Mereka tak menulis manifesto, tapi setiap pukulan palu adalah cara mereka memahami seni.
Menjelang pembukaan Biennale Jogja 18 “KAWRUH: Tanah Lelaku”, ruang-ruang yang menjadi lokasi perhelatan pameran tampak berubah menjadi bengkel hidup. Denting palu, gesekan gergaji, dan aroma cat bercampur dengan percakapan antara seniman dan tukang. Di balik instalasi-instalasi yang tersusun rapi dan menjulang tinggi di ruang pamer, ada proses panjang yang lahir dari kerja bersama.
Biennale Jogja 18 kali ini dengan tema Kawruh-nya bermaksud menuntun publik untuk melihat pengetahuan bukan sebagai teori, melainkan sebagai praktik hidup. Tema ini rupanya tidak hanya hidup di karya para seniman, tetapi juga terasa nyata dalam proses produksi di lapangan. Di titik inilah para tukang memainkan peran penting, dimana mereka menjadi penghubung antara ide dan bentuk, antara wacana dan realitas.
Dari ruang pamer di Desa Panggungharjo dan Desa Bangunjiwo hingga ruang galeri di jantung Kota Yogyakarta, kerja mereka berlangsung dalam ritme yang tekun dan terukur. Ada yang memotong bambu untuk instalasi, memasang tali penghubung untuk menyatukan objek karya, menyusun partisi dengan penuh keuletan, hingga memanjat tangga yang tinggi untuk memastikan satu per satu karya tertata dengan baik. Di sini, kehadiran para tukang adalah bagian tak terpisahkan dari narasi “Tanah Lelaku”, pengetahuan yang tumbuh dari keterlibatan tubuh dan tangan.
Beberapa seniman memilih bekerja langsung bersama tukang, menyesuaikan bentuk karya dengan kemampuan material dan teknik yang tersedia. Di titik ini, diskusi tentang ukuran, kekuatan struktur, hingga warna cat menjadi bagian dari proses kreatif itu sendiri. Tukang bukan sekadar pelaksana, tetapi rekan kerja yang ikut menafsirkan gagasan melalui keahliannya.
Proses kerja di Biennale Jogja 18 menunjukkan bahwa seni tidak hanya lahir di studio atau ruang ide, tetapi juga di lapangan; di antara irama bunyi palu, debu kayu, dan kerja gotong royong. Di sanalah Kawruh menemukan bentuknya; pengetahuan yang tumbuh dari laku bersama.
Ketika pameran akhirnya dibuka untuk publik, dinding-dinding putih, rangka bambu, dan instalasi-instalasi yang terpajang di ruang pamer bukan hanya menampilkan karya seni. Mereka juga menyimpan cerita tentang banyak tangan yang bekerja secara tekun dibaliknya. Tentang para tukang yang ikut menenun tanah lelaku, melalui kerja dan rasa ingin tahu yang sederhana tapi tulus.
Proses Display Karya-Karya Seniman Biennale Jogja 18 (Dok. YBY)
 
								




