menu not selected

Apa yang Terjadi Jika Ingatan dan Sejarah Desa Dikemas Melalui Tur yang Asyik?

Di tengah riuhnya kerangka pameran dan instalasi seni Biennale Jogja 18, Tur Anjangsana muncul sebagai ajakan halus untuk berjalan bersama, meraba ruang, dan menyatu sejenak dengan lanskap yang biasa kita lewati tanpa berpikir panjang. 

Tur Anjangsana merupakan tur yang dirancang untuk membuka pengalaman berlapis dalam menyusuri ruang Biennale Jogja 18 2025, yang dipetakan menjadi dua rute. Pertama, tur yang berfokus pada situs-situs yang secara langsung digunakan sebagai ruang pamer, sehingga peserta dapat memahami konteks karya dalam hubungannya dengan lokasi tempat ia ditampilkan. Kedua, tur tematik yang dikolaborasikan dengan komunitas yang memiliki perhatian pada aktivitas jalan-jalan, praktik tur, maupun pembelajaran sejarah melalui penelusuran ruang kota dan desa. Rute ini dibangun dari tafsir kuratorial “Kawruh: Tanah Lelaku” serta temuan situs-situs penting di sekitar lokasi pameran yang menyimpan nilai sejarah dan kedekatan kultural. 

Anjangsana tidak sekadar dimaknai sebagai penjelajahan visual, tetapi juga perjumpaan lintas perspektif yang menghidupkan kembali kaitan antara karya seni, ruang hidup, dan pengalaman kolektif. Tur ini bukan sekadar “mengunjungi karya”, melainkan menjelajahi jejak-pengetahuan yang tumbuh di antara kampung, gang, sawah, dan bangunan lama— ikut merasakan bagaimana tanah, lelaku warga, dan seni rupa saling berbicara. Lokasi titik-titik pameran yang tersebar di banyak titik dengan akses terbatas tidak bisa dibiarkan menahan pengalaman publik, sehingga program Tur Anjangsana ini hadir sebagai solusi untuk menapaki karya-karya para seniman dan menggali sejarah desa melalui cara yang asyik. 

Selama program publik Biennale Jogja ini berlangsung, tur dilaksanakan dengan berbagai alternatif, mulai dari penggunaan kereta kelinci, sepeda, atau berjalan kaki. Di sana, terbangun rasa kebersamaan dalam perjalanan; bukan sekadar kunjungan formal pada umumnya. 

Tur Anjangsana kemudian menjadi ruang di mana gagasan kuratorial yang dalam edisi ini bertemakan “KAWRUH: Tanah Lelaku”, diterjemahkan ke dalam laku harian. Pengunjung diajak menyusuri Desa Panggungharjo, Desa Bangunjiwo, dan wilayah kota Yogyakarta dengan rute yang dirancang untuk menghubungkan karya seni dengan konteks sosial dan ruang hidup warga. 

Di antara langkah kaki dan obrolan ringan antar peserta, muncul suasana belajar bersama yang cair dan tanpa tekanan. Tur ini menanggapi pertanyaan besar: bagaimana seni bisa hadir dalam keseharian warga desa, bagaimana pengetahuan lokal bisa muncul bukan karena didikte, tetapi karena diraba, ditanya, dan dirasakan? 

Pada akhirnya, Tur Anjangsana menawarkan lebih dari sekadar peta rute pameran: ia memberi ruang untuk menyadari bahwa setiap gang, setiap bangunan tua, setiap sawah tak hanya latar visual, tetapi pijakan untuk berbicara tentang waktu, relasi, dan keadaban bersama. Dalam keheningan langkah dan sapaan antar pengunjung, tema “Kawruh” pada edisi Biennale tahun ini menemukan wujudnya — sebagai pengetahuan yang tumbuh dari lelaku bersama, bukan sekadar wacana yang dijaga di atas panggung.

 

Nantikan jadwal Tur Anjangsana selanjutnya dengan memantau jadwal harian pada pranala berikut https://biennalejogja.org/2025/jadwal/#harian atau dengan mengunjungi laman Instagram @biennalejogja.

Media terkait