dan sejarah Jawa serta perkembangannya sampai saat ini. Nama GEGERBOYO diambil dari bukit yang mengelilingi Gunung Merapi. Sebuah bukit yang melindungi masyarakat sekitar Gunung Merapi dari erupsi dan awan panas. Bukit ini berbentuk panjang dan bergerigi seperti bentuk punggung buaya. Geger Boyo (bahasa jawa) memiliki arti; GEGER adalah punggung, dan BOYO adalah buaya. Karena bukit tersebut memiliki bentuk yang menyerupai punggung buaya, masyarakat lokal menamainya dengan GEGERBOYO.

 

 

 

SHOHIFUR RIDHO’I – Peneliti Kuratorial Biennale Jogja XVII

Shohifur Ridho’i adalah seniman pertunjukan, penulis, dan kurator yang mempresentasikan karyanya melalui pertunjukan teater dan tari, puisi dan esai, serta proyek repertoar sosial. Pendidikan terakhirnya adalah jurusan Filsafat di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Shohifur mengembangkan rokateater sejak 2016, sebuah platform penciptaan seni pertunjukan yang bertujuan menjadi ruang eksperimen untuk mendorong ekspresi dan pemikiran kritis kaum muda. Ia juga salah satu pendiri Lembâna Artgroecosystem, sebuah inisiatif seni untuk mempelajari lanskap sejarah dan koreografi sosial di Madura, Jawa Timur. Sebagian besar karyanya dibuat secara kolaboratif, terutama dengan praktisi lain dari berbagai disiplin ilmu. Buku barunya yang telah terbit berupa esai panjang berjudul “Menempuh Titik Buta: Fotografi dan Tanda Mata Kota-Kota” (2021).

 

 

 

 

 

MEGA SIMANJUNTAK – Peneliti Kuratorial Biennale Jogja XVII

Mega Nur Anggraeni Simanjuntak adalah seorang penulis, peneliti, dan editor independen. Karya-karyanya berbicara tentang masalah mulai dari keluarga, generasi, relasi kekuasaan, internet, dan hal-hal sepele dalam kehidupan sehari-hari yang memiliki kompleksitas tertentu. Menjelajahi isu tersebut berujung pada koneksi dengan Studio Malya, sebuah kolektif yang berbasis di Yogyakarta di mana dia terlibat aktif.