PROGRAM ACARA EQUATOR #4

Organizing Chaos
10 Oktober – 2 November

Age Of Hope
28 Oktober – 3 Desember

Managing Hope
4 November – 7 Desember

Age Of Hope
2 November – 10 Desember

BERITA EQUATOR #4

Mengintip Ingar-Bingar Karnaval di Brasil

Brasil adalah salah satu negara terbesar di dunia dalam banyak aspek, yang dikarenakan berbagai faktor—khususnya jarak—tidak begitu dikenal oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Stereotip yang kerap diasosiasikan dengan Brasil adalah karnaval, sepak bola, telenovela, pantai-pantai di Rio de Janeiro, kejahatan narkoba, wanita yang cantik, dan,…

SELENGKAPNYA

Brasil pada Perjumpaan Pertama

Pius Sigit Kuncoro Catatan Perjalanan di Brasil Bagian 1 15-30 November 2016   13 November 2016, saya berangkat ke Brasil, mengunjungi negara yang saya pilih sebagai mitra Biennale Jogja Equator #4. Keberangkatan ini adalah misi penugasan dalam kedudukan saya sebagai kurator Biennale Jogja, untuk melakukan…

SELENGKAPNYA

Di Balik Pemilihan Seniman Biennale Jogja XIV Equator #4 2017

Oleh Muhammad Abe Pius Sigit dan saya membayangkan para seniman peserta pameran utama Biennale Jogja XIV Equator #4 2017 nanti sebagai “tim nasional sepak bola Indonesia” yang akan akan bekerja sama dengan “tim nasional sepak bola Brasil” untuk bersama-sama  menghadapi para pengunjung pameran. Memilih seniman-seniman…

SELENGKAPNYA

ARTIS INDONESIA – BRAZIL

INDONESIA

ADI DHARMA a.k.a STEREOFLOW (1982, Sukabumi)

Beats and Pieces

Bagi Adi Dharma seni rupa dan musik adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Sebagai seorang yang berasal dari budaya hip-hop klasik dan street art, Adi Dharma tahu benar bagaimana budaya alternatif lahir untuk menentang kemapanan. Tantangan bagi Adi Dharma adalah tampil di ruang seni rupa tanpa harus kehilangan akarnya di street art. Adi Dharma membuat lingkungan Jogja National Museum sebagai ruang bermain bagi dirinya, karya-karya graffiti dan instalasi ia tempatkan di titik-titik yang barangkali tak pernah dibayangkan oleh para pengunjung pameran seni rupa sebelumnya. Tak lupa Adi Dharma juga memperdengarkan beat-beat karyanya yang ia susun atas serpihan soundscape budaya modern Indonesia.

Teks, gambar, dan musik berkelindan dan saling mengadakan dalam tubuh karya Adi Dharma. Lulusan Hubungan Internasional Unpar ini tumbuh dalam kekaguman terhadap genre musik funk dan hip hop klasik yang memengaruhi rupa visual yang dipilihnya. Nuansa geometris yang kerap tampak dalam mural Adi seolah merepresentasikan birama dalam komposisi musik di kepalanya. Ketertarikan Adi pada rupa huruf mengawali petualangannya di dunia grafiti sejak tahun 1997; hingga eksplorasi pada dekonstruksi anatomi tubuh manusia pada karya-karyanya yang terkini menyiratkan bagaimana ia menyikapi teks yang diwujudkan secara matematis.

ADITYA NOVALI (1978, Solo)

When I Google Ahok

Siapa yang tak kenal Google? Kini hampir setiap hari kita mampir ke Google, barangkali kita lebih banyak bertanya ke Google daripada kepada Tuhan. Aditya Novali mencermati fenomena kebergantungan orang terhadap internet dalam mencari informasi, meskipun kesahihan informasi di internet tak selalu dapat dipastikan, belum lagi koneksi internet di Indonesia tidak selalu dapat diandalkan. Berangkat dari pengalaman pribadinya dalam mengakses internet untuk mencari informasi, Aditya menggambarkan bagaimana informasi yang tumpah ruah di internet justru malah membuat fakta-fakta menjadi kabur.

Pendidikan arsitektur dan pascasarjana desain produk konseptual di Belanda mematangkan perspektif Aditya Novali dalam menjajaki ragam kemungkinan seni visual. Minat Aditya Novali pada matematika dan fisika memengaruhi banyak karyanya yang dibuat secara logis-sistematis. Tetapi, di balik kerapian susunan objek yang cenderung geometris, samar-samar tercium pertanyaan dan renungan filosofisnya tentang identitas dan identifikasi: seseorang, sebuah bangsa, atau negara. Menurutnya, identitas tak bisa dilepaskan dari bayang-bayang dan latar belakang sejarah. Di sisi lain, ketika media sosial telah meleburkan batas-batas, masih relevankah mendefinisikan identitas? Pertanyaan tersebut menjadi dasar logika yang melandasi prosesnya berkarya, sekaligus mengajaknya mencari cara baru untuk mengungkapkan gagasannya.

ARIN DWIHARTANTO SUNARYO (1978, Bandung)

Interference

Arin Sunaryo merefleksikan proses kreatifnya sebagai perupa dalam karya untuk Biennale Jogja XIV. Arin berusaha mengganggu kemapanan posisinya sebagai seniman, maupun identitasnya dalam berkarya. Interference merupakan olahan karya-karya Arin yang telah lalu dengan cara yang berbeda. Ia meninggalkan bentuk pemanggungan karyanya yang menempatkan karya lukisnya sebagai “pusat”, dengan menyebarnya ke beragam titik ke dalam berbagai posisi. Arin menghadirkan karya-karyanya terdahulu dalam bentuk yang sudah terdistorsi. Karya ini adalah usaha Arin untuk keluar dari “zona nyaman” kesenimanannya, ia ingin menghadirkan sesuatu yang tidak stabil namun di saat yang sama memberikan ruang refleksi yang hening. Ia menggambarkan situasi glitch—semacam gangguan dalam transmisi dalam gelombang—yang ia rekam dan bekukan dalam ruang.

Keingintahuan pada karakter material, di luar dugaan, telah membawa Arin Dwihartanto Sunaryo belajar untuk bernegosiasi dengan ketidakpastian dan penerimaan atas diri sendiri. Seniman lulusan FSRD ITB dan pascasarjana Seni Murni Central Saint Martin’s College of Art & Design ini pada awalnya mengeksplorasi resin untuk melukis di atas kanvas. Setelah erupsi Gunung Merapi tahun 2010, Arin mendapatkan material serbuk vulkanik untuk menciptakan pigmen bagi resin yang digunakannya untuk melukis. Proses Arin dalam menciptakan karya termasuk unik, karena apa yang tampak di kanvas pada lukisannya sama sekali berbeda dengan yang dilihatnya dalam proses pembuatannya. Hasil akhir karya Arin tidak terduga karena memanfaatkan karakter material resin yang mengalir kemudian membeku dengan cepat.

CINANTI ASTRIA JOHANSJAH (1985, Balikpapan)

Adempauze

Jeda dan hening adalah tema-tema besar yang muncul dalam tiap karya Cinanti. Kesempatan untuk beristirahat (adempauze) diwujudkan dalam bentuk ruang yang disempitkan atau diluaskan melalui permainan bahasa visual yang diisi oleh subyek dan liyan. Cinanti menawarkan ruang yang memberikan kesempatan jeda sejenak dari kompleksitas lingkungan sosial yang telah membelit dan membentuk diri Si Subyek, dan menawarkan refleksi atas keberadaan diri dengan menghadirkan obyek-obyek subtil yang “menggangu” serta “mengadirkan” kemelut.

Bagi Keni, sapaan akrab Cinanti Astria Johansjah, berkarya merupakan medium untuk mengkaji. Meski kuliah di Desain Grafis ITB, sejak kecil Keni tertarik pada lukisan. Ia teringat pengalaman pertamanya mengagumi karya lukis adalah saat ia masih kecil; ia mengunjungi Museum Affandi bersama orangtuanya. Di depan salah satu lukisan ia berhenti cukup lama, sampai ibunya harus menyeretnya agar mau beranjak. Sejak saat itu, ia kagum pada kekuatan karya seni. Lukisan-lukisan Keni adalah “jeda”, waktu di mana kita mengambil napas sejenak sebelum kembali beraktivitas. Dalam karya-karyanya, Keni banyak menampilkan potret diri perempuan bersama dengan binatang-binatang. Ia ingin penikmat karyanya melihat sisi manusia pada figur hewan di lukisannya. Saat ini ia mengaku sedang mengalami kegelisahan akan proses melukis yang menjadi sesuatu yang rutin. Situasi yang ia alami ini membuat ia mencoba melakukan refleksi dan bertanya pada dirinya sendiri, apa arti melukis bagi dirinya?

FAISAL HABIBI (1984, Jakarta)

Non-Objective Object

Kegemaran Faisal Habibi untuk bermain-main dengan bentuk objek menyisakan potongan-potongan besi dari percobaannya yang terdahulu. Karya Faisal Habibi untuk Biennale Jogja XIV merupakan rangkaian dari kurang lebih seratus potongan lempeng besi yang ia tata sedemikian rupa sehingga bentuk aslinya tak terbaca lagi. Melalui karya ini Faisal hendak menggambarkan “ruang negatif” yang ada di setiap bentuk dan benda. Ruang negatif dalam persepsi Faisal adalah persepsi tentang bentuk atau benda yang dibangun oleh cara display, pencahayaan, atau hal-hal lain di luar benda yang digunakan untuk mendramatisasi kehadirannya. Faisal menyoroti “ruang negatif” tersebut membuat kita kehilangan esensi dari kehadiran benda tersebut, ia merefleksikan maraknya berita-berita palsu atau isu-isu hoax yang membuat fakta menjadi kabur.

