FESTIVAL
EQUATOR
10 Oktober – 2 November
Festival Equator merupakan salah satu bentuk rangkaian peristiwa yang diberlangsungkan untuk mengawali sekaligus mendukung acara Pameran Utama pada Biennale Jogja. Sebagai awalan, ia mewujud pada gaung semangat hajatan berkesenian di tengah dinamika kehidupan sosial masyarakat. Dan sebagai pendukung, ia pun berlaku sebagai medium sebaran pengetahuan pada masyarakat luas di luar kesenian. Dengan demikian, kesenian bisa langsung dihadapkan pada kenyataan sosialnya.
Festival Equator berupaya untuk mengetengahkan dinamika persoalan-persoalan yang terjadi di kehidupan masyarakat dalam kaca mata seni. Seni ditempatkan sebagai medium untuk menjawab permasalahan, tentu memiliki siasat tersendiri. Berbagai acara terselenggara sebagai respon atas fenomena persoalan yang terjadi secara historis di tengah masyarakat saat ini. Dengan melibatkan beberapa komunitas seni di Yogyakarta, seyogyanya kegiatan ini dapat memberi andil yang cukup signifikan sekaligus kontribusi pengetahuan dalam kehidupan masyarakat luas.
Namun, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, peristiwa Festival Equator pada Biennale kali ini mencoba mengetengahkan sebuah teks implisit pengugah masyarakat melalui ketidaksadaran. Ketidaksadaran kehidupan masyarakat yang dalam konteks equator, secara imajiner memiliki kemiripan situasional berdasarkan wilayahnya. Situasi kehidupan, yang mana masyarakat saat ini dihadapkan pada persoalan kaburnya antara batas penanda dan petanda di setiap lini kehidupan, penanda tidak lagi menjadi sebuah hal yang di maknai, sehingga menggiring masyarakat pada sebuah kondisi yang segalanya penuh dengan kecarut-marutan dan kompleksitasnya. Keadaan demikian ini, kemudian menimbulkan beberapa kekacauan yang cukup mempengaruhi tatanan sosial dalam masyarakat. Beberapa perubahan pun tak terelakan terjadi tanpa adanya sedikit kesadaran terhadapnya.. Pada masa perubahan itu, selalu ditandai dengan munculnya kegilaan dan situasi yang dianggap tidak mungkin, di luar dugaan dan terjadi. Letupan seperti itu mendahului perubahan. Dengan demikian, bagaimana menyikapi kekhaosan yang terjadi di ruang publik?
Berdasarkan itulah, Organizing Chaos diambil sebagai tema dan ditempatkan sebagai upaya untuk memunculkan kesadaran baru melalui peristiwa yang tak wajar pada umumnya, diberlangsungkan di ruang publik, guna mengingatkan kembali momen-momen traumatik di masa lalu dengan mengaitkannya pada konteks Yogyakarta hari ini. Memainkan ingatan masa lalu akan sebuah momen traumatik ini menjadi titik berangkat untuk memunculkan kesadaran baru. Dengan begitu, kesadaran itu ada ketika momen traumatik itu muncul. Pada titik ini pula dirasa turut melahirkan momen estetik.
Lebih lanjut, jika pada biennale sebelumnya, acara Festival Equator berlangsung secara blusukan dan gamblang, sebaliknya pada Festival Equator kali ini dilakukan secara senyap, menyelinap di antara hiruk-pikuk masyarakat dengan membuat momen-momen traumatik untuk kesadaran baru melalui mencari titik lengahnya, bergaduh melalui sebuah peristiwa yang tak lazim di beberapa ruang-ruang publik Yogyakarta. Alur yang disajikan, dibangun secara dramatik agar publik dapat memaknai peristiwa ini dalam dimensi ruang-waktu. Pada peristiwa itu pula, segala bentuk atribut atau identitas seniman dan komunitas yang menandakan, bahwa ini merupakan rangkaian dari puncak pagelaran hajat 2 tahunan seni rupa Yogyakarta berskala Internasional disamarkan.
