Site Loader

Kegiatan Kenduren Warga Boro II bersama Biennale Jogja di Karang Kemuning Ekosistem (KKE), Padukuhan Boro II, Karangsewu, Kulon Progo, Yogyakarta 16/9/2025)
Sumber: Dokumentasi Yayasan Biennale Yogyakarta

 

Yogyakarta, 16 September 2025 – Biennale Jogja bersama dengan warga Padukuhan Boro II, Kulon Progo, menyelenggarakan “Kenduren” yang berlangsung di Karang Kemuning Ekosistem (KKE), Padukuhan Boro II, Karangsewu, Kulon Progo, Yogyakarta. Acara tumpengan ini diselenggarakan sebagai bentuk tradisi selamatan atau jamuan makan bersama masyarakat setempat sebagai bentuk ucapan syukur, guna mendoakan kelancaran perhelatan Biennale Jogja 18 “Kawruh: Tanah Lelaku” pada Babak I: “Prāṇaning Boro”. Acara tumpengan diikuti oleh para warga Boro II,  perwakilan para kurator serta seniman yang terlibat dalam Babak 1 Biennale Jogja 18, beserta tim panitia.

 

Proses Simbolik Penyerahan Tumpengan dari Perwakilan Warga Boro II kepada Perwakilan Peserta Asana Bina Seni 2025, Nadia Varayandita (16/9/2025)
Sumber: Dokumentasi Yayasan Biennale Yogyakarta

 

Kegiatan dimulai dengan pemberian sambutan oleh Greg Sindana, selaku Kepala Dukuh Boro II, sambutan oleh Alia Swastika selaku Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, sambutan oleh perwakilan warga Boro II, dan doa bersama. Setelahnya, dilanjutkan dengan proses simbolik berupa pemotongan tumpeng yang kemudian diserahkan dari warga kepada perwakilan peserta Asana Bina Seni 2025 yang juga tergabung dalam Babak 1, Nadia Varayandita. Kegiatan ditutup dengan acara inti yaitu “Kembul Sigoro”, istilah yang digunakan untuk kegiatan makan bersama.

Pameran Babak 1 Biennale Jogja 18 diselenggarakan pada 19–24 September 2025 di sejumlah lokasi di Padukuhan Boro II. Selain menghadirkan karya, para kurator dan seniman juga akan mengadakan beragam program publik, seperti diskusi, pemutaran film, festival warga, hingga pertunjukan. Rangkaian kegiatan ini dirancang sebagai ruang untuk menggali sejarah serta pengetahuan lokal, sekaligus merefleksikan kehidupan sosial desa masa kini dalam kaitannya dengan berbagai isu kontemporer global.

Karya para seniman yang berkolaborasi dengan warga Boro nantinya juga akan dipamerkan di lokasi lain yang menjadi lokasi pameran Babak II Biennale Jogja 18. Karya-karya yang diolah dengan warga diharapkan menjadi pengetahuan lokal yang terus bertumbuh serta hidup dalam diri warga dan terus berkelanjutan. Pengetahuan dari alam dan lingkungan yang mungkin saat ini telah dilupakan diharapkan dapat menjadi refleksi para seniman untuk kembali ditingkatkan, di tengah hiruk pikuk kemajuan teknologi yang terus berkembang pesat. Pengetahuan tentang desa seni sebagai upaya mencatat sejarah harapannya mampu menjadi pengetahuan yang menubuh. 

Pertemuan-pertemuan yang telah dilakukan oleh para peserta Babak 1, termasuk di dalamnya para peserta Asana Bina Seni 2025 dengan warga Boro II telah melalui proses yang panjang dan menghasilkan pertukaran pengetahuan dan wawasan. Aktivitas ini menghadirkan kawruh sebagai pengetahuan yang lahir dari laku—dari momen ketika karya, seniman, dan publik saling bersentuhan dalam satu peristiwa yang tidak terulang. Seperti tema yang diangkat oleh Biennale Jogja ke-18, “KAWRUH: Tanah Lelaku”, yang berusaha menempatkan sikap kembali ke akar sebagai upaya menyemai pencerahan. Dalam konteks ini, pengetahuan tidak berhenti di ruang akademik atau wacana seni semata, melainkan kembali pulang kepada masyarakat sebagai sumber sekaligus tujuan, sehingga menjadi milik bersama yang hidup dalam keseharian mereka.

Biennale Jogja sejak 3 tahun terakhir telah berusaha untuk bekerja sama dan menyatu dengan keseharian warga. Harapannya, kolaborasi kali ini bersama warga Boro II dalam “Prāṇaning Boro” terjalin dengan baik dan memberikan dampak secara langsung bagi masyarakat setempat, peserta pameran, dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Kali ini Biennale Jogja 18 mempertahankan komitmennya untuk berkolaborasi erat dengan berbagai kelompok sosial dan berinteraksi dengan konteks lokal guna mendorong tindakan merebut kembali sejarah, menceritakan mitologi, kosmologi, dan keyakinan sebagai cara merespons pergeseran lanskap, laut, dan gerakan sosial. Melalui judul ini, Biennale Jogja 18 2025 terus mengembangkan ruang-ruang kolaboratif dan partisipatif dengan warga untuk bisa merefleksikan sejarah lokal, merebut tafsir mitologi dan narasi leluhur, serta melihat lebih dekat dampak perubahan lanskap dan tanah terhadap kehidupan hari ini. Dengan demikian, pengetahuan yang semula berakar dari masyarakat menemukan jalannya untuk pulang kembali—menjadi refleksi kolektif, bukan hanya bagi mereka yang terlibat di dalamnya, tetapi bagi setiap lapisan masyarakat secara keseluruhan.