Setiap bentuk alat material yang kita kenal pada hari ini melewati sebuah proses panjang sampai dengan bentuknya saat ini. Faisal Habibi, yang mendalami Seni Patung di FSRD ITB, gemar melacak proses pembentukan bentuk-bentuk tersebut. Varian bentuk dari benda-benda, dan bagaimana benda menjadi pertemuan berbagai kepentingan manusia, membuat pendekatan Faisal dalam berkarya cenderung menekankan aspek visual, formalistik, dan mengundang ingatan akan fungsi. Faisal kini gemar melakukan dekonstruksi pada bentuk-bentuk benda yang sudah kita kenal, sehingga memancing penikmatnya untuk berdiskusi. Gelas, meja, kursi, atau piring misalnya, adalah benda-benda yang berkembang bersama dengan peradaban manusia. Benda-benda yang dihasilkan manusia menghasilkan sistem tersendiri, di mana manusia dapat menjadi subordinat dari benda-benda tersebut. Ia sedang mencoba melakukan pendalaman untuk meluaskan eksplorasinya pada persepsi terhadap ruang dan tidak tutup kemungkinan hingga arsitektur.

FARID STEVY ASTA (1982, Gunungkidul)

(Belum Ada Judul)

Farid Stevy Asta mencermati fenomena corat-coret teks di tembok. Rekaman-rekaman tersebut berbentuk teks-teks yang ia olah dalam karya-karyanya, yang ia tampilkan sedemikian rupa secara visual. Tindakan menuliskan kata-kata di ruang-ruang publik, celotah-celoteh tentang segala sesuatu akan dieksplorasi oleh Farid. Teks-teks yang simpang siur atau barangkali tidak saling terhubung, barangkali bagi sebagian besar orang dianggap tidak bernilai atau seperti sampah. Farid akan mengintegrasikan teks dan corat-coret tersebut dalam tatanan visual yang menghadirkan harmoni dan kekacauan di ruang yang sama.

Reklame dan semesta yang melingkupinya telah menjadi bagian dari hidup Farid Stevy Asta sejak mengenyam sekolah dasar. Singgungan dengan kuas dan cat saat dini itu mempengaruhi pilihannya untuk menjajaki seni rupa melalui pendidikan Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta. Tetapi, wawasan seni rupa agaknya justru didapatnya dari pergaulannya di jalanan, di luar bangku perkuliahan. Sebagai desainer, musisi, perupa, dan seorang ayah, ia banyak beroleh kesempatan merefleksi ulang ragam persoalan yang ditemunya. Ragam peran dalam hidupnya itu terendap sebagai kontemplasi hiruk-pikuk yang mengguratkan nuansa dialektik pada karya-karya Farid.

GATOT PUJIARTO (1970, Malang)

Dunia Dalam

Jajaran potongan kain perca yang disusun Gatot Pujiarto pada awalnya adalah permainan elemen garis, warna, dan bidang. Pada satu titik di tengah kerjanya Gatot menemukan imajinasi tentang ruang gelap dan dalam. Gatot Pujiarto kemudian mengembangkan imajinasi tentang kehidupan di ruang yang gelap dan dalam, yang banyak ia pinjam dalam kehidupan di bawah laut versinya. Gatot mengajak kita untuk turut “menyelam” ke dunia imajinasi yang ia bentuk dalam karya berukuran 3 x 6 meter ini. Di dalam kegelapan di dunia bawah laut, kita hanya dapat membuat tafsir-tafsir atas kehidupan di dalamnya. Bagi Gatot, apa yang ada di kedalaman, laiknya hati manusia dan kehidupan pada umumnya adalah misteri yang terus menerus coba ditafsir atau diterangkan.

Wajah dan perca, dua hal itu berdialog dan menyusun gagasan Gatot Pujiarto di atas kanvas. Persinggungan Gatot dengan perca diawali ketika ia sering melihat ketergantungan teman-teman seniman pada cat, baik itu minyak atau akrilik. Akibatnya ketika tidak ada cat, mereka tidak berkarya. Akhirnya ia pun mencoba menggali media alternatif lain yang dekat dengan kehidupannya sehari-hari. Kain menjadi menarik karena baginya, selain sangat lekat dengan manusia, material itu juga punya banyak kelebihan yang sangat mendukung proses eksplorasi karyanya. Eksperimen dengan tekstur dan corak perca memberi Gatot kejutan-kejutan yang menuntunnya untuk bernegosiasi dengan karya. Menempuh pendidikan di FSRD IKIP Malang, Gatot tertarik ihwal perilaku manusia dan ragam ekspresi yang muncul di keseharian. Baginya, wajah manusia menyimpan banyak kisah. Antara yang tampak dan disembunyikan, komedi dan tragedi, keduanya dalam kenyataan toh tak pernah terpisahkan, layaknya terekam dalam wajah.

INDIEGUERILLAS (Miko Bawono, 1975, Kudus & Santi Ariestyowati, 1977, Semarang)

(Belum ada judul)

indieguerillas akan menampilkan karya interaktif di Biennale Jogja XIV. indieguerillas akan mengajak para pengunjung untuk menelusuri suara-suara yang khas dari budaya Yogyakarta sembari mengeksplorasi visualisasi yang ditawarkan indieguerillas dalam karyanya ini. Ide dari karya ini adalah membentuk ruang yang memberi pengalaman auditif dan visual, serta memberi “kuasa” lebih pada pengunjung untuk mengkombinasikan unsur auditif dan visual di ruangan tersebut. Karya ini hendak membicarakan tentang adanya nilai yang berubah dan bertahan di dalam perkembangan kota Yogyakarta. Tidak hanya sekadar menjadi nostalgia, tapi juga mengajak kita untuk kembali menelusuri kekayaan nilai kebudayaan di sekitar kita hari ini.

Indieguerillas bekerjasama dengan musisi Ari Wulu untuk karyanya ini.

Duo seniman Santi Ariestyowanti (Santi) dan Dyatmiko Bawono (Miko) yang sama-sama lulus dari ISI Yogyakarta ini identik dengan perpaduan antara yang tradisional dan yang kekinian. Karya-karya indieguerillas sangat khas mencirikan budaya pop yang riuh dan warna-warni, sekaligus memuat ikon-ikon tradisi yang legendaris. Lewat karya lintas media, indieguerillas menuturkan realitas mereka, orang Jawa, yang hidup di tengah terpaan gelombang konsumerisme global yang menuntut segala sesuatu serba-instan. Berkarya juga menjadi ritual otokritik dan metode melihat kembali diri sendiri. Bagi mereka, penduduk kota besar tetaplah “orang desa”, hanya tinggal di lokus lebih besar, tetapi mempertahankan cara pandang dan pola pikir desa yang agraris.

ARI WVLV (1979, Yogyakarta)

Serius menekuni musik elektronik sejak akhir 90an. Dikenal sebagai midiJUNKIE atau WVLV, sebagai pemain musik elektronik. Selain bekerja sebagai Sound Technician di Gameloft, sebuah perusahaan game internasional, juga sedang mengembangkan proyek gamelan kontemporer bersama Komunitas Gayam 16 yang bernama Saron Groove dan menjadi duo DJ bersama kelompok Rancak Arcade.

Hari ini aktif menjadi board Yogyakarta Gamelan Festival dan Festival Kesenian Yogyakarta.

JULIAN “TOGAR” ABRAHAM (1987, Medan)

Salinan Duniawi Pohon Takdir Surgawi / Earthly Copy of Heavenly Tree of Fate

Karya Julian “Togar” Abraham berawal dari ketertarikannya pada daerah bernama Barus, di Sumatera Utara, ia berusaha menelusuri keterkaitan daerah ini dengan asal muasal kapur barus atau kamper dari Sumatera yang terkemuka pada ribuan tahun yang lalu. Konon pada abad ke-4 hingga ke-9 Masehi, harga kapur barus melampaui harga emas, kâfûr yang artinya secara literal adalah kapur ditulis pula di Surat Al-Insan (Surat Al-Insan:5). Togar menemukan bahwa wilayah yang bernama Barus pada hari ini, berbeda jauh dengan kisah-kisah tentang Barus yang seakan-akan ditulis dalam tinta emas. Togar tidak menemukan lagi pohon kapur, sebagian besar wilayah berubah menjadi perkebunan sawit, masa lalu yang gemilang tersebut seakan lenyap ditelan bumi. Togar menemukan fakta bahwa kapur barus atau kamper yang terkenal sebagai bahan pengawet yang ampuh, ternyata tidak mampu mengawetkan dirinya sendiri. Togar menawarkan romantika kegemilangan Barus lewat Pak Silaban, seorang warga yang masih “membawa” sisa-sisa dari bukti masa lalu Barus.

Julian Abraham yang akrab dipanggil dengan nama Togar adalah seorang seniman yang memiliki perhatian khusus pada keberulangan, keterkaitan, keturhubungan, dan kesinambungan dalam sistem yang berlaku dalam kehidupan sosial. Togar menyelesaikan studinya di bidang Broadcasting dan Film di Akindo, Yogyakarta dan Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Medan. Tiga kata kunci utama dalam praktik artistiknya adalah generatif, manipulatif, dan problematik. Dalam melihat fenomena sosial, sering kali ia mengulik hal-hal dan bahan-bahan yang rumit—atau membingungkan—dengan cara-cara harfiah dan indrawi.

KINEZ RIZA (1989, Jakarta)

Interim

“The womb of Nature, and perhaps her grave”
John Milton, Paradise Lost (1667)

“The more violent their movements become and the faster they sink in. The belligerents don’t notice the abyss they’re rushing into; from outside however, we see it clearly”
Michel Serres, The Natural Contract (1995)

What do we owe to the things we can’t see?
Nature shoulders the weight of Man, and yet there is a more debilitating process occurring. Human lives are so often focused on the spectacle of the world and so few are noticing the mud that will eventually swallow us. Light is a window into the experience of the sublime. It is capable of illumination, though if you stare at the sun too long, it may blind you. There is also light invisible to the human eye, and yet we know these lights, we affirm them in controlled experiments for us to know its existence to be true. So we move amongst worlds, between the material and immaterial, projecting extensions of our selves across mediums. Believing in things we cannot see. ‘Interim’ grapples with intrinsic human qualities that are often hard to formulate. In this piece, the artist’s essential feminine Nature is symbolically presented as light emitting in a dark room, both illuminating and blinding. Look closer, beyond the veil of rays, and the sum of divided parts begin to accumulate form. Legs, a torso, and a head. Human lives are fleeting, possessing an interim body in an ancient world.

Amatan dan renungan Kinez Riza terhadap fenomena alam di satu momentum berlaku seperti kepingan puzzle, yang menginspirasinya dalam melihat “kenyataan” manusia masa kini: perilaku dan keyakinan mereka soal eksistensi diri. Kinez mencari pemahamannya sendiri dengan mengalami dan menjelajah ke pedalaman dan mendengar kisah-kisah kebijaksanaan masa lalu. Membicarakan masa lalu bersama Kinez adalah membicarakan periode ratusan hingga ribuan tahun lalu. Setelah lulus kuliah di Inggris, Kinez banyak bekerja untuk mendokumentasikan penelitian dan artefak temuan dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Museum Geologi Bandung. Karya-karyanya berupa foto, video, dan instalasi yang “memanggungkan” artefak-artefak dari masa lalu ke galeri-galeri seni. Kinez memadukan metode penelitian saintifik dan gaya pemanggungan dunia fashion, membawa kita takjub pada alam yang lembut sekaligus kuat.

LUGAS SYLLABUS (1987, Bengkulu)

The Relationship Between Hope and Blood

Lugas Syllabus mengangkat romantisme kampung halamannya di Pagaralam, Sumatera Selatan untuk karya The Relationshop Between Hope and Blood. Perbukitan Pagaralam dan arsitektur rumah tinggi yang merupakan ciri khas dari budaya tradisional Pagaralam yang sudah turun temurun menjadi inspirasi Lugas. Dalam karya ini Lugas mempertentangkan antara perkembangan teknologi dan nilai-nilai tradisional. Teknologi yang seharusnya dapat merekatkan hubungan antara manusia, malah membuat relasi antar manusia semakin jauh dan terbatas. Lugas yakin bahwa ketika hubungan antara manusia semakin renggang, terutama pada keluarga inti, maka alam juga akan semakin merenggang.

Ruang bermain Lugas Syllabus adalah wilayah antara fantasi kanak-kanak dan imajinasi tentang Mooi Indie. Dalam karya-karya lukisnya, lulusan Seni Rupa ISI Yogyakarta ini gemar menggunakan imaji action figures dari berbagai latar belakang. Sepintas, lukisan Lugas tampak riang dan ringan. Tetapi di balik itu, ekspresi karakter yang datar memunculkan rasa ngeri karena situasi yang ditampilkan justru bertolak belakang. Dunia fantasi di kepala Lugas juga bertaut pada mitos dan fabel, rupa-rupa dongeng dari masa lalu. Jika lukisannya tersirat jenaka, karya-karya instalasi Lugas lebih terkesan dalam dan serius. Bagi Lugas, instalasi menjadi pilihan medium ekspresi ketika gambar tak lagi cukup untuk menyampaikan gagasannya.

MARIA INDRIASARI (1976, Yogyakarta)

Terbelenggu I & Terbelenggu II

Karya Maria Indriasari berangkat dari kisah orangtua yang tidak mau menguburkan anaknya yang sudah meninggal, karena orangtuanya takut anaknya nanti akan menjadi siksaan di akhirat. Kisah tersebut dibandingkan Maria dengan kisah dalam Agama Islam tentang ikhlasnya Ibrahim ketika putranya Ismail diharuskan untuk dikorbankan. Bagi Maria, perbandingan yang ia buat tersebut merupakan bagian dari pencariannya terhadap nilai kesejatian hidup. Karya Maria menggambarkan ikatan-ikatan duniawi yang membelenggu manusia, dan menghalangi manusia untuk mencapai kesejatian.

Peran dan posisi sebagai perempuan menjadi pusaran kegelisahan yang produktif bagi Maria Indriasari. Karyanya sarat permenungan dan refleksi tentang apa yang dilihat dan ditanggungnya hari ke hari. Pernah menempuh pendidikan Media Rekam ISI Yogyakarta, Maria banyak memasukkan artefak yang identik dengan perempuan dalam karya-karyanya. Melalui artefak seperti peniti, kain, atau perabot rumah tangga, Maria seolah ingin bicara tentang kemuramannya melihat kenyataan perempuan Indonesia masa kini. Di balik warna-warni bentuk yang tampak menggemaskan, tersirat kesan “gelap” dan “suram” yang mencerminkan dinamika intelektualitasnya.

MULYANA (1984, Bandung)

Kamu Pecundang Kalau Gak Bisa Tidur / You’re Loser if You Can’t Sleep

Karya Mulyana untuk Biennale Jogja XIV adalah sebuah perjalanan menuju harapan. Mulyana merefleksikan konsekwensi atas pilihan-pilihan hidup yang ia ambil, menurut Mulyana harapan bertalian dengan kehendak dan kodrat manusia. Artinya harapan mempunyai kemungkinan menjadi nyata atau hanya menjadi angan. Di antara harapan dan kenyataan, Mulyana menempatkan tidur sebagai kemerdekaan bagi subyek, tidur dengan bahagia, dan menerima harapan dan kenyataan dengan bahagia. Untuk karyanya kali ini, Mulyana hanya menggunakan satu warna, pilihan yang ia buat untuk menantang dirinya sendirinya untuk tetap kreatif dalam keterbatasan yang ia hadapi. Pilihan warna pink tersebut adalah gagasannya untuk menawarkan perspektif baru tentang warna pink yang lekat dengan idiom gender tertentu.

Bawah laut, dunia sunyi di mana percakapan seolah redam. Seri karya Mulyana tentang kehidupan laut bak representasi ceruk nyaman di mana Mulyana merasa bebas menjadi dirinya. Alumnus Pondok Pesantren Gontor dan Pendidikan Seni Rupa UPI, Bandung ini menganggap seni adalah penenang, penghibur, sekaligus temannya. Karya-karya Mulyana adalah monster gurita yang dibuat dengan merajut benang dan kain; bentuk gurita dengan tentakel-tentakel yang menjulur-julur perlambang dari tangan-tangan yang berdoa dan bekerja. Monster tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan dihadirkan lengkap dengan lingkungan kehidupannya, tidak ketinggalan juga teman-temannya. Lewat teknik rajutan yang dipelajarinya semasa kuliah di Bandung, Mulyana mendapat banyak peluang untuk membangun dunia fantasi yang menawarkan kekuatan tapi juga memperlihatkan kerapuhan.

NARPATI AWANGGA a.k.a OOMLEO (1978, Jakarta)

A Brief History of Something

Narpati Awangga mencermati perkembangan teknologi digital yang akselerasinya sangat cepat dalam satu dekade terakhir, dibanding beberapa dekade sebelumnya. Kecepatan dan keterhubungan yang dinikmati oleh generasi kini, adalah sesuatu yang 15 atau 25 tahun lalu hanya merupakan imajinasi yang mewah. Narpati Awangga akan memvisualkan perkembangan teknologi tersebut dalam bentuk karya pixel art yang menjadi ciri khasnya. Narpati tidak sekadar mempresentasikan pengetahuan tentang teknologi komputasi yang ia ketahui, tapi juga memilih bentuk-bentuk teknologi yang menjadi bagian dari budaya populer di Indonesia. Selain itu ia juga tidak sekadar memberikan gambaran visual teknologi tersebut, tapi juga menghadirkan perasaan manusia yang bersentuhan dengan teknologi tersebut.

Lahir dan besar Jakarta, Narpati Awangga yang lebih dikenal dengan sebutan Oomleo sempat berkuliah selama enam tahun di ISI Yogyakarta sebelum memutuskan kembali ke Jakarta. Oomleo menganggap seni sebagai ekspresi kejujuran yang bersumber pada catatan dan pengalaman hidupnya. Kini Oomleo banyak membuat karya-karya digital, meskipun ia juga aktif dalam berbagai kegiatan lain seperti terlibat dalam kelompok musik Goodnight Electric, menyelenggarakan pertunjukan musik, menjadi penyiar radio, menyelenggarakan pertunjukan karaoke, dan membuat workshop seni digital untuk anak-anak muda. Dalam berkarya Oomleo memilih idiom-idiom bahasa dan visual yang absurd, terkesan bodoh dan asal, tapi di sisi lain ia menawarkan kecerdasan dalam bungkus humor dalam melihat fenomena urban.

PATRIOT MUKMIN (1987, Tangerang)

(Belum Ada Judul)

Patriot Mukmin akan mengangkat tema tentang ilusi dunia sepakbola Indonesia. Ia tertarik untuk berangkat dari kenyataan bahwa pada tahun ini ada beberapa supporter yang meninggal di stadion sepakbola ketika mendukung tim kesayangannya. Fanatisme pendukung sepakbola Indonesia tidak perlu diragukan lagi, meski dalam hal prestasi sepakbola Indonesia bisa dibilang tak membanggakan sama sekali. Patriot tetap menggunakan model produksi karya-karya sebelumnya, yaitu ilusi lukisan yang menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Karya-karya Patriot mengaburkan batas-batas antara ilusi dan realita, baginya seperti itulah dunia sepakbola Indonesia.

Ingatan dan ilusi; keduanya mengaburkan fakta, tetapi demikianlah politik, juga seni. Anggapan tersebut melandasi praktik berkarya Patriot Mukmin, yang lulus dari pendidikan pascasarjana seni rupa FSRD ITB dengan predikat cum laude. Bagi Patriot, sejarah politik adalah wilayah samar dengan banyak sisi wajah. Ada yang barangkali tampak atau terasa jelas di antara yang buram, tetapi setiap “kejelasan” tetap punya banyak sisi. Patriot Mukmin mengajak penikmat karyanya untuk memasuki wilayah ilusif melalui permainan penglihatan yang diciptakannya dengan anyaman. Bermain dengan berbagai sudut pandang, menurutnya, dapat membuat orang menikmati karyanya dari berbagai sisi. Anyaman, yang belakangan kerap disusunnya dari potongan kertas horizontal dan vertikal, membuat penikmat karyanya larut dalam jelajah terka. Dan lebih jauh: melihat kembali sejarah dalam wajahnya yang ambigu.

NGAKAN MADE ARDANA (1980, Bali)

Jangan Lupa Berdoa Sebelum Makan

Ngakan Ardana tertarik untuk menilik kembali kasus Sumanto, seorang yang menggali kubur dan mencoba memakan bagian tubuh dari jasad yang dikubur dalam usahanya untuk mencapai tingkat kesaktian tertentu. Ngakan tidak berhenti di situ tapi meluaskan ketertarikannya pada bermacam bentuk pemanfaatan manusia atau kelompok demi oleh seseorang demi meraih kekayaan atau kekuasaan. Ngakan menemukan bahwa Sumanto dan orang-orang yang mengambil untung dari penderitaan orang lain, justru terlihat ramah dan memberikan senyumnya yang lebar di hadapan publik, namun di balik senyum itu tersimpan kekejaman. Ide Ngakan ini dipresentasikan dalam bentuk lukisan yang menghadirkan paradoks-paradoks tentang tindak kekejaman yang terjadi berulang-ulang di sekitar kita, hingga kita seakan-akan sudah terbiasa dengan kejadian semacam itu.

Bagi Dewa Ngakan Made Ardana, karya-karyanya adalah usaha untuk menjawab pertanyaan yang muncul di benak dan pikirannya. Walaupun demikian, ia merasa karya-karyanya juga bukan jawaban yang memuaskan bagi dirinya sendiri. Memilih seni rupa sebagai jalan hidupnya sejak tahun 2003, saat ini ia merasa tak punya pegangan tegas tentang konsep bekerjanya sebagai seniman di dunia seni rupa. Tumbuh di Bali dan menyelesaikan pendidikan tinggi di Seni Rupa Murni ISI Denpasar, kini Ardana hidup di dua kota. Yogyakarta dan Denpasar menjadi tempatnya bertanya dan berkarya. Dalam berkarya, Ardana mencoba keluar dari konsep seni rupa modern dengan membuat karya yang serupa dengan dokumen arsip dari masa lalu. Ardana tidak menampik keinginannya untuk “kembali” pada seni lukis tradisional.

NURRACHMAT WIDYASENA (1990, Bandung)

To Infinity and Beyond

Menyitir ungkapan Buzz Lightyear astronot mainan dalam film Toy Story, Nurrachmat Widyasena membangun karyanya atas bayangan mimpi-mimpi tentang masa depan yang gemilang. Sebagai warga negara dunia ketiga, Nurrachmat bermimpi tentang gelora atas kemajuan di masa depan. Tokoh-tokoh digambar dalam gaya animasi yang seakan-akan melayang di udara, berusaha meraih cahaya yang ada di “atas sana.” Strategi visual Nurrachmat menempatkan karyanya berada di tengah-tengah antara propaganda, ironi, dan komedi. Nurrachmat sadar masa depan negara dunia ketiga yang masih kabur, tokoh-tokoh dalam gaya animasi, gambar yang melayang-layang, kemajuan seakan mimpi atau lamunan, harapan yang terus berlipat dan kenyataan yang makin menjauh dari impian.

Imajinasi masa depan dari masa lalu, atau retro-futuristik, menjadi minat utama Nurrachmat Widyasena alias Ito’ dalam berkarya. Bersama kenangan masa kecilnya tentang ide-ide dari era abad luar angkasa (space age), ia menggagas komedi satir tentang apa yang bisa kita, “orang bodoh dari negara dunia ketiga”—begitu ia menyebut dirinya sendiri, lakukan untuk mengubah nasib manusia dunia. Dalam dua tahun terakhir, Ito’ terusik dengan gagasan tentang masa depan yang didominasi oleh pemikiran Barat, sementara kita hanya jadi seperti penonton. Karyanya adalah representasi kepedulian terhadap anggapan “kebodohan” dan “ketertinggalan”, yang melekat pada penduduk Indonesia.

ROBY DWI ANTONO (1990, Semarang)

Requiem

Beberapa tahun terakhir, kita disuguhi pertentangan antar kelompok, ditambah pelabelan satu kelompok terhadap kelompok lain. Label-label dengan mudah dilekatkan untuk membedakan satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain, Roby yang jenuh dan muak dengan bermacam klaim kebenaran membuat karya yang reflektif atas kondisi masyarakat hari-hari ini. Bagi Roby, manusia hanya bisa menangkap sebagian dari keseluruhan kebenaran. Kali ini Roby akan menghadirkan karya 3 dimensi yang menunjukkan kenyataan dapat dilihat dari berbagai sisi yang berbeda dan menghasilkan kesimpulan yang bisa berbeda satu sama lain. Roby berharap perbedaan dapat kembali lagi menjadi sesuatu yang disyukuri.

Dilahirkan di lingkungan komunitas pandai besi di daerah Pandean, Ambarawa, Jawa Tengah. Setelah menamatkan pendidikan menengah atas di SMK Grafika di Semarang, Roby sempat bekerja setahun di Batam, kemudian pindah ke Yogyakarta untuk bekerja sebagai desainer grafis. Roby kini masih duduk di bangku kuliah di Jurusan Desain Grafis ISI Yogyakarta. Sejak lima tahun lalu, Roby berfokus pada medium lukisan. Karya-karya Roby bersumber pada pengalaman sehari-hari yang menyentuhnya secara personal. Objek-objek pada lukisan Roby adalah figur-figur yang menjadi simbol atas sebuah cerita yang berkesan pada kehidupan Roby; pada satu karya ia membuat beberapa figur yang sebenarnya merupakan kumpulan kisah-kisah yang tak bertautan satu sama lain yang menghasilkan impresi surealis.

SANGKAKALA (2004, Yogyakarta)

Show Must Go On

Bagaimana jadinya apabila para perupa bergabung dan membentuk sebuah band rock? Saksikanlah Sangkakala, kelompok musik rock dengan skill pas-pasan dan gaya yang habis-habisan. Tapi jangan salah, Sangkakala mempersiapkan musiknya dengan serius, bagi mereka memainkan musik secara langsung dengan ciri khas Sangkakala adalah identitas Sangkakala. Ciri khas Sangkakala adalah dandanan Hendra “Blankon” Priyadhani, aksi panggung Rudi Atjeh dengan kembang api air mancurnya di atas panggung, gitar kustom Ikbal, dan gaya slow Tatang di balik ketukan drumnya yang gahar. Masing-masing personel menyumbangkan bagian dari musik dan dirinya untuk membentuk identitas Sangkakala. Karya mereka di Biennale Jogja XIV adalah pertunjukan musik Sangkakala, tanpa melibatkan personel Sangkakala. Pertunjukan harus terus berlangsung, meskipun tak ada personel Sangkakala yang naik di atas panggung.

Menandai jukstaposisi seni visual dan musik rock barangkali menjadi definisi Sangkakala saat ini. Terbentuk di akhir tahun 2005, tiga dari empat anggota Sangkakala mengenyam pendidikan di Seni Murni ISI Yogyakarta, dan satu sisanya dari Seni Musik. Bagi Sangkakala, pentas musik bukan sekadar soal suara, tetapi juga penampilan. Sangkakala adalah karya senirupa yang dihantarkan melalui medium musik. Lagu-lagu mereka lekat dengan unsur fashion dan gaya hidup. Tak jarang, mereka meminta penontonnya berdandan ala mereka. Pada titik itu, menonton dan ditonton menjadi aktivitas yang inklusif dan setara, dan pementasan menjadi tak ubahnya karya kolaboratif. Di luar panggung, Rudy “Atjeh” Darmawan, Hendra “Blankon” Priyadhani (Baron Capulet Araruna), Riono “Tatang” Tanggul (Tatsoi), dan Ikbal Simamura Lubys adalah pribadi dengan karakter kekaryaan masing-masing. Bersama-sama, saat ini mereka masih menyimpan keinginan untuk membuat album berikutnya, setelah sebelumnya merilis Macanista dan Heavymetalithicum.

SYAIFUL AULIA GARIBALDI “TEPU” (1985, Bandung)

(Belum ada judul)

Kematian bagi Syaiful Aulia Garibaldi mempunyai arti yang lain, ia tidak sekadar proses menjadi tiada, tapi juga proses untuk menuju siklus kehidupan baru. Dalam dunia biologi, manusia merupakan bagian dari ekosistem yang tidak hanya mengambil sumber daya alam kehidupannya dan pada akhirnya akan kembali ke ekosistem untuk menopang kehidupan baru. Karya Syaiful adalah sinema pendek tentang kehidupan larva dekomposer di dalam jasad yang telah tiada. Ia merefleksikan bahwa tidak ada bagian dari manusia yang tidak berguna di alam ini, dan secara visual melihat secara mirkoskopik kehidupan larva dekomposer dapat memicu imajinasi tentang pengetahuan terbentuk dan diwariskan dalam makhluk renik.

Syaiful Garibaldi sempat duduk di bangku kuliah Agronomi di Universitas Padjajaran, Bandung sebelum akhirnya meraih gelar sarjana dari Seni Grafis FSRD ITB. Perjalanan kreatifnya dimulai dari gejala dalam penggunaan bahasa, dan kini ia tekun berkarya dengan memanfaatkan organisme mikrobiologi. Proses kreatif Tepu—demikian ia kerap dikenal—berkisar antara pencarian bentuk, serta tegangan antara penciptaan dan penghancuran. Pada eksplorasinya yang terkini menggunakan organisme mikrobiologi, Tepu mensyukuri Indonesia sebagai wilayah yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Ia memanfaatkan bagaimana alam bekerja secara alami dan menghadirkan kejutan-kejutan dalam proses berkarya. Karya-karyanya terakhir adalah karya-karya yang hidup dan terus berkembang.

TATTOO MERDEKA (Yogyakarta)

Tersandung Masa Puber

Untuk Biennale Jogja XIV kali ini Tattoo Merdeka akan membuat karya berdasarkan pada pengalaman mereka bertemu dengan anak-anak penghuni Lapas Anak Kutoarjo. Sebagai anak dan remaja yang sedang bertumbuh dewasa, mereka yang menghuni Lapas Anak Kutoarjo harus “dicabut” dari keluarga serta lingkungannnya, atas konswekensi tindakan mereka yang dipandang melanggar hukum. Tattoo Merdeka meminjam filosofi Jawa dalam memandang anak-anak yang berada di dalam tahanan ini sebagai orang-orang yang sedang lelaku, yaitu sikap prihatin, menghindari kesenangan duniawi, untuk mendapatkan pengetahuan baru atau keahlian baru. Karya Tattoo Merdeka akan berangkat dari harapan dan mimpi-mimpi penghuni Lapas Anak Kutoarjo atas kehidupan mereka di luar tembok penjara di masa depan.

Jalanan bukan hanya sekadar tempat untuk berkumpul bagi Dhomas Yudhistira (lebih dikenal dengan nama jalanannya, El Kamprettoz) dan kawan-kawannya. Di jalanan mereka mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang dapat menjadi bekal untuk kehidupan. Di jalanan mereka harus kreatif untuk bertahan hidup, dan di jalanan pula mereka harus berbagi segala macam hal. Dhomas mencontohkan, alat tato pertama yang ia gunakan adalah alat tato alis milik ibunya yang berprofesi sebagai perias pengantin gaya Jawa. Ia kemudian mengembangkan mekanik sederhana untuk membuat mesin alat tato dari barang-barang bekas. Tubuh Dhomas dan kawan-kawannya pun “dibagikan” bagi mereka yang mau belajar menjadi tukang tato; mereka menyediakan tubuhnya sebagai media untuk para tukang tato pemula. Akibatnya, di tubuh mereka ada rajah yang barangkali tak sempurna, atau bentuknya tidak keruan, tapi bagi mereka itu bukan soal karena nilai dari pembelajaran tersebut tidak ada gantinya. Para penggiat kelompok Tattoo Merdeka pada dasarnya adalah orang-orang yang gemar menggambar di media-media yang dulu dianggap tak lazim, misalnya tubuh, tembok, atau kendaraan bermotor. Praktik yang mereka lakukan barangkali tidak pernah dilirik oleh dunia seni rupa, meskipun sebenarnya yang dilakukan para tukang tato ini adalah aktivitas yang sangat lekat dengan dunia seni rupa. Ragam visual dan kreativitas mereka dalam menggunakan bermacam media diharapkan akan memberi kejutan dan warna baru bagi dunia seni rupa Indonesia.

Tattoo Merdeka terdiri dari:
Dhomas “Kampretz” Yudhistira, Wiwid Somawijaya, Dhendra Setho, Dedi Praboejazz, Anneke Fitrianti, Munir Kusranto, Gepenk Tattoo, Benedictus Rio “koplo”, Nandi Yoga, Helly KKK, Uceng Tattoo, Dimas Pesawart Kertas, Ferry Poison, Mamat Murbaut, Yohanes Botax, Frans Anggoman Chorawk Tattoo, Raffi Rodesta, Bayu Widodo, Pathub Pork, Gembol Prablika, Kuntet Tattoo, Gilang Mohican, Djathy Surclass, Herjun Sasmitha, Thomas D tattoo, Bambang mBendol.

WIGUNA VALASARA (1983, Bali)

rekonstruksi semesta, binary opposition

Wiguna Valasara hidup dalam dua dunia yang berjalan secara simultan, dunia pertama adalah lingkungan tempat tinggalnya di Bali yang mengedepankan sifat-sifat budaya komunal, dan dunia yang kedua adalah wawasan dan pengetahuan berdasarkan pengalamannya belajar, bertemu dengan orang-orang dari luar Bali, dan dalam perjalanan-perjalanan ke daerah lain. Dua dunia yang parallel tersebut, membentuk pandangan Valasara pada karya-karyanya yang tidak lepas dari budaya komunal Bali, lengkap dengan segala macam riuh meriahnya ritual, dan kesunyian yang ia rasakan ketika mempertanyakan posisi dirinya dalam konteks kebudayaan Bali. Karya Valasara akan membawa dua dunia tersebut berhadap-hadapan, mengikuti corak lukisan tradisi, dan corak lukisan modern.

Sebagai tempatnya lahir dan tumbuh, Bali dan tradisi kesehariannya telah memengaruhi karya-karya Made Wiguna Valasara dengan cara tersendiri. Menyelesaikan pendidikan tinggi di Jurusan Seni Patung dan Seni Lukis ISI Yogyakarta, Valasara melihat kanvas bukan sebatas media pendukung, tetapi juga sebuah bahasa dalam seni rupa. Perspektif ini menantangnya untuk merespons kanvas dengan menciptakan kontur, tekstur, dan volume dengan menjahit dan mengisi kanvas, alih-alih menggoreskan kuas dan cat ke atasnya. Beberapa tahun belakangan, Valasara menjadikan adat sebagai sumber kegelisahan dan inspirasi. Perhatiannya terutama tercerap pada proses tarik-menarik antara individualitas (beserta kebebasannya untuk berpikir dan berpendapat) dan komunalitas, dalam konteks konstruksi masyarakat Bali berikut seluruh ritus tradisi dan aktivitas keagamaannya.

TIMOTEUS ANGGAWAN KUSNO (1989, Yogyakarta)

Matinya Seekor Macan / The Death of A Tiger

“Teriakan-teriakan itu menggema dalam senyap! Teringat aku pada runcing-runcing tombak yang menaklukan tanah berdebu, menantang sengatan matahari tropis yang serasa kian membakar kulit. Ada saat-saat rahasia ketika aku merasa ikut mengaum bersama macan yang segera binasa itu. Tapi selebihnya, akulah kerumunan! Akulah pucuk-pucuk tombak tuding! Aku hidup dari kematian sang macan, yang telah menghunuskan perutnya ke tombak kami!”
Penulis tidak diketahui, Tanah Runcuk, 1870

Timoteus Anggawan Kusno menelusuri tradisi rampog macan, dan menemukan perayaan tindak kekerasan yang dilakukan kerumunan. Sang macan yang yang mati di ujung tanduk kerbau, atau banteng, atau pucuk-pucuk tombak kerumuman tak bernama yang memberikan “pertunjukan hiburan” bagi Sang Raja dan para tamu kehormatannya, termasuk para pejabat kolonial. Timoteus menemukan kesamaan antara riuh rendahnya kerumunan di peristiwa rampog macan, dengan peristiwa kekerasan yang dilakukan kerumunan pada mereka yang dianggap “berbeda”.

Sejarah, ingatan, dan fiksi tentang sejarah adalah adalah sentrum ide bagi Timoteus Anggawan Kusno. Lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol, UGM yang melanjutkan studi di Jurusan Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma ini menggunakan unsur-unsur dalam kehidupan sehari-sehari (misalnya buku catatan, tas, koper) untuk membuat fiksi tentang catatan-catatan sejarah masa lalu. Karya-karya Timoteus berupa drawing dan instalasi atas kumpulan temuan barang sehari-hari, dijadikan bagian dalam permainan bahasa dan visual yang saling berkelindan antara fakta dan fiksi. Melalui proses penciptaannya, ia merekayasa pembacaan lain tentang berbagai kemungkinan atas masa lalu.

YUNIZAR (1971, Talawi)

Matahari Kuning

Lukisan Yunizar adalah rekaman atas momen yang mengendap di kepala si pelukis. Pada karyanya kali ini, Yunizar menuangkan beragam warna di karyanya, berbeda dengan rangkaian karyanya sebelumnya yang menggunakan dua tiga warna saja. Matahari Kuning adalah pengalaman Yunizar mengamati situasi pagi dan sore hari, ia menawarkan kehangatan yang ia temukan dalam berbagai situasi. Mempertahankan gayanya yang khas, melukis dengan gaya anak-anak lukisan Yunizar menawarkan kejutan-kejutan bentuk obyek yang ia sebar di kanvas yang besar, serta celotehan-celotehan yang ia sisipkan di lukisan-lukisannya.

Kesenangan kanak-kanak adalah ciri yang hampir selalu bisa dirasakan ketika menikmati karya Yunizar. Bagi Yunizar, segala hal menuju pada kesederhanaan. Bentuk dan goresan yang dihadirkannya selalu tampak spontan, jujur, dan tidak dibuat-buat. Kesan ini seolah membangkitkan kembali kenangan tentang satu waktu di masa lampau, dan rupa-rupa imajinasi yang mengelilinginya. Di sisi lain, pada era di mana representasi dirayakan seperti saat ini, kesederhanaan bentuk yang ditawarkan Yunizar menjadi oase. Setiap karya Yunizar lahir dari endapan bagasi pengalaman yang tidak sedikit, yang mewakili persepsi bawah sadarnya terhadap situasi di sekitarnya.

WISNU AURI (1981, Yogyakarta)

Menelan dan Melaju

Setelah dalam beberapa pameran terakhir Wisnu Auri meninggalkan seni lukis, bahkan ia sendiri seperti menolak seni lukis yang konvensional, kali ini Wisnu justru membuat karya lukis untuk Jogja Biennale XIV. Wisnu mempelajari kembali craftsmanship dengan menggunakan media cat minyak, 49 lukisan dalam berbagai ukuran ia selesaikan. Lukisan-lukisan tersebut ia rangkai dalam beberapa episode perjalanan, yang menggambarkan perlintasannya dari situasi kegelisahannya pada diri sendiri hingga pada akhirnya berdamai dengan diri sendiri.

Jika impresi, ingatan, dan kenangan mewarnai karya-karya Wisnu Auri, itu karena masa remajanya dekat dengan barang antik. Selain mengembangkan karya dua dan tiga dimensi, Wisnu yang menempuh pendidikan Seni Rupa Murni ISI Yogyakarta juga mengeksplorasi wilayah interaksi dengan audiensnya dalam beberapa kesempatan. Ciri khas yang menonjol dari Wisnu adalah pilihan dan pertimbangan atas objek-objek yang ditemunya. Wisnu menciptakan makna baru atas objek-objek temuannya, melalui strateginya menata relasi objek-objek tersebut di dalam karya-karyanya.

YUDHA KUSUMA PUTERA “FEHUNG” (1987, Magelang)

(Belum ada judul)

“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Matius 19:6)

Yudha Kusuma Putera “Fehung” berangkat dari petikan Alkitab di atas sebagai titik pijak karyanya. Yudha lebih jauh lagi melihat sepasang manusia yang dipersatukan oleh institusi pernikahan di hadapan Tuhan, tidak hanya dalam tataran rohani, melainkan juga secara fisik, sosial, dan kultural keduanya menjadi satu dan kemudian berkembang biak menjadi beberapa. Yudha mengutip definisi keluarga dari Family Service America (1984) sebagai berikut; “Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan ikatan-ikatan kebersamaandan keintiman, dan mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga”. Yudha bekerjasama dengan beberapa keluarga untuk proses karya yang ia presentasikan untuk Biennale Jogja XIV, Yudha memotret keluarga-keluarga tersebut dalam pose dan frame yang tertata. Hasilnya, keluarga-keluarga tersebut menjadi “makhluk” baru di mata kamera Yudha, interpretasinya membuat ikatan di dalam keluarga yang bersifat non-tangible menjadi sesuatu yang tangible dan “nyata” sekaligus janggal.

Refleksi atas detail keseharian adalah spirit karya fotografer Yudha Kusuma Putra, yang akrab disapa Fehung. Jika teori visual diperolehnya di Jurusan Fotografi ISI Yogyakarta, sejumlah magang dan residensi menjadi praktik yang mematangkan perjalanan kekaryaannya. Amatan atas kenyataan sehari-hari banyak mengusiknya, terutama soal posisi seniman dan daya keseniannya di tengah masyarakat biasa. Perjalanan kekaryaannya membuat Fehung terdorong untuk menjelajahi dunia di luar lingkaran audiens seni rupa. Misalnya, membuat projek site-specific dengan audiens orang biasa seperti pedagang. Sedangkan dalam memilih media ungkap, foto menurut Fehung lebih nyata, logis, sekaligus memiliki ruang misterinya sendiri, yang tak perlu dijelaskan laiknya medium seni rupa yang lain.

ZICO ALBAIQUNI (1987, Bandung)

Doa Ibu Sepanjang Zaman

Karya Zico Albaiquni untuk Biennale Jogja XIV berangkat atas pencariannya tentang komodifikasi lokasi-lokasi spiritual menjadi tempat-tempat wisata. Ia tertarik untuk mencari nilai-nilai di balik harapan dan doa yang dipanjatkan di titik-titik yang dianggap mempunyai tingkat spiritualitas tertentu. Zico sendiri melakukan perjalanan spiritual di beberapa lokasi di Jawa Barat, hingga kemudian ia melakukan proses melukis mengikuti tradisi Sunda. Zico hendak mengajak kita mendiskusikan kembali, apakah itu harapan? Apakah itu doa? Apakah mereka yang berdoa adalah orang-orang yang kehilangan harap, ataukah mereka yang berdoa dan menjalani laku tersebut sebenarnya nyata harapannya. Melanjutkan metode berkarya Zico yang sebelumnya, karya Zico ini dipresentasikan dalam dua fase. Fase pertama dipresentasikan di beberapa titik tempat yang dianggap sakral di Yogyakarta, dan fase kedua dipresentasikan di ruang pamer JNM.

Bukan hasil, tapi proses. Jelajah dan pencarian menuju bentuk adalah unsur penting yang ingin selalu dihadirkan Zico Albaiquni dalam karya-karyanya. Lulusan sarjana dan pascasarjana dari FSRD ITB ini tertarik mendalami seni lukis setelah melihat karya-karya Soedjojono. Zico terus mencoba mengeksplorasi bentuk seni lukis dan fungsi seni lukis di masyarakat. Ia memulai dari isu-isu yang berkaitan dengan Islam, seperti ajaran tentang “hijab” dan “hijrah”. Kini Zico mencari titik temu antara bentuk lukisan Mooi Indie dan kritik sosial dengan menyelidiki ulang gagasan mengenai mengenai ruang dan lingkungan hidup, dan pengaruhnya terhadap tindakan dan budaya kita. Eksplorasi pada ide dan gagasannya tentang seni lukis membawanya pada titik di mana lukisan bukanlah hasil akhir dari eksplorasi estetik, melainkan bagaimana karya seni lukisnya dapat memantik pembicaraan mengenai fenomena yang ia temukan dalam realitas.

BRAZIL

CINTHIA MARCELLE (1974, Belo Horizonte) & TIAGO MATA MACHADO (1974, Belo Horizonte)

Divine Violence

Dalam beberapa tahun terakhir, Marcelle dan Mata Machado telah memproduksi sebuah trilogi video yang terdiri atas O Século (2011), Rua de mão única (2013), dan Comunidade (2016). Walter Benjamin menggunakan istilah ‘divine violence’ (kekerasan ilahi) untuk mendefinisikan sejenis daya revolusioner yang dapat memutus kaitan antara kekerasan yang justru dapat membuat hukum baru dan kekerasan yang melanggengkan hukum lama, sebuah sarana yang dapat meniadakan Negara. Oleh karena itu ‘divine violence’ dapat digambarkan sebagai jenis kekuatan yang semata-mata destruktif dan miskin. Jika dirangkum dalam satu kata, trilogi karya dua seniman ini berbicara tentang ‘anarki—karena tidak ada yang lebih anarkistis daripada modus operandi kekuasaan yang mapan (saat ini berupa kapitalisme lanjut, dengan dinamikanya yang dapat bergerak sendiri tanpa hukum atau akal, dan perwakilan politiknya berupa demokrasi modern yang memungkinkan adanya pengecualian dalam sistem yang diatur hukum dengan amat ketat). Upaya untuk menangkap dan menggulingkan anarki internal kekuasaan semacam ini menuntut adanya ‘divine violence’, yang membuat kita melihat ulang gagasan tentang anarki.

Kemitraan antara seniman Cinthia Marcelle dengan kritikus dan pembuat film Tiago Mata Machado—keduanya berkebangsaan Brasil—dimulai pada tahun 2008. Juga pada tahun yang sama, bersama kurator dan pembuat film João Dumans, mereka mendirikan Katásia Filmes—sebuah perusahaan produksi yang didedikasikan untuk penciptaan dan kajian film dan seni di Belo Horizonte, Brasil. Marcelle dan Mata Machado telah bekerja sama dalam penulisan naskah dan produksi film untuk sejumlah proyek, di antaranya video 475 Volver (2009) dan Cruzada (2010), serta film panjang Os Residentes (2011). Pada tahun 2008, keduanya memproduksi karya pertama mereka, Buraco Negro, yang ditampilkan pada São Paulo Biennial ke-29 (2010). Tahun berikutnya, mereka menerima sejumlah hadiah dari Rumos Cinema e Vídeo Experimental, Itaucultural, São Paulo untuk membuat karya video Plataforma. Pada tahun 2017, mereka memproduksi video baru berjudul NAU/NOW untuk Brazilian Pavilion dalam Venice Biennale ke-57. Marcelle dan Mata Machado tinggal dan berkarya di Belo Horizonte dan São Paulo.

CLARRA IANNI (1987, São Paulo)

Still Life or Study for Vanishing Point

Karya Still Life or Study for Vanishing Point adalah sebuah usulan yang dapat berubah-ubah sesuai dengan tempat karya ini ditampilkan. Karya ini diciptakan dengan bahan-bahan amunisi yang digunakan oleh polisi di tempat karya ini dipamerkan. Dengan mekanisme produksi semacam itu, karya ini menciptakan sebuah panorama yang bukan hanya menggambarkan senjata yang “mematikan” dan beragam jenisnya berdasarkan konteks lokal, namun juga melalui akumulasi arkeologis dari bekas senjata tersebut, dapat mengungkap lebih jauh tentang kesepakatan dagang militer dan penggunaan amunisi di negara-negara dengan konteks sosial/politik serupa. Mekanisme ini juga memungkinkan adanya gestur refleksi diri sebab karya ini menyelidiki ruang peredarannya sendiri. Selama beberapa waktu, seri karya ini akan mampu menciptakan peta persenjataan yang digunakan di seluruh dunia, mengungkap kesepakatan dagang antarnegara-bangsa, dan pertukaran peralatan teknologi perang.

Karya Clara Ianni menjelajahi hubungan antara seni dan politik. Praktik pengkaryaannya mengandalkan penggunaan beragam media seperti intervensi, video, instalasi, dan teks; yang menjadi ruang dialog antara pertunjukan dan budaya material. Ia tertarik untuk mengeksplorasi isu tentang kelas dan kerja dalam konteks artistik serta politik sejarah. Ia mendapatkan gelar sarjana seni rupa (BFA) dari University of São Paulo. Ianni telah melakukan sejumlah pameran, di antaranya Utopia/Distopia – part I, MAAT Lisbon, Portugal (2017); Talking to Action / Habar y Actuar, Los Angeles, EUA (2017); Jakarta Biennale (2015), São Paulo Bienal ke-31 (2014); Yebisu Festival Tokyo (2015), MDE15, Medellina, dan Bogotá (2015). Ia pernah mengikuti residensi di AIR Laboratory, Warsaw (2017); HIWAR – Conversations di Amman, Yordania (2013); Bolsa Pampulha, Museu da Pampulha, Belo Horionte (2011); dan Casa Tomada, São Paulo (2010).

DANIEL LIE (1988, São Paulo)

Entre a benção e a maldição / Between a Bless and a Curse

“Between a Bless and a Curse” merupakan sebuah karya tiga babak yang diajukan oleh Daniel untuk menandai residensinya di Yogyakarta selama dua bulan. Karya ini berupaya mengaitkan sejarah personal senimannya dengan jejak budaya yang menghubungkan Indonesia dan Brasil sebagai dua negara yang telah membesarkan seniman tersebut. Babak pertama, dalam bentuk pertunjukan, berisi proses menawarkan buah-buahan kepada orang-orang yang hadir pada Biennale Jogja, dengan cara mengupas dan memberikan buah itu. Daniel mengumpulkan keringatnya dan memasukkannya ke dalam vas keramik bersama dengan beras, air, dan gula. Babak kedua mengambil bentuk pertunjukan yang menampilkan refleksi pencarian seumur hidup seniman dalam rangka berupaya membaca narasi umum yang ada di kedua negara yang kini bermitra. Pameran ini menjadi penghormatan bagi kerabat di masa lampau, bagi jiwa-jiwa yang tersesat dalam perubahan sosial-politik menuju kapitalisme, serta penghormatan bagi wanita yang hadir dalam hidupnya. Sementara di babak terakhir, hasil karyanya akan dibakar. Hal ini akan dilakukan jauh dari perhatian publik dan bahkan senimannya sendiri.

Daniel Lie, berdarah campuran Indonesia – Pernambucano, tinggal dan berkarya di São Paulo. Berbekal pendidikannya di Seni Rupa, praktik pengkaryaan Daniel Lie berfokus pada waktu sebagai pilar utama refleksinya. Mulai dari kenangan yang paling awal dan menyentuh—mengangkat cerita keluarga dan pribadinya sendiri—hingga waktu yang menjadi sejarah dunia; sepanjang umur hidupnya, dan selama unsur-unsurnya masih bertahan. Melalui instalasi dan sejumlah benda yang digunakan apa adanya, dasar dari karyanya adalah konsep-konsep terkait seni pertunjukan—jenis kesenian yang berdasarkan pada waktu, kesementaraan, dan keberadaan. Untuk menyoroti ketiga hal tersebut, Daniel menyusun elemen-elemen yang memuat konsep waktu dalam dirinya dengan bentuk instalasi seperti tanaman, buah busuk, dan hasil tambang.

DEYSON GILBERT (1985)

Belum ada judul

Karya ini menghapus secara permanen segala bentuk konten estetis, simbolis, politik, dan ekonomi dari semua hal yang berada dalam radius 5 meter darinya.

ĺCARO LIRA (1986, Fortaleza)

Campo Geral

Dalam enam tahun terakhir, Lira telah menganalisis dampak dan akibat dari gerakan politik maupun sejarah melalui karya-karya dokumenter, arsip, arkeologis, dan fiksi. Dalam karya Campo Geral, ia menelusuri dua rute migrasi di Ceará, tanah kelahirannya yang menjadi kawasan transit migrasi sejak dekade 1840an. Rute pertama merupakan rute yang diambil oleh orang-orang yang mencari makan dan pekerjaan di ibu kota, namun perjalanan mereka justru berujung di kamp konsentrasi, tersegregrasi, dan tidak bisa melarikan diri. Rute kedua juga merupakan rute mereka yang lari dari bencana kekeringan dan tergiur dengan janji-janji tentang Eldorado baru di sekitar Amazon. Atas dasar inilah Lira melakukan perjalanan dari Manuas ke Fortaleza, dan dari Fortaleza ke Crato (lokasi kamp konsentrasi paling jauh).

Selama transit, Lira membangun refleksi atas migrasi, baik lanskap (fisik dan sosial) maupun konstruksi sejarahnya. Dokumen, surat, dan juga catatan yang dikumpulkan selama perjalanan akan menjadi inti dari pameran ini. Kumpulan tampilan yang bermakna ganda ini – rekaman dan testimoni dari seniman, kurator, dan orang lain yang terlibat selama perjalanan – akan menghadirkan sebuah perjalanan melintasi sejarah, ingatan, dan kehidupan dari “pelibatan yang malah mengecualikan”.

ĺcaro Lira adalah perupa, editor, dan peneliti yang tinggal di São Paulo, Brasil. Beliau adalah lulusan dari Universitas Federal Ceará, Casa Amarela, Fortazela, program Sinema dan Video dan merupakan lulusan dari Institut Sinema Darcy Ribeiro, Rio de Janeiro, program Instalasi dan Editing Suara. Dalam enam tahun terakhir, Lira telah menganalisis dampak dan akibat dari gerakan politik maupun sejarah melalui karya-karya dokumenter, arsip, arkeologis, dan fiksi. Pameran karyanya disajikan dengan struktur serupa “museum”, menyatukan beberapa fragmen yang terlupakan dan membangun sebuah sistem penyusunan objek yang mengartikulasikan materi dan serangkaian tindak artistik maupun non-artistik. Hasilnya, pilihannya tidak terbataspada satu objek artistik saja, namun tersebar di berbagai pameran, buku, studio, perdebatan, perjalanan, dan lain-lain.

JONATHAS DE ANDRADE (1982, Maceio)

O Caseiro / The Caretaker

O Caseiro atau The Caretaker (2016) menawarkan sebuah dialog dengan film rilisan tahun 1959, O Mestre de Apipucos, oleh sutradara Joaquim Pedro de Andrade. O Caseiro dikonstruksi secara simetris dalam dua narasi. Di sebelah kiri, ditampilkan gambar dari film tahun 1959—yang dengan baik hati diserahkan oleh produsernya, Filmes do Serro—yang menayangkan kehidupan sehari-hari Gilberto Freyre di rumahnya yang terletak di Distrik Apipucos, Recife. Sementara di sebelah kanan, Jonathas de Andrade secara berbarengan meniru adegan film O Mestre de Apipucos, namun tokoh Freyre digantikan oleh asisten rumah tangga yang bekerja di rumah mewah milik sosiolog itu. Hubungan paralel antara kedua tokoh tersebut—karakter historis dalam film dokumenter dan karakter anonim dalam film fiksinya—menciptakan sebuah ketegangan yang menonjolkan aspek kelas dan ras, yang merupakan dua topik utama yang digeluti Freyre dalam pekerjaannya, karena dalam film Pedro de Andrade, tokoh sosiolog tersebut tampak menjalani hidup ala aristokrat.

Jonathas de Andrade tinggal di Recife. Karya-karyanya menelusuri permasalahan sosial, politik, budaya, dan ideologi yang rawan hilang dari memori kolektif masyarakat: mana yang orang-orang pilih untuk dipertahankan atau dilupakan. Melalui serangkaian proses yang mencakup fotografi, penelitian, dokumentasi, dan pengalaman pribadi, Jonathas mengumpulkan ingatan dan menawarkan sebuah diskusi mengenai berbagai bentuk amnesia kolektif. Ia telah berpameran tunggal di sejumlah tempat seperti Museo Jumex, Mexico City (2017); New Museum, New York (2017); The Power Plant, Toronto (2017); Museu de Arte de São Paulo (2016-17), dan lain sebagainya. Ia juga pernah berpartisipasi dalam Unfinished Conversations: New Work from the Collection di Museum of Modern Art, New York (2017); Under the Same Sun: Art from Latin America Today di Guggenheim Museum, New York (2014), dan Bienal de São Paulo (2016).

LOURIVAL CUQUINHA (1975, Recife)

Belum ada judul

Saat kunjungan kurator Biennale Jogja XIV ke studionya di Brasil, Lourival diperkenalkan dengan beragam aspek kehidupan masyarakat di Indonesia, terutama alat produksi dan distribusi yang berkaitan dengan senjata api rakitan atau biasa disingkat “senpira”. Setibanya di Yogyakarta untuk melakukan residensi singkat dengan membuat karya baru untuk Biennale, Lourival mengalihkan perhatiannya pada senpira. Ia ingin mengeksplorasi, menggunakan, dan menampilkan senpira dalam bentuk instalasi in situ di lokasi pameran.

Lourival Cuquinha ialah seorang perupa yang berkarya dengan beragam media yang merefleksikan kebebasan manusia serta kontrol masyarakat dan budaya atas manusia, juga kebebasan seni dan kontrol institusi atas seni. Dengan berkarya baik secara mandiri maupun bersama institusi, ia mempertanyakan status tentang apa itu “karya seni” dan memeriksa batas-batas yang dihadapi institusi ketika memahami pengalaman seniman yang melanggar aturan. Karyanya juga sekaligus mengkritik institusi, memanfaatkannya, dan menegosiasikan posisi permanen mereka; perlintasan terus-menerus antara kritik dan keterikatan. Ibarat melalui sebuah busur dengan infleksi politik dan kekuatan puitis, karya Lourival tampil sebagai sebuah tantangan dan mengajak kita untuk memikirkan sebuah tempat di mana seni dapat mengisi ruang negosiasi demi terlaksananya perdamaian, sehingga kita dapat memahami cakupan intervensi karya tersebut dalam sistem kesenian itu sendiri dan realita yang melingkunginya.

LETICIA RAMOS (1976, Santo Antônio da Patrulha)

VOSTOK

Setelah kembali dari residensi seniman di Kutub Utara, Leticia Ramos dikejutkan dengan berita bahwa stasiun penelitian Antartika, VOSTOK, berhasil mengumpulkan sampel danau subglasial purba di kedalaman 4 km di bawah permukaan es. Peristiwa ini menjadi inspirasi untuk proyek VOSTOK, dengan tujuan utama menyelidiki dan mengkonstruksi geografi subakuatik (bawah air) yang dibuat dari model Semenanjung Antartika dan “membangkitkan” kembali lanskap danau yang tersembunyi di bawah air ini. Untuk film “Vostok” (2014), yang diproduksi dengan kamera film 16mm, Ramos membuat sejumlah miniatur. Musik untuk filmnya direkam secara langsung dari set film selama berlangsungnya pertunjukan terbuka pada bulan April 2013. Hasil dari proyek ini adalah sebuah film, buku seniman, rekaman album panjang (LP), dan sebuah pertunjukan film live.

Penelitian artistiknya berfokus pada penciptaan peranti fotografi yang memadai untuk menangkap dan merekonstruksi gerakan serta menyajikannya dalam bentuk video, karya foto, dan instalasi. Memiliki ketertarikan khusus pada fiksi ilmiah, Ramos juga menulis beberapa seri novel geografis yang kompleks. Sebagian waktunya ia gunakan untuk membuat model lanskap yang hilang, kadang pula membuat kamera. Sebagian besar karyanya menciptakan narasi yang mirip fiksi ilmiah, sebuah inventaris gambar yang menceritakan seorang ilmuwan yang tersesat di dalam ruang dan waktu. Karya-karya ini mempertanyakan kebenaran gambar-gambar ilmiah, namun juga menjadi bentuk penghormatan pada imajinasi ilmiah yang romantis, pada gagasan tahun 1950an tentang masa depan, dan pada para penemu multidisipliner serta mereka yang menjelajahi penjuru dunia.

RODRIGO BRAGA (1976, Amazon)

Belum ada judul

Saat menjalani residensi di Yogyakarta, Rodrigo mengawalinya dengan memikirkan perbedaan epistemologis antara bagaimana orang Timur dan Barat memandang kematian. Sebagai titik awal, ia mengamati mitos Pulung Gantung, sebuah fenomena di Gunung Kidul, Yogyakarta, di mana terdapat begitu banyak kejadian bunuh diri dalam kurun waktu satu tahun. Ketika memahami tantangan sosial yang dihadapi penduduk Gunung Kidul, ketertarikannya mengarah pada titik temu antara penduduk lokal dan alam sekitarnya, pengetahuan kuno, kepercayaan serta pendekatan spiritual mereka. Gambar-gambarnya yang memuat pemandangan khas pegunungan berbatu, gua, tanaman, dan lautan, membangun sebuah imajinasi yang bersifat seperti persentuhan langsung dan liris, semacam “pergerakan metafisis” melalui tubuh dan energinya di alam.

Ketika melakukan tindak performatif atau konstruksi manual langsung pada lanskap alam, atau ketika ia meneliti alam di ruang kota, tubuhnya ikut mengintervensi atau kadang menjadi bagian dari gambarnya. Relasi antara manusia dan alam, mulai dari makna kebendaan hingga makna simbolisnya, bersinggungan dengan sejumlah isu sosial, psikologis, atau etis yang melibatkan manusia dan cara yang rawan konflik ketika mereka menciptakan sistem yang mengekstrak, mengubah, dan mendesak alam. Karya-karyanya mengarah pada semacam dialog arketipal yang tidak ada ujungnya tentang daya yang dimiliki oleh alam. Pada tahun 2012, ia mengikuti São Paulo Bienal ke-30 dengan karya instalasi video berjudul ‘Tone’, setahun setelah karya tersebut ditampilkan di bioskop MoMA PS1. Pameran solo terakhirnya diselenggarakan di Palais de Tokyo, Paris (2016). Pada tahun 2012, ia meraih penghargaan Pipa Prize – Modern Art Museum of Rio de Janeiro, dan pada tahun 2013 ia memenangkan Emerging Talent Prize of São Paulo Art Museum – MASP. Karya-karyanya disimpan di beberapa galeri swasta maupun milik negara, baik di Brasil maupun negara-negara lainnya seperti di Maisón Européene de La Photographie, Paris.

VIRGINIA DE MEDEIROS (1973, Feira de Santana)

Sérgio e Simone

Simone ialah seorang waria yang menjaga sebuah sendang alami—Fonte da Misericórdia (Air Mancur Belas Kasih)—yang menjadi suaka bagi pengikut Orisha. Sérgio ialah seorang pastor evangelis yang merasa dirinya diutus oleh Tuhan “untuk menyelamatkan manusia”. Simone dan Sérgio, atau Sérgio dan Simone, adalah dua identitas dari satu orang yang sama. Pada tahun 2006, Virginia de Medeiros bertemu dengan Simone, yang pernah tinggal di bukit Ladeira da Montanha, salah satu wilayah yang paling kumuh di Kota Salvador. Ketertarikannya pada warga daerah itu mulai tumbuh, maka ia mulai mendokumentasikan berbagai aspek rutinitas harian Simone dalam bentuk video (selama 2007-2014). Sekitar satu bulan selepas sesi dokumentasi itu, Simone mengalami kejang akibat konsumsi kokain yang membuat dirinya melewati fase mengigau yang mistis, dan di sana ia percaya ia bertemu dengan Tuhan. Setelah peristiwa “mati karena overdosis” itu, Simone kembali mengadopsi nama Sérgio; ia kini yakin bahwa ia harus menjalani misi religius bersama Yesus. Kemudian, Sérgio menceritakan kisah transformasi dan identitas barunya pada de Medeiros.

Virginia de Medeiros tinggal dan berkarya di São Paulo. Ia adalah lulusan program master Seni Rupa Federal University of Bahia. De Medeiros mengadaptasi gambar-gambar dokumenter untuk penggunaan subjektif, personal, dan konseptual. Metode ini menawarkan sebuah cara untuk memperbaiki mode pembacaan serta representasi realitas dan keliyanan. Jantung dari metode pengkaryaannya adalah bertemu, berinteraksi, membangun kepercayaan dengan orang-orang, dan berteman. Menurutnya, kita perlu mempertimbangkan ikatan emosional sebagai unsur yang signifikan bagi sejarah seni kontemporer. Pada tahun 2015, ia memenangkan dua penghargaan yang bergengsi dalam kesenian kontemporer Brasil: hadiah PIPA Jury dan Popular Vote serta penghargaan pencapaian seumur hidup dalam Marcantonio Vilaça ke-5. Pada tahun 2014, ia menerima beasiswa Residency Unlimited di New York pada perhelatan Contemporary Art Festival Sesc-Viceobrasil ke-18. Karya-karyanya telah disajikan dalam banyak pameran, di antaranya pameran Behind the Sun-Prêmio Marcantônio Vilaça, HOME, Manchaster, Inggris Raya; La réplica Infiel, Centro de Arte 2 de Mayo, Madrid, Spanyol; Set to go, Contemporary Art Centre de Vilnius (CAC), Vilnius, Lithuania; Linguagem do Corpo carioca [a vertigem do Rio], MAR – Rio Art Museum, Rio de Janeiro, Brasil; dan São Paulo Biennial ke-31.

WALÉRIA AMÉRICO (1979, Fortaleza)
Bekerja sama dengan Lashita Situmorang dan Samsara

KORO

Koro adalah karya video dan suara yang diajukan Waléria dalam kolaborasinya dengan seniman Yogyakarta, Lashita Situmorang, dan sebuah organisasi nirlaba, Samsara. Dalam upaya melintasi wilayah tiap-tiap orang dan bersama-sama merefleksikan dunia, karya ini mengumpulkan suara, ujaran, perasaan dari orang-orang anonim tentang pengalaman kasih sayang, jatuh cinta, dan seksual mereka. Semua rekaman ini diubah oleh senimannya menjadi gabungan banyak suara yang akan dirilis untuk publik. Gambar utama yang menampilkan sang seniman membawa sebuah bendera dan berjalan-jalan sepanjang penceritaan itu adalah sebuah tindak mendengarkan untuk mencapai proses penyembuhan itu sendiri, cara untuk melebur batas-batas—antarmanusia dan lebih luas lagi antarnegara. Karya ini ingin memecah kesunyian dengan tujuan menyembuhkan dan mengubah trauma menjadi harmoni, mengungkapkannya demi kesembuhan lahir dan batin. Dapatkah tubuh menjadi objek penyaluran? Bagaimana caranya menyatukan berbagai suara dan menyebarluaskannya dari kejauhan seperti antena?

Waléria mendapat gelar master Seni Multimedia – Pertunjukan & Instalasi dari University of Lisbon, sarjana Seni Rupa dari Fakultas Seni Rupa Grande Fortaleza, dan gelar spesialisasi Media Audiovisual dan Elektronik dari Federal University of Ceará. Sebagai perupa, karya-karyanya berkisar pada bentuk video, fotografi, instalasi, dan pertunjukan. Ia melakukan eksperimen dan menelusuri relasi yang menubuh antara seseorang dan lingkungannya, serta transisi antara penghidupan dan displacement (perasaan tidak memiliki ruang). Karya seninya disajikan dalam lintasan nonlinier, di mana fokus pada hubungan timbal balik antara tubuh dan tempat diterjemahkan ke dalam serangkaian pertunjukan site-specific dan pertunjukan yang dialihwahanakan jadi gambar, yang diwujudkan dalam bentuk benda dan instalasi atau foto dan video. Pada lapis selanjutnya, perhatian pada Liyan—dalam hal dimensi bersama dan kolaboratif yang tersirat dalam karya seni mana pun—mempertemukannya dengan pendekatan propositif, di mana materialitas percakapan dan keramahan dieksplorasi melalui pembangunan gambar lanskap yang mengundang mereka untuk mendiaminya. Akhir-akhir ini, ketertarikan khusus untuk meneliti potensi displacement sebagai sarana untuk menangguhkan dan bertahan membawanya menjelajahi perantaraan di tengah suara, kelisanan, dan performativitas.

LASHITA SITUMORANG (lahir 1977, Samarinda – Indonesia) merupakan lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, jurusan Seni Murni tahun 2007. Kesenian Lashita banyak berbicara tentang isu sosial yang sering kali sensitif untuk dibicarakan di masyarakat luas. Lashita melihat hal-hal sensitif di masyarakat ini sebagai cerminan permasalahan yang kompleks dari isu-isu populer seperti gender, politik, ekonomi, lingkungan, dan lainnya. Lashita lebih tertarik pada situasi riil di sekitarnya berproses, menggali dan membangun pengetahuan bersama yang lebih solutif. Metode pengkaryaan Lashita menekankan pada proses riset, mencari tahu, bertemu, mempertemukan, mempertanyakan, dan memaparkan kembali hasil observasinya entah dalam bentuk proyek seni/komunitas, instalasi, karya 2 dimensi maupun 3 dimensi.

“Samsara bertujuan untuk meningkatkan kesehatan seksual dan reproduksi perempuan di Indonesia serta mendukung integritas dan otonomi tubuh perempuan. Melalui karya-karyanya, Samsara selalu menjunjung nilai-nilai yang didasarkan pada hak, peran serta kaum muda, layanan yang ramah bagi remaja, akuntabilitas, dan transparansi.”
samsara.or.id

YURI FIRMEZA (1982, São Paulo)
Berkolaborasi dengan Rully Shabara

Apenas Um Gesto Ainda Nos Separa Do Caos / A Gesture Narrowly Divides Us From Chaos

Poin konseptual dari proyek ini—berfungsi sebagai titik berangkat dan bukan hasil yang ingin dicapai—adalah dimensi politis dan puitis dari gunung berapi. Di satu sisi, ia adalah ancaman, sementara di sisi lain punya konotasi simbolis tertentu. Keberadaan gunung berapi tidak seangker makhluk gaib lainnya. Karya ini berbentuk rekaman gambar mentah dari kisah pertalian waktu ala Proust (Marcel Proust, red.), di mana Madeleine mewujud jadi asap Gudang Garam atau melodi lagu tua Lambada. Justru di saat segala hal tampak akrab, kita ditantang oleh perbedaan. Ada satu pertanyaan yang diam-diam menelusup di sepanjang film: apakah bumi akan menjadi objek atau subjek dari tindakan manusia? Di tengah ancaman malapetaka, erupsi dan semua mitos itu, hidup terus berlanjut.

Yuri Firmeza ialah seniman dan pengajar di Jurusan Film dan Audiovisual Federal University of Ceará, Brasil. Dengan beasiswa penelitian dari FAPESP, ia mendapatkan gelar Master Puisi Visual (Visual Poetry) dari Fakultas Komunikasi dan Seni University of São Paulo. Ia memproduksi karya dalam berbagai bentuk, mulai dari film, pertunjukan, fotografi, dan instalasi. Ia tertarik untuk menciptakan fabel dari aspek-aspek politis dan kontekstual tempat karyanya dikembangkan. Fokus penelitiannya saat ini adalah hubungan antara tubuh-dan- ruang dengan dimensi genalogis purba (arche-genealogical) dari waktu. Mengartikulasikan ujaran Spinoza, di Yogyakarta, ia terus berusaha menghidupkan pertanyaan: Apa yang dapat dilakukan Gaia?