Wujud yang dihadirkan dalam Festival Equator kali ini berupa shocking public. Hal-hal tersebut berkaitan dengan kehadiran peristiwa yang tak lumrah di mata masyarakat, sehingga membuat rasa bingung, ketidakpastian, kecemasan itu membatin pada lingkungan sosialnya. Peristiwa yang secara keseluruhan disajikan dengan muatan konteks nilai kelokalan ini, mencoba menggali ingatan masa lalu untuk memunculkan momen traumatik pada publik. Konsep ini dikonstruksi melalui ketidaksadaran publik dengan siasat peran ganda dari organisator. Organisator dapat membuat peristiwa sekaligus menjadi spektator. Siasat seperti ini diharapkan dapat membuat kesadaran baru bagi publik.
Mitos, diketengahkan sebagai konsep anutan yang berangkat dari permasalahan dan perubahan dengan beberapa kekacauannya, tumbuh serta berkembang di kehidupan masyarakat dewasa ini. Mitos di sini tidak didefinisikan melalui pesan pada objeknya, melainkan pada cara dalam menyampaikan pesan itu sendiri. Dengan begitu, beberapa peristiwa ini nantinya akan didefinsikan sendiri oleh publik dan berujung pada kesadaran baru. Berdasarkan ini pula, para kolaborator yang terdiri dari beberapa seniman dan komunitas seni Yogyakarta, akan merespon dengan segala daya kreativitasnya.
Beberapa peristiwa di bawah ini dihadirkan sebagai perayaan Festival Equator sesuai dengan waktu dan alur dramatikanya:
10 Oktober-16 Oktober 2017
6 peristiwa awal hadir di 10-16 Oktober 2017, yakni Proyek Tapa Ngepit merupakan proyek yang diorganisir oleh Erson Padapiran dan kawan-kawan dengan mengelilingi jalan-jalan protokol Yogyakarta seperti Benteng (keliling luar dan dalam), Jalan Mataram, Kota Baru, Lempuyangan, Sagan, Demangan, Solo, Wirobrajan, Magelang, Timoho. seraya mengemakan bebunyian mitis pada pukul 03.00 WIB.
Di tanggal, waktu dan tempat yang sama, aktivitas lainnya dilakukan oleh Roli “LoveHateLove” dan Fajar Susanto a.k.a Fj Kunting dengan beberapa tambahan titik ruas jalan di Yogyakarta seperti, Jalan Gondomanan, Abu Bakar Ali, Pojok Beteng Wetan dan Hotel Melia. Aksi tabur bunga dan sesaji, sebagai upaya mengintervensi ruang publik. Masing-masing proyek ini dinamakan Myhtical Traffic Intervention dan Intervensi Aroma. Beberapa kejadian ini, berlangsung selama sepekan penuh dengan meletakan perhatiannya pada jam malam hingga dini hari.
Sementara itu, Ada pula 3 peristiwa yang berlangsung di 10 Oktober namun berakhir di 31 Oktober. Digie Sigit, melakukan aktivitas reresik terhadap ruang yang terabaikan oleh pihak atau instansi terkait dengan menamakan proyek ini Masa Depan Adalah Hari Ini #2. Street artist ini melakukan aksinya 3 kali dalam sepekan di berbagai ruang seperti, Jalan Cokroaminoto, Solo, Pelenggkung Gading, Stasiun Tugu, Mbo Sastran, Tugu Jogja, SD Kanisius Tugu dan Pasar Beringharjo.
Giliran ke dua, ada Proyek Pak Ogah dari Komunitas Kukomikan yang memerankan Prajurit Keraton Yogyakarta, Lombok Abang sebagai pengatur lalu lintas. Aksi ini dilangsungkan di beberapa titik ruas jalan kota Yogyakarta seperti, Jalan Sayidan, Patangpuluhan, Solo, Affandi, Kaliurang, Sarjito, Tugu, dan Adisucipto pada waktu pagi, siang dan sore hari. Aktivitas ini berlangsung selama 3 kali dalam seminggu.
Giliran ke tiga, ada aksi dari Dhomas “Kampret” Yudistira dengan Proyek Rajah Kota yang dilakukan di beberapa titik ruang atau bangunan mangkrak yang tersebar di sudut kota Yogyakarta. Aksinya dilakukan pada malam hari pukul 21.00 WIB dengan interval waktu 3 kali dalam seminggu selama bulan Oktober, Salah satu ruang yang direspon adalah bangunan mangkrak di jalan Prawirotaman dan di beberapa bangunan kosong lainnya.
17 Oktober-24 Oktober 2017
Tanggal 17-24 Oktober, terdapat 7 peristiwa yang disajikan di setiap harinya. Di tanggal 17 Oktober, Estehanget yang menyajikan bunyi gamelan pukul 03.00 WIB di area Pelengkung Gading Keraton Yogyakarta. Pertunjukan ini bukan sebagai tontonan, menjadi format yang dipakai dalam pertunjukan tersebut.
Proyek OTeWe, hadir dengan aksi mengolah sampah menjadi karya instalasi pada tanggal 18 hingga tanggal 24 Oktober, di antara waktu pagi dan sore. Titik yang direspon untuk dijadikan karya tersebut adalah di area Timur Terminal Giwangan, jalan mataran masuk ke malioboro, depan/samping halte TransJogja Betesda, lempuyangan dan kompleks taman budaya. Proyek ini akan dikerjakan oleh Ismu Ismoyo, Trianto Kotrek , Dodo, Gatot Nugroho S dan Lembu.
Kemudian pada 19 Oktober, aksi Performance Art dari Asosiasi Olah Raga Sketsa Indonesia (AORSI) yang berjudul Proyek Sketsa Publik di dalam bus TransJogja, dilakukan pada pagi dan sore hari. Para AORSI yang beranggotakan kurang lebih 30 orang disebar di beberapa halte TransJogja pada hari itu. Dan di 23 Oktober AORSI kembali melakukan konsep proyek yang sama dengan sebelumnya, namun dengan personil berbeda.
Canka Mahameru, melakukan aksinya di bawah 2 beringin kembar yang terletak di alun-alun Utara dengan sebuah Proyek Pertunjukan Wayang Beber dengan Lakon Dhamarwulan. Peristiwa ini berlangsung pada pukul 19.00 WIB di tanggal 20 Oktober dengan format pagelaran wayang bukan sebagai tontonan. Aktivitas ini berlangsung kurang lebih berdurasi 30 menit.
24 Oktober-31 Oktober 2017
24-31 Oktober, tersaji 6 peristiwa yang tersebar di berbagai sudut ruang kota Yogyakarta. SD Tumbuh Yogyakarta berkesempatan melakukan aksi lebih dulu di minggu terakhir Festival dengan melakukan pertunjukan Gamelan Bocah. Area Lorong pasar Beringharjo Yogyakarta dipilih untuk menjadi ruang yang direspon pada 24 Oktober. Aksi ini berlangsung di sekitar jam 11.00 WIB, yang mana kondisi pasar tersebut sedang dipadati oleh hiruk-pikuk pengunjung dan pembeli.
25-30 Oktober Fajar Susanto a.k.a Fj Kunting kembali menyajikan peristiwa di sekitar kali atau sungai yang terdapat di Yogyakarta seperti, kali Code, Winongo, Gajah Wong, bedog, Progo dan Opak. Proyek “Per-kali-an| Per kalian| Per-kali-an” ini berlangsung di antara pagi dan sore hari selama 5 hari berturut-turut dengan format Performance Art.
Budiyanto Trisno L “Yayas”, menutup agenda Festival Equator dengan Proyek “Samare Semar Samar Samar” yang diberlangsungkan di sekitar stasiun kereta api dan lahan terbuka seperti lapangan atau sawah yang kerap dilalui kereta, baik tujuan antar provinsi maupun antar kota dalam provinsi. Pria bertubuh ceking ini, akan mencoba membuat sebuah peristiwa dengan melibatkan beberapa orang di dalam kereta dan di luar kereta dengan menampilkan karya instalasi 2 dan 3 dimensi.