Menelusuri lorong-lorong Ketandan berarti membuka kembali ingatan tentang ruang hidup dan sejarah yang lama terlupakan. Melalui tur berjalan kaki ini, publik diajak membaca ulang jejak para penulis dan pemikir perempuan Tionghoa pada awal abad ke-20, suara-suara yang lahir jauh sebelum Kongres Perempuan 1928, namun jarang dicatat dalam sejarah resmi. Sebagai momen relasional dan partisipatif, dalam Biennale Jogja 18 Kolektif Arungkala turut menghadirkan Anjangsana sebagai ajakan untuk merayakan kembali narasi yang terhapus, serta mengenang para perempuan yang menulis dan berpikir di tengah keterbatasan zamannya.
 
								








