Site Loader

Asia Tenggara, wilayah yang sejak era kolonial menjadi area sentral bagi praktik kolonialisme. Bahkan sampai pada Perang Dingin, kawawan ini jadi tempat di mana perang proxy terjadi secara masif. Asia Tenggara memiliki lanskap sosial dan politik yang rumit, tetapi pada sisi lain masyarakatnya sangat kosmopolit dan dinamis. Begitu pula dengan lanskap seni yang sama dinamisnya, Asia Tenggara kini mendapat perhatian khusus dalam ekosistem seni global. 

Dalam keterbatasan infrastruktur, galeri, dan pasar, praktik seni di Asia Tenggara justru lebih banyak digerakkan oleh kolektif dan inisiatif seni. Cukup berbeda dengan kawasan lain, praktik seni kontemporer di Asia Tenggara bergulir dalam ruang dan praktik alternatif. Selama tiga dekade terakhir, kolektif dan inisiatif seniman di Asia Tenggara telah memainkan peran penting dalam produksi pengetahuan melalui kesenian, termasuk juga distribusi pengetahuan yang lebih mengakar pada masyarakat. 

Kondisi sosial, politik, hingga dinamika ekosistem seni global sangat terasa memengaruhi visi, paradigma, dan praktik seni di Asia Tenggara. Upaya memetakan dan membaca posisi kemudian jadi penting, terutama untuk solidaritas sesama pegiat seni kontemporer Asia Tenggara. 

Untuk itu, diselenggarakan sebuah lokakarya dan simposium publik bertajuk “Critical Playground: Artists Initiatives and Collective in South East Asia“, diselenggarakan atas kerjasama Biennale Jogja dan Goethe Institute Indonesien. Tepatnya di Gedung Ajiyasa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 21-22 Oktober 2019. Lokakarya dan simposium itu memetakan dan merefleksikan trajektori kolektif dan inisiatif seniman di Asia Tenggara sejak akhir 1980-an.

 

Memetakan Praktik Kolektif selama Satu Dekade di Asia Tenggara

Dalam forum ini didiskusikan bagaimana kolektif dan inisiatif seniman Asia Tenggara telah menjadi bagian penting dari ekosistem seni global. Di Asia Tenggara, mereka memainkan peran dalam menyediakan ruang bagi produksi dan presentasi artistik, memungkinkan refleksi kritis, responsif dalam isu-isu warga, hingga terlibat dalam bentuk-bentuk alternatif pendidikan dan penelitian. Tak ketinggalan, praktik artistik, kuratorial, hingga tata kelola yang berlangsung secara organik menjadi penting untuk diartikulasikan supaya menjadi semacam metode bersama. 

Pertemuan ini menjadi penting untuk melihat bagaimana periode pasca 1998 menjadi titik penting bagi generasi pelaku seni di Asia Tenggara, yang menjadi titik balik untuk seniman merayakan kebebasan ekspresi pasca runtuhnya beberapa rezim otoriter. Yang menarik, karena pertemuan ini bersifat intergenerasional, maka kita juga mendengar bagaimana setiap generasi mempunyai pendapat yang beragam tentang bagaimana definisi politik itu sendiri, dan respons dalam ekosistem seni atas perubahan iklim politik. 

Generasi Kolektif seperti Cemeti Gallery (pada saat itu), Project 304, Artist Village Singapore, misalnya, melihat politik adalah bagaimana menyuarakan apa yang dibungkam. Sementara itu, generasi setelahnya seperti Green Papaya, ruangrupa, Ruang MES 56, melihat bagaimana kerja politis adalah perihal membangun dan mendorong eksperimentasi sosial dan seni juga, sekaligus memperdalam kerja-kerja produksi pengetahuan. Kolektif muda yang lahir pasca 2010 seperti Hysteria di Semarang, Jatiwangi di Jawa Barat, Baan Norg di Thailand, mencoba mendefinisikan kerja berbasis komunitas lokal sebagai pernyataan politik.

Kemunculan ruang/inisiatif yang dijalankan seniman/kurator di jagat seni Asia Tenggara sering didiskusikan sebagai dampak dari kurangnya infrastruktur terkait seni di wilayah ini, terutama pada dekade pertama keberadaan mereka. Setelah periode itu, wacana tampaknya bergeser ke diskursus yang terhubung dengan respons seniman terhadap konteks sosial-politik, bereaksi terhadap kontrol yang kuat dari negara dan rezim, atau situasi global ranah seni itu sendiri dengan relasi kuasa yang mengitarinya.

Berbagai hal ini kemudian mendorong berbagai generasi seniman untuk menciptakan ekosistem seni yang spesifik, berbeda dari ekosistem seni Barat yang telah mapan. Dalam lokakarya tersebut, beberapa inisiatif seniman senior berbagi pengalaman mereka. Cemeti Institute for Arts and Society di Indonesia, misalnya, didirikan pada 1988 sebagai ruang pamer yang bersedia menerima eksperimen seniman muda, di tengah kontrol militer dan pemerintah yang ketat pada masa Orde Baru. Cemeti menjadi ruang bagi praktik artistik sekaligus imaji politik alternatif di kalangan generasi muda seniman.

