PAPAR PAMERAN

Padukuhan Boro II berada di Desa Karangsewu, Kapanewon Galur, Kulon Progo, dan dikelilingi persawahan yang dahulu merupakan rawa-rawa Karang Kemuning. Setelah rawa dikeringkan, wilayah ini berkembang menjadi lahan produktif dan permukiman dengan nama Adi Karto, sebelum akhirnya menyatu dengan Kulon Progo. Warga setempat sebagian besar bekerja sebagai petani, sementara lainnya menjadi buruh tani maupun kuli bangunan.

Selain berada di lokasi strategis dekat jalan raya besar, Boro II juga menyimpan jejak sejarah, mulai dari makam tokoh leluhur seperti Kyai Ghuro hingga peninggalan pabrik gula kolonial Sewugalur. Kini, ruang publik Karang Kemuning Ekosistem menjadi pusat kegiatan warga, tempat belajar kontekstual, seni, serta pertemuan, yang menegaskan identitas Boro II sebagai padukuhan dengan warisan sejarah sekaligus ruang hidup yang terus berkembang.

Lokasi Karya Seniman Babak Biennale Jogja Babak 1 – Padukuhan Boro II, Sewugalur, Kulon Progo

Keterangan:

  1. Perupa Kulonprogo
  2. Bukhi Prima Putri
  3. Barikly Farah Fauziah
  4. Faris Wibisono
  5. Ismu Ismoyo
  6. Yuta Niwa
  7. Anisyah Padmanila Sari
  8. Sri Cicik Handayani
  9. Egga Jaya
  10. Vina Puspita
  11. Darryl Haryanto
  12. Dionisius Maria Cakra Ageng Wibowo
  13. Perupa Kulon Progo
  14. Mailani Sumelang
  15. Faisal Kamandobat
  16. Taufik Hidayat
  17. Pertunjukan Sri Cicik Handayani
  18. Pertunjukan Adi Gunawan & Muhammad Ade Putra

Pendopo Karang Kemuning Ekosistem – Joglo Gamelan

Seniman: Barikly Farah Fauziah, Yuta Niwa, Bukhi Prima Putri


Panggung 1 dan Rumah Pak Dalimi

Seniman: Sri Cicik Handayani


Panggung 2 dan Rumah Pak RT

Seniman: I Kadek Adi Gunawan


Pojok TK ABA dan Pendopo Karang Kemuning Ekosistem

Seniman: Anisyah Padmanila Sari


Sebelah Rumah Kuning

Seniman: Darryl Haryanto


Gubuk Kayu

Seniman: Mailani Sumelang


Tepi Sawah

Seniman: Dionisius Caraka


Rumah Kosong

Seniman: Taufik Hidayat


Pertigaan Jalan

Seniman: Faris Wibisono, Perupa Kulonprogo


Pojok Masjid

Seniman: Faisal Kamandobat


Persawahan dan Sumur Mati

Seniman: Ismu Ismoyo


Tembok Rumah Warga

Seniman: Vina Puspita


Lapangan Kosong

Seniman: Egga Jaya

The Ratan

Seniman: Kelly Jin Mei, Herjaka H.S, Rani Jambak, Shoosie Sulaiman dan Ayaka

The Ratan merupakan unit usaha hasil kerja sama antara Desa Panggungharjo dengan Java Advertising sebagai investor yang pemiliknya juga salah seorang warga Desa Panggungharjo. Terletak di utara Kampoeng Mataraman, The Ratan bergerak di jasa penyewaan gedung serba guna (multi used building) untuk keperluan pernikahan, acara musik, gathering, dan lain-lain. Dalam helatan Biennale Jogja 18, ruang kaca The Ratan akan digunakan sebagai ruang pamer.


Gubuk Putih

Seniman: BIYA Project, Fioretti Vera

Gubuk Putih yang berlokasi di Desa Panggungharjo, Bantul, merupakan ruang seni dan komunitas yang tumbuh dari inisiatif seniman lokal. Tempat ini berfungsi sebagai ruang alternatif untuk berkarya, menggelar pameran, diskusi, hingga kegiatan berbasis komunitas. Dengan suasana desa yang akrab dan terbuka, Gubuk Putih  dapat dimanfaatkan sebagai wadah antara praktik seni kontemporer dan kehidupan masyarakat, sekaligus menegaskan pentingnya ruang independen dalam perkembangan seni rupa di Yogyakarta.


Kawasan Budaya Karangkitri

Seniman: Li-Tzu Hsu, Egga Jaya, Jessica Soekidi, Agnes Hansella, Anga Art Collective, Irene Agriviene, Vina Puspita, Perupa Kulonprogo, Ismu Ismoyo, Bukhi Prima Putri, Kukuh Ramadhan

Kawasan Budaya Karangkitri menjadi salah satu ruang budaya yang terletak di Sawit, Desa Panggungharjo. Di kawasan ini berdiri sebuah balai yang biasanya digunakan untuk berbagai aktivitas seni dan budaya. Balai budaya ini juga sudah dilengkapi dengan seperangkat gamelan. Di selatan balai budaya, berdiri sebuah tempat pengelolaan sampah yang telah terintegrasi dengan aksi reuse, reduce, recycle. Di kawasan ini juga terdapat mata air dan embung yang diharapkan dapat membantu pengairan di sekitarnya.


Pendhapa Art Space

Seniman: Takahiro Iwasaki, Egga Jaya, Dicky Takndare dan Kevin van Braak, Syaura Qotrunnada, Agnes Hansella, Ki Warno Waskito/Warsono, Karen Hardini bersama Jagad Cilik, Faris Wibisono, Ali Umar

Pendhapa Art Space atau lebih dikenal dengan sebutan PAS awalnya adalah bangunan perluasan untuk proses kreatif dari Studio Satiaji Sculpture & Artwork milik Dunadi (pematung). Studio tersebut bergerak di bidang produksi pembuatan karya seni tiga dimensi. Pendhapa Art Space mulai dibangun bertahap dan dirancang sendiri pada tahun 2006 oleh Dunadi (perupa tiga dimensi dan pemilik PAS), pada awalnya Pendhapa Art Space bernama Pendopo Sapto Aji dan merupakan gedung serbaguna yang mulai dibuka untuk umum pada tahun 2011, dan berkembang menjadi art space pada tahun 2013. Tahun 2015 memulai menginisiasi program seni secara mandiri bernama STARTUP. 

Mulai tahun 2016, Pendhapa Art Space terdaftar menjadi badan usaha mandiri yang bergerak dalam bidang kegiatan kesenian dan kebudayaan. Pengembangan menjadi art space ini merupakan mimpi besar Dunadi, yaitu “membuat sebuah ruang yang didedikasikan untuk dunia seni dan masyarakat lokal maupun internasional.” Pendhapa Art Space juga berinisiasi membuat programprogram seni budaya berupa pameran, pertunjukan tari, dan teater, diskusi seni, workshop seni, dan lain sebagainya, baik program-program mandiri ataupun program-program yang bekerjasama dengan komunitas atau institusi seni budaya yang ada di Yogyakarta maupun mancanegara.


Kampoeng Mataraman

Seniman: Nathalie Muchamad, Yuma Taru dan Lihan Studio, Iwan Yusuf, Perupa Kulonprogo

Kampoeng Mataraman merupakan destinasi wisata budaya yang terletak di Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Kawasan ini dibangun dengan konsep pedesaan khas Mataram yang memadukan nuansa alam, tradisi, dan kearifan lokal. Pengunjung dapat merasakan suasana pedesaan Jawa tempo dulu melalui rumah-rumah joglo, sawah, kebun, serta aktivitas budaya seperti membatik, memasak tradisional, hingga kesenian rakyat.

Secara historis, Kampoeng Mataraman lahir dari inisiatif warga Panggungharjo sebagai upaya pelestarian budaya sekaligus pengembangan ekonomi berbasis wisata. Nama “Mataraman” diambil dari kejayaan Kesultanan Mataram yang menjadi akar budaya Jawa, sehingga tempat ini dirancang sebagai ruang untuk mengenang, merasakan, sekaligus melestarikan nilai-nilai budaya leluhur. Kini, Kampoeng Mataraman berkembang menjadi ruang wisata edukasi, rekreasi, sekaligus pemberdayaan masyarakat lokal.


Ndalem Brotoasmaran

Seniman: –

Ndalem Brotoasmaran di Desa Panggungharjo adalah rumah bersejarah bergaya tradisional Jawa yang kini difungsikan sebagai ruang budaya dan komunitas. Bangunan ini masih mempertahankan arsitektur khas ndalem dengan nuansa heritage yang kuat, sekaligus menjadi tempat berlangsungnya berbagai kegiatan seni, diskusi, dan pertemuan masyarakat. Sebagai bagian dari lanskap kultural Panggungharjo, Ndalem Brotoasmaran tidak hanya merekam jejak sejarah keluarga pemiliknya, tetapi juga hidup kembali sebagai ruang yang menyatukan nilai tradisi dengan dinamika seni dan budaya kontemporer.

Joglo Pak Newu

Seniman: Kolektif Arungkala

Terletak di Desa Sawit, Panggungharjo, Joglo Pak Newu merupakan rumah tradisional Jawa yang memancarkan pesona klasik dan nuansa kedamaian pedesaan. Bangunan ini berdiri anggun dengan struktur kayu jati yang kokoh, beratap limasan bertumpang, serta dihiasi ukiran tradisional yang mencerminkan nilai-nilai estetika dan filosofi masyarakat Jawa.

Monumen Bibis

Seniman: Val Lee, Ali Umar, Gilang Anom Manapu Malik, Imal Malabar

Terletak di Dusun Bibis, Bangunjiwo, monumen ini merupakan cagar budaya karena sejarah panjangnya. Dulunya, lokasi ini pernah menjadi markas Letkol Soeharto dan pasukan Brigade X Divisi III untuk menyusun strategi Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Dimaksudkan sebagai museum, area yang memiliki tiga bangunan ini diisi oleh barang-barang keseharian yang dipakai oleh pasukan tersebut.


Plataran Djokopekik

Seniman: Novi Kristinawati, Faisal Kamandobat, Laboratorium Sedusun

Plataran Djokopekik adalah ruang seni dan budaya yang didirikan oleh maestro seni rupa Indonesia, Djokopekik, di Yogyakarta. Lokasi ini tidak hanya menampilkan karya-karya sang seniman, tetapi juga berfungsi sebagai ruang pertemuan, pameran, dan aktivitas seni yang terbuka bagi publik. Dengan nuansa khas Yogyakarta yang berpadu dengan semangat seni kontemporer, Plataran Djokopekik menjadi salah satu destinasi penting untuk mengenal lebih dekat kiprah Djokopekik sekaligus mengapresiasi perkembangan seni rupa Indonesia.


Toko Purnama

Seniman: Thao Nguyen Phan, Posak Jodian, Abdi Karya, Entang Wiharso, Hashel Al Lamki, Inter-Asia Woodcut Mapping, Kawayan de Guaia, Yuta Niwa, Zhang Xu Zhan

Toko Purnama adalah sebuah toko legendaris yang berlokasi di Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Sejak lama, tempat ini dikenal sebagai toko kelontong tradisional yang menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari, sekaligus menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat setempat. Dengan suasana sederhana dan otentik, Toko Purnama bukan hanya sekadar ruang transaksi, tetapi juga menjadi titik temu sosial yang merekam jejak perubahan budaya dan gaya hidup warga Bantul dari masa ke masa.

Kantor Pos Besar

Seniman: Liu Yu

Kantor Pos Besar Yogyakarta adalah bangunan bersejarah bergaya kolonial yang terletak di kawasan Titik Nol Kilometer, berseberangan dengan Benteng Vredeburg. Diresmikan pada awal abad ke-20, gedung ini sejak dulu menjadi pusat layanan pos dan telekomunikasi di Yogyakarta. Dengan arsitektur khas era Hindia Belanda yang masih terawat, Kantor Pos Besar tidak hanya berfungsi sebagai fasilitas pelayanan publik, tetapi juga menjadi salah satu penanda penting lanskap kota sekaligus daya tarik wisata heritage di kawasan Malioboro.


Museum Benteng Vredeburg

Seniman: Arahmaiani, Fadriah Syuaib, Riyan Kresnandi dan MIVUBI, KV Duong, Mila Tularijc, Mia Bustam, Alfian Widi, Astrid Reza, Awanda B. Destia, Chandra Rosselinni, Kemala Hayati,  Nadya Hatta, Nessa Theo, Sylvie Tanaga, Entang Wiharso, Abdi Karya, Kolektif Arungkala x Dolorosa Sinaga, Marten Bayu Aji

Museum Benteng Vredeburg adalah museum sejarah yang menempati bangunan benteng peninggalan Belanda abad ke-18 di pusat Kota Yogyakarta, tepat di depan Gedung Agung dan dekat kawasan Malioboro. Awalnya dibangun sebagai benteng pertahanan sekaligus pengawasan terhadap Keraton Yogyakarta, kini situs ini difungsikan sebagai museum yang menyimpan koleksi diorama, arsip, dan artefak perjuangan bangsa Indonesia dari masa kolonial hingga kemerdekaan. Dengan suasana bersejarah yang masih terjaga, museum ini menjadi ruang edukasi sekaligus destinasi wisata budaya yang penting di Yogyakarta.