KAWRUH: Tanah Lelaku diproyeksikan sebagai cerminan sekaligus riak-riak nilai yang berpendar dalam lini masa perkembangan pengetahuan serta tradisi kolektif warga. Melalui judul ini, Biennale Jogja 18 2025 terus mengembangkan ruang-ruang kolaboratif dan partisipatif dengan warga untuk bisa merefleksikan sejarah lokal, merebut tafsir mitologi dan narasi leluhur, serta melihat lebih dekat dampak perubahan lanskap dan tanah terhadap kehidupan hari ini.
Dipantik oleh pengetahuan perihal realitas keseharian di Padukuhan Boro II, sebuah desa yang terletak di Kapanewon Galur, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Prāṇaning Boro dipilih sebagai tema Asana Bina Seni 2025. Kata Prāṇaning yang memiliki arti “angin” atau “napas”, diambil dari Bahasa Kawi (Jawa Kuno). Prāṇaning Boro merepresentasikan ke-sementara-an atau ke-singkat-an kehadiran yang sekilas melintas seperti kencangnya angin pesisir yang menyapu tingginya pepohonan kelapa di Padukuhan Boro II. Kendati singkat, angin selalu datang berulang dan berbaur dengan nafas warga Boro.
Iklim seni di Panggungharjo dapat dikatakan cukup kondusif. Banyak sanggar yang berkembang di wilayah ini, di antaranya Panggung Laras Budaya, Kudha Beksa Kudha Manunggal, Manunggal Budaya, dan Turangga Mudha Budaya Panggungharjo yang menggawangi seni jathilan. Ada pula Sanggar Seni Anak Saraswati, Omah Joged Pramesti, yang fokus pada seni tari, Thek Tonk dengan seni klothekan, Purbo Rini, Sekar Muda Laras, dan Sedyo Laras dengan seni karawitan, serta Jolelo yang aktif melestarikan seni kethoprak dengan iringan selawat.
Secara geografis, Bangunjiwo terbentang di antara dataran dan perbukitan batu kapur. Dataran dimanfaatkan untuk sawah dan ladang, sementara perbukitannya—yang lebih kering dan sulit air—digunakan untuk kebun kayu dan sebagian ladang kecil. Rumah-rumah warga tersebar di kedua wilayah, berdampingan dengan gudang, pabrik, rumah makan, vila, hingga studio dari para seniman kontemporer yang terus bertambah jumlahnya dalam satu dekade terakhir.
Di Padukuhan Boro II juga terdapat ruang publik, yaitu Karang Kemuning Ekosistem. Ruang dimana pendidikan kontekstual yang berdasar pada persoalan masyarakat sekitar dilakukan. Sehingga pengetahuan yang didistribusikan tidak hanya sebatas pada ranah pikiran, tetapi juga dipraktikkan dalam ranah keseharian. Selain itu, Karang Kemuning Ekosistem juga merupakan ruang dan sarana bagi warga sekitar untuk mempelajari dan melakukan pentas kesenian, melakukan pertemuan pemuda, pelaksanaan agenda posyandu.