Sementara itu, Post Museum di Singapura pada akhir 1980-an menjadi tempat bagi seniman-seniman untuk berkumpul, bertukar ide, dan menciptakan pameran yang memecah rutinitas kota. Wacana seni kala itu terjadi di ruang publik, dan seni berperan penting untuk mendorong isu seni dan publik dalam isu-isu kewargaan. Inisiatif-inisiatif serupa juga bermunculan di Vietnam, Thailand, Kamboja, Malaysia, Filipina, hingga Timor Leste.

Dua puluh empat kolektif dan inisiatif seni tergabung dalam lokakarya ini dan saling bertukar tangkap satu sama lain. Mereka menjawab kebutuhan akan ruang bagi ekspresi dan eksperimen artistik, sekaligus merespons konteks sosial-politik masing-masing. Dalam perkembangannya, lanskap dan peta inisiatif seniman di Asia Tenggara mengalami banyak perubahan seiring transformasi pengaruh eksternal, pembentukan institusi baru, dan dinamika politik di tiap negara.

 

Dari Lokakarya ke Simposium Publik

Tanggal 21 Oktober 2019, lokakarya yang bergulir secara cair dan reflektif di Yogyakarta itu menjadi ajang pertukaran pengalaman dan refleksi kritis atas perjalanan tiga dekade terakhir. Selanjutnya tanggal 22 Oktober 2019, kata kunci dan ide pokok yang direfleksikan itu ikut diperbincangkan bersama publik yang lebih luas dalam simposium publik, masih bertempat di Gedung Ajiyasa, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Menariknya dalam simposium publik itu hadir juga para seniman hingga kurator muda yang juga menginisiasi kolektif-kolektif seni dari generasi baru. 

Simposium itu kemudian menjadi ruang diskusi mendalam dilakukan untuk menelusuri ulang visi, paradigma, dan praktik seni kontemporer kini. Yang juga tentu terhubung dengan publik yang lebih luas dari generasi dan latar belakang berbeda. Perbincangan mengenai arah hingga pemetaan baru berbagai kolektif dan inisiatif seni menjadi perbincangan yang terbuka untuk publik. Hal ini menjadi penting dilakukan untuk merespon gerak kebudayaan yang dinamis.

Seorang seniman dari KL, Sao Bin Yap, merefleksikan betapa pentingnya kolektif dalam ekosistem seni global hari ini, baik sebagai metode dan platform. Terutama soal momentum lokakarya dan simposium publik ini, dibutuhkan ruang untuk saling mendengar dan berbagi antar kolektif di Asia Tenggara. Sebab menurut Sao Bin: “Kita bisa mencari pijakan mendasar untuk bekerjasama, dalam perbedaan latar belakang dan pandangan antar kolektif. Untuk kemudian merajutnya menjadi spirit bersama”.

Melalui pertemuan ini, menjadi penting digarisbawahi bahwa kolektif dan inisiatif seniman di Asia Tenggara telah menjadi agensi yang penting dalam lanskap seni kontemporer di kawasan ini. Mereka tidak sekadar menyediakan ruang bagi produksi dan presentasi karya, tetapi juga mendorong refleksi kritis, merawat komunitas, dan terlibat dalam praktik-praktik alternatif edukasi serta penelitian. Kiprah mereka telah membentuk perkembangan wacana dan praktik seni di Asia Tenggara selama tiga dekade terakhir.

Untuk itulah platform seperti Biennale, terutama dalam konteks ini adalah Biennale Jogja, menjadi penting dalam merawat jejaring dan distribusi pengetahuan soal kolektif seni. Biennale Jogja ada dalam suasana pameran seri Equator, yang pada tahun 2019 memang berfokus soal Asia Tenggara. Penting kemudian bagi Biennale Jogja untuk saling menghubungkan dan memantik perenungan bagi kolektif-kolektif seni di Asia Tenggara. Seperti refleksi yang dibicarakan Alia Swastika: “Momentum ini ingin mengajak para seniman dan praktisi untuk merenungkan apa yang terjadi 13 tahun terakhir ini, terutama soal dalam situasi sosial-politik yang berubah-ubah. Sehingga, kita bisa memetakan, lalu menentukan posisi hingga respon yang tepat”.

Kolektif dan inisiatif seni di Asia Tenggara hidup dalam tantangan yang berlapis, secara sosial-politik terus berubah dengan dinamika yang seringkali tak terduga. Untuk itu, pertemuan Yogyakarta menjadi penting untuk memetakan ulang lanskap inisiatif seniman di Asia Tenggara. Terlebih untuk mengartikulasikan dinamika yang terjadi, lalu membayangkan solidaritas yang bisa diupayakan bersama.