Site Loader

Elia Nurvista & Ayos Purwoaji

 

“Territorially speaking, the high seas belong to no one – and so when it comes to exploitation, they belong to everyone.”
– Ocean Atlas

 

Memandang Oceania

Setelah bekerjasama dengan kawasan Asia Tenggara, Jogja Biennale XVI seri Equator kali ini berlanjut dengan menggandeng kawasan Oceania, atau yang juga dikenal sebagai kawasan Pasifik. Membayangkan kawasan ini menjadi tantangan tersendiri, terutama karena Oceania sudah lama absen dari peta imajiner kebanyakan orang Indonesia ketika membicarakan kebudayaan. Selepas basis-basis kebudayaan maritim kita didesak modernisasi dan paradigma berpikir kontinental, kita jadi lebih mudah membayangkan bahwa Indonesia sebagai bagian Asia Tenggara dibandingkan mengidentifikasi diri sebagai bagian dari jejaring kepulauan yang terhubung langsung dengan negara-negara pulau di kawasan Oceania. Padahal, secara geo-antropologis, masyarakat Indonesia di bagian timur, termasuk Papua Barat, jazirah Maluku, dan pulau-pulau di sepanjang Nusa Tenggara Timur, memiliki berbagai ragam genetik dan kebudayaan yang hampir sama dengan penduduk Oceania.

Persinggungan sejarah kebudayaan antara sebagian wilayah Indonesia dengan kawasan Oceania sebetulnya dapat ditelusuri mundur hingga ribuan tahun lalu, yaitu sejak migrasi awal penjelajah-penjelajah melanesia, rute pelayaran para pelaut austronesia, jejak-jejak lukisan gua di Australia Utara, kedatangan pedagang Eropa, retakan panjang kolonialisme, berbagai ekspedisi ilmiah dan misi agama, panggung akbar Perang Dunia II, hingga berbagai masalah geopolitik kontemporer yang terjadi dalam setengah abad terakhir.

Melalui pertautan panjang itulah, antara Indonesia dan kawasan Oceania diikat oleh persamaan rumpun bahasa, kesenian, kepercayaan, gastronomi, mitologi dan mungkin saja masalah-masalah serupa. Misalnya saja, ratusan ribu penduduk Kiribati saat ini sedang bersiap kehilangan tanah karena kenaikan air laut siap menenggelamkan pulau-pulau mereka, sementara itu berbagai komunitas adat di Indonesia juga terusir karena hutan tempat tinggal mereka habis oleh desakan pembangunan. Saat ini, nasib ribuan penduduk Republik Nauru hanya dapat bergantung pada donor internasional setelah kandungan fosfat di pulau tersebut dikeruk habis, di sisi lain hal serupa juga terjadi di Indonesia di mana beberapa wilayah luluh lantak akibat industri ekstraktif yang tak menyisakan apa-apa selain kerusakan lingkungan. Daftar ini dapat dibuat lebih panjang lagi, dan semakin membuktikan bahwa antara Indonesia dan kawasan Oceania terhubung oleh berbagai permasalahan sosial yang sama, sehingga dibutuhkan solidaritas untuk saling mengenal antara keduanya yang menuntun pada sebuah kesadaran kolektif mengenai berbagai masalah yang dihadapi bersama.

Membicarakan kawasan Oceania dari sudut pandang Indonesia juga mengajak kita untuk masuk dalam sebuah narasi besar mengenai arus perpindahan manusia sepanjang waktu, penemuan teknik kartografi dan perubahan bentang alam, modernisasi yang menggeser spiritualitas tradisional, serta ancaman krisis lingkungan pada garis-garis pantai yang bahkan belum terjamah sinyal seluler. Semuanya lesap dalam kenyamanan turistik kepulauan tropis yang tampak selalu tenang namun menyimpan hutan-hutan penuh ancaman dan juga gunung-gunung vulkanis yang siap meletus kapan saja.

 

Antara Oceania dan Pasifik

Dalam kondisi pandemi dan masih terbatasnya mobilitas antarwilayah, kami mengusahakan riset awalan melalui studi literatur dan sesi obrolan dengan berbagai figur yang memiliki pengetahuan mengenai Oceania. Melalui riset awalan tersebut, kami mendapatkan pemahaman bahwa terma “Pasifik” sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari persoalan hegemoni barat. Dalam esai yang ditulis oleh cendekiawan Fiji, Epeli Hauʻofa, ia mencatat bahwa penggunaan kata Pasifik baru dikenal setelah Perang Dunia II dan dipopulerkan oleh Blok Sekutu. Penggunaan terminologi tersebut berlanjut pada masa Perang Dingin untuk menandai kawasan yang membentang dari Kepulauan Mariana di utara hingga New Zealand di selatan, mulai dari Papua New Guinea di barat hingga Kepulauan Hawaii di timur. Jika kita memandang rupa bumi melalui peta, di kawasan yang disebut Pasifik adalah sebuah hamparan laut biru yang menghubungkan sebaran titik-titik kecil kepulauan. Pada kenyataannya, pulau-pulau tersebut tersekat dalam garis-garis kedaulatan imajiner yang dipaksakan dan memisahkan satu pulau dengan lainnya. Penduduk Kepulauan Guam dan Samoa memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat, penduduk Polinesia Prancis dan Kaledonia Baru berkewarganegaraan Prancis, sementara Suku Maori dan Suku Aborigin hingga saat ini berakhir menjadi tamu di tanahnya sendiri.

Pelabelan geopolitik tersebut, bagi Epeli Hauʻofa, tidak bermakna apa-apa bagi penduduk setempat dan hanya berguna bagi kepentingan Barat di kawasan tersebut. Ia mencontohkan kasus penduduk Pulau Banaba yang harus menyerahkan tanahnya bagi perusahaan tambang fosfat milik Kerajaan Inggris, begitu juga dengan penduduk Pulau Bikini yang terusir karena wilayahnya digunakan sebagai lokasi uji coba nuklir milik Amerika Serikat. Bagi negara-negara adidaya itu, di tengah dominasi warna biru laut, kepulauan Pasifik hanya dianggap sebagai wilayah antah berantah yang tenang, terisolir, dan siap dieksploitasi setiap saat. Sebagaimana lembar-lembar kartografi, pelabelan geopolitis bukanlah sesuatu yang netral dan inosens. Mereka membawa ideologinya sendiri.

Berangkat dari pemahaman tersebut, kami mulai memproblematisir istilah Pasifik itu sendiri dan lebih memilih menggunakan Oceania sebagai gantinya. Laut, bagi masyarakat kepulauan, tidak pernah dianggap sebagai batas pemisah namun justru dianggap sebagai jembatan yang menghubungkan. Laut menjadi entitas yang membentuk kebudayaan dan identitas manusia yang tinggal di dalamnya. Epeli Hauʻofa menambahkan bahwa identitas Oceania merujuk pada sebuah gagasan mengenai komunitas yang saling terhubung dan tidak tersekat-sekat, di mana segala aspek kebudayaan yang lahir merupakan buah dari interaksi tak putus antara manusia dengan lautan yang melingkupinya. Pandangan ini sekaligus akan membuka kemungkinan perluasan identitas Oceania secara progresif sehingga mampu mencakup kawasan yang lebih luas dan komunitas yang lebih banyak dibandingkan dengan yang selama ini dimungkinkan jika hanya menggunakan terminologi Pasifik.

Barangkali apa yang disebut sebagai identitas oseanik ini memiliki pengertian yang hampir mirip dengan terminologi “kultur maritim” yang dikenal namun dilupakan di Indonesia. Sebuah kultur terbuka dan setara, yang memungkinkan imajinasi atas teritori yang cair dan sumber daya terbagi karena didorong oleh pemahaman bersama bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menyekat dan memiliki lautan. Namun, tulisan ini tidak akan mengupas perihal kultur maritim secara mendalam karena konsep tersebut mempunyai lapisan pemahaman yang kompleks dan kami berusaha menghindari pendefinisian tunggal atasnya. Karena, tentu saja, persepsi atas lautan dan budaya lautan bisa saja berbeda antara masyarakat Gunungkidul, nelayan Madura, suku Bajau Laut atau penduduk Pulau Niue. Bagi mereka, laut bisa saja dipandang sebagai jalur perdagangan tempat terjadinya pertukaran komoditas dan budaya, sebagai ruang hidup yang dikelola secara komunal, hingga bahkan imajinasi eksotis yang mampu mendatangkan banyak turis. Namun satu hal yang pasti, identitas oseanik atau kultur maritim, seharusnya mampu melampaui semua bentuk pemikiran insuler yang sempit dan tertutup, bahkan sebaliknya mendorong sebuah pemikiran yang bebas, terbuka, dan saling terhubung.

Selain laut, kami juga melihat bentang alam pulau-pulau di Oseania yang juga terdiri dari gunung-gunung vulkanik. Melalui konfigurasi gunung dan laut, yang menjadi orientasi imajiner bagi pembentukan kosmologi dan sistem pengetahuan banyak kebudayaan di kedua wilayah ini, membentang pemahaman bahwa alam adalah faktor terpenting dalam kebudayaan manusia. Ketika alam berubah, sejarah manusia pun turut berubah.

 

Menyusuri Memetakan Persoalan, Mempertanyakan Dekolonisasi

Membicarakan kawasan Oceania tentu tidak dapat dilakukan dengan kacamata museum yang menampilkan kebudayaan hanya pada aspek materialitas yang statis atau bahkan melalui brosur wisata yang hanya menampilkan eksotika permukaan saja. Penduduk yang tinggal di kawasan Oseania tidak terlepas dari persoalan-persoalan sosial, ekonomi dan politik kontemporer, seperti misalnya meningkatnya kesadaran masyarakat adat atas warisan budaya, usaha-usaha mendekolonisasi cara pikir, merebut kembali wilayah teritorial dan memperjuangkan posisi sosial; persoalan migrasi, remitansi, dan internasionalisme yang kompleks; perubahan iklim dan pemanasan global yang mengancam kelangsungan hidup dan kedaulatan kawasan; hingga bentuk-bentuk modernisasi yang dipaksakan sehingga menggeser spiritualitas dan cara hidup tradisional.

Melalui beberapa persoalan di atas, kami tertarik untuk mengkaji dan menguji ulang pemahaman atas konsep dekolonisasi yang belakangan semakin sering didengungkan. Serupa dengan Indonesia, kawasan Oceania pernah mengalami masa penjajahan oleh bangsa Eropa. Namun, hampir sebagian besar dari pulau-pulau yang terjajah itu belum pernah merebut kemerdekaan mereka sendiri seperti Indonesia. Adapun negara pulau yang otonom, sifatnya masih menjadi negara persemakmuran bagi negara-negara Eropa hingga saat ini. Persoalan ini menimbulkan berbagai bentuk kegamangan identitas yang nyata. Masyarakat keturunan Jawa di Kaledonia Baru lebih fasih berbincang ala francophone, komunitas keturunan India yang sudah hidup ratusan tahun di Fiji tetap saja dianggap sebagai vulagi atau tamu, dan setiap tahun pada tanggal 14 Juli masyarakat lokal di Kepulauan Wallis dan Futuna merayakan Bastille Day. Selain itu, berbagai ketimpangan sosial-ekonomi yang merupakan dampak dari kolonialisme masih terus dirasakan dan membuat beberapa negara di Oceania secara ekonomi akhirnya bergantung pada donor negara lain atau kiriman uang dari para pekerja rantau yang hidup di seberang laut. Fenomena ini memicu pertanyaan atas kedaulatan sebuah bangsa dan munculnya sindrom inferior yang berkepanjangan. Bagi realitas masyarakat Oceania, istilah dekolonisasi kemudian menjadi sebuah konsep yang berlapis dan sulit diurai. Apa makna dekolonisasi bagi bangsa yang masih bergantung pada penjajahnya dan bahkan menikmati keterjajahannya?

Begitupun jika kita melihat ke dalam perspektif Indonesia, ke halaman kita sendiri, dimana berbagai persoalan sosial dan ketimpangan kesejahteraan masih terjadi di Indonesia Timur sebab kita masih menjalankan pola kekuasaan ala rezim Orde Baru yang memusat berpandangan insuler. Sehingga menempatkan wilayah di luar Jawa sebagai zona ekstraksi yang sumber daya alam dan manusianya terus dieksploitasi hingga saat ini. Tidak terhitung banyaknya pohon ditebang, laut dicemari, dan ekosistem koyak atas nama investasi, ekonomi, dan pembangunan. Sementara masyarakat adat semakin sulit menyuarakan hak hidup dan semakin tersingkir dari ruang hidupnya. Dari halaman rumah sendiri, jargon dekolonisasi rasanya juga patut dikritisi ulang: Apa makna dekolonisasi bagi negara yang menginjak bangsanya sendiri? Apa fungsi dekolonisasi bagi remaja Mahuze yang harus kehilangan hutan sagu demi pembangunan food estate? Mungkin semangat dekolonisasi perlu ditempatkan pada bayangan tanah air ideal yang ditulis arsitek-budayawan Y.B. Mangunwijaya sebagai sebuah tempat “di mana tidak ada manusia menginjak manusia lain” dan jika kekerasan negara masih terus terjadi, mungkin “lebih baik jangan punya tanah air saja.”

 

Berlayar Tanpa Peta

Bagi kami, Biennale Jogja XVI 2021: Indonesia bersama Oceania adalah sebuah usaha untuk membuat jalur pelayaran tanpa peta di antara sejarah kebudayaan masa lalu dan berbagai masalah kontemporer yang menghubungkan kedua kawasan ini. Melakukan pelayaran tanpa menggunakan peta tak selalu buta arah tujuan. Justru sebaliknya, tanpa menggunakan peta dan jalur yang sudah ada kami berusaha menghindari cara pandang lama untuk membaca, mempelajari dan kemudian mengeksploitasi sebuah destinasi. Sebagaimana para pelaut-pelaut Nusantara yang berlayar dengan mengandalkan intuisi, petunjuk alam, nasib mujur, dan kenekatan dalam menghadapi ketidakpastian. Pelayaran semacam ini memungkinkan terjadinya perjumpaan penuh kejutan, kesenangan sepanjang perjalanan, serta yang paling penting adalah terjadinya percakapan rendah hati, yang tidak dilandasi hasrat untuk menjajah dan menguasai, sehingga mampu memunculkan jalur-jalur pelayaran baru di masa depan.

Tanpa menggunakan peta lama, kami ingin menjadikan Jogja Biennale kali ini sebagai sebuah panggung sosial dan arena untuk saling belajar dan membangun jaringan solidaritas bersama masyarakat Oceania. Melalui arena tersebut kita dapat saling bertukar pandangan dan pengalaman atas identitas kolektif yang terbentuk oleh realitas kepulauan, perjuangan ruang hidup dan kedaulatan atas warisan kebudayaan, hingga praktik artistik dari masing-masing kawasan. Melalui pengetahuan tempatan yang masih lestari di berbagai daerah di kedua wilayah, kita dapat menyusuri kembali pemahaman tentang alam dan lautan yang jauh lebih luas dari sekadar bahan mentah yang bisa terus menerus diekstraksi.