Seri diskusi mengenai

MEDIA, SENI, DAN BUDAYA:

PERUBAHAN DAN TANTANGANNYA DALAM DEMOKRASI ABAD 21

Yogyakarta, 19 – 20 November 2013

Dalam satu dekade terakhir ini, perubahan-perubahan penting terjadi di kawasan Asia dan jazirah Arab, yang menunjukkan dinamika perkembangan sosial-politik berkenaan dengan demokrasi. Reformasi di Indonesia yang terjadi pada 1997-1998 telah membawa Indonesia menjadi salah satu Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia yang menjalankan sistem demokrasi.

Hampir satu dekade kemudian, sejumlah negara di kawasan jazirah Arab, atas alasan yang bervariasi, didorong oleh warga negaranya sendiri yang muak dengan berbagai kekangan dan tekanan rejim otoriter selama ini, tiba-tiba serentak bangkit dan menyongsong demokrasi. Kita tahu sekarang bahwa peralihan itu tidak selalu damai, tidak juga mulus dan lancar.

Bersamaan dengan itu, pasang naik perkembangan ekonomi Indonesia (juga Cina, India, Brazil, Turki dan Philipina) menunjukkan bagaimana dinamika ekonomi global justeru bergeser ke kawasan Asia. Sementara Eropa dan Amerika Serikat justeru mengalamai penurunan pertumbuhan, krisis dan komplikasi ekonomi yang belum juga terselesaikan hingga saat ini.

Tidak bisa disangkal, dinamika perkembangan di kawasan Asia dan jazirah Arab itu, yang tampak dalam bidang sosial, politik dan ekonomi, telah jadi perkembangan yang paling menentukan dinamika kehidupan global hari ini dan akan berdampak bagi mendatang.

Kita bisa membayangkan bahwa bersamaan dengan situasi dan kondisi itu, sesungguhnya juga terjadi perubahan dan perkembangan penting di lapangan media, seni, dan berbagai kegiatan kebudayaan di kawasan ini.

Simposium Ekuator adalah ajang yang kami siapkan agar sejumlah ahli dan praktisi dapat saling berbagi, bertukar pengetahuan dan pandangan kritis mengenai hal-hal yang terkait dengan perkembangan dunia kita hari ini dengan menempatkan kawasan ‘Ekuator’ sebagai titik tolak dan fokus utama.

Untuk memulai rangkaian kegiatan pertemuan itu, kami akan memulainya bersamaan dengan acara Biennale Jogja XII – Equator #2, 2013.

HARI #1: DISKUSI

Perkenalan dan presentasi mengenai Simposium Ekuator oleh penanggungjawab proyek Simposium Ekuator (2013 – 2022) Enin Supriyanto

Salah satu rumusan penting dalam komunike yang dinyatakan di akhir masa pertemuan penting Konferensi Asia-Afrika, atau juga dikenal dengan nama Konferensi Bandung, 18–24 April, 1955, berbunyi:

The Asian-African Conference was of the opinion that at this stage the best results in cultural cooperation would be achieved by pursuing bilateral arrangements to implement its recommendations and by each country taking action on its own, wherever possible and feasible.

Semangat pernyataan itu sejalan dengan pokok pikiran yang mendasari penyelenggaraan Biennale Jogja dan berbagai acaranya, yang dirumuskan sebagai acara pertemuan dan pertukaran seni-budaya antar-negara di kawasan Khatulstiwa (Equator). Konferensi Bandung menjadi makin relevan tahun ini, saat Biennale Jogja secara resmi bekerjasama dengan negara-negara Jazirah Arab, khususnya Mesir yang merupakan negara sahabat Indonesia sudah sejak penyelenggaraan Konferensi Bandung 1955.

Kita tahu bahwa Konferensi Asia-Afrika itu kemudian membuka jalan bagi kerjasama yang lebih langsung, seperti yang terwujud dalam Gerakan Non-Blok sebagai sikap menghadapi polarisasi kekuatan dunia saat Perang Dingin, atau kerjasama bilateral dan regional seperti ASEAN.

Di saat sekarang ini, saat globalisasi sudah jadi realitas sehari-hari, kita masih juga berhadapan dengan kenyataan bahwa negara-negara di Asia-Afrika memiliki pengalaman sosial-politik-ekonomi dan kebudayaan yang serba beragam. Sejumlah negara mulai mengalamai kemajuan ekonomi yang pesat, dengan segala komplikasinya, sementara banyak yang lain masih tertinggal. Sebagian menjalani proses demokratisasi yang mulai lancar dan stabil, sejumlah yang lain menjalaninya dengan konflik dan tersendat, atau bahkan masih berhadapan dengan otoritarianisme atau konflik politik berkepanjangan. Beberapa menunjukkan peran menonjol di berbagai kegiatan seni-budaya, sementara yang lain masih bergulat dengan soal-soal pembangunan dasar.

Bagaimana kita memahami semangat Konferensi Bandung di masa kini? Pelajaran apakah yang bisa kita petik dari masa lalu yang penuh semangat itu bagi kerja kita hari ini dan di masa mendatang? Sejauh mana pemikiran dan praktik seni/budaya kontemporer, khususnya berkenaan dengan perkembangan seni rupa kontemporer di kawasan Asia Tenggara, bisa menyumbang bagi proses tersebut?

Untuk memberi gambaran yang lebih jelas atas soal-soal itu serta kemungkinan jawabannya, Simposium Ekuator akan menampilkan ahli untuk memberikan kuliah umum.

Perbincangan #1: Internet dan media alternatif

Media konvensional—koran, majalah, radio analog—mempunyai jangkauan yang terbatas, baik dalam hal ruang maupun waktu. Memasuki alaf ke-3, segera nyata bahwa internet dapat melampaui keterbatasan media konvensional itu. Jika dalam pandangan lama dinyatakan bahwa jurnalisme yang bebas dan obyektif adalah pilar ke-empat demokrasi (selain parlemen, pemerintah, dan sistem peradilan), maka memasuki abad ke-21 ini, ada banyak keberatannya terhadap pers dan praktik jurnalistiknya. Media ternyata bisa sangat erat terkait dengan kepentingan bisnis dan politik tertentu, dan kemudian kehilangan jati dirinya sebagai ‘anjing penjaga’ yang galak menggonggongi elit penguasa.

Internet membuka peluang bagi  anya  untuk menyuarakan langsung berbagai kepentingannya. Jurnalisme warga, jejaring sosial, dan berbagai model partisipasinya dalam kehidupan sosial-politik telah dimungkinkan melalui internet. Sejauh ini, dengan prinsip umum penyelenggaraan internet yang bersifat “sumber terbuka” (open source), model kontrol, dan sensor dari penguasa juga tidak bisa beroperasi semudah seperti sebelumnya (yang terjadi atas media konvensional: sensor, bredel, penjara, dll).

Sesi perbincangan ini akan menghadirkan sejumlah aktivis, praktisi, juga seniman yang menjalankan beragam jenis kegiatan dengan internet sebagai wahana utamanya.

Perbincangan #2: Seni dan kesadaran publik

Jika internet dan berbagai praktiknya yang kini dibuka dan dimungkinkannya telah jelas dan nyata diterima sebagai wahana baru yang memperluas keterlibatannya dalam praktik demokrasi di tataran global, bagaimanakah peran kesenian di masa kini? Di Indonesia, misalnya saja, kita masih sedikit sekali membaca karya-karya sastra yang hebat yang membawa kita pada permenungan mengenai sejarah bangsa. Katakanlah, belum ada yang melampaui antologi ‘Pulau Buru’ Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca).

Bidang film secara sepintas tampaknya memberikan gambaran yang lebih menggembirakan. Sejak karya Riri Riza Gie (2005), sejumlah pembuat dan produser film Indonesia mulai berani menyentuh tema-tema sejarah dan persoalan sosial-politik yang kompleks (dari yang bercitarasa komedi seperti Naga Bonar 2, sampai yang bertema sejarah masa lalu: Sang Pencerah, 2010Soegija, 2012; dll ?). Tapi, untuk sampai pada sikap yang sungguh menyodok pada kegelapan sejarah bangsa, kita justeru dikejutkan oleh fakta dan cara ungkap yang direkam dan disajikan melalui film produksi luar negeri, Act of Killing (2012).

Di bidang seni rupa, upaya menjawab persoalan pelik menyangkut ‘hubungan praktik seni masa kini dan kehidupan sosial’ kembali mumbul ke permukaan justeru di saat pasar seni rupa marak secara global. Setidaknya, ada cukup banyak pihak yang ramai membicarakan masalah ‘estetika relasional’, gagasan yang diajukan Nicolas Bourriaud (Relational Aesthetics, 2002) dan juga soal sifat aktif, partisipatif dan kolektif praktik seni rupa seperti yang diajukan oleh Nato Thompson (Living As Form, 2012 —creativetime.org).

Sesi Perbincangan #2 ini akan menghadirkan sejumlah pengamat, praktisi, seniman yang akan mengulas masalah-masalah tersebut, atau sekedar menceritakan praktik kegiatan mereka selama

HARI #2: PERBINCANGAN MEJA BUNDAR

Acara ini bertujuan untuk menjelaskan rencana-rencana pokok Symposium Equator yang secara resmi akan berlangsung pada tahun depan, 2014. Para peserta pertemuan ini —mungkin dibagi dalam 2 sampai 3 kelompok— diharapakan dapat melakukan pertukaran pemikiran dan berbagi pendapat terhadap rencana Symposium Equator tersebut.