DESA MAWA CARA

Boro II, merupakan salah satu Padukuhan di Desa Karangsewu, Kapanewon Galur, Kulon Progo. Padukuhan Boro II sendiri terdiri dari 4 Rukun Tetangga (RT). Memiliki lokasi padukuhan yang dikelilingi oleh persawahan, dan ini sekilas, tampak seperti pulau yang dikelilingi oleh lautan. Ini dikarenakan pada mulanya Padukuhan Boro II merupakan bagian dari Karang Kemuning, yang wilayahnya didominasi oleh rawa-rawa, dan penduduknya mengandalkan perahu sebagai sarana mobilitas. Hingga kemudian rawa-rawa tersebut dikeringkan untuk dijadikan lahan produktif dan pemukiman, lalu bergantilah nama Karang Kemuning menjadi Adi (linuwih) Karto (subur), untuk kemudian pada gilirannya mengalami penggabungan—dan menjadi satu-kesatuan—dengan wilayah Kulon Progo. 

Karena dikelilingi oleh persawahan, mayoritas warga di Padukuhan Boro II berprofesi sebagai petani. Saat musim penghujan, warga yang menjadi petani akan menanami sawahnya dengan padi, dan bila musim kemarau tiba, para petani akan beralih menanam palawija. Selain menjadi petani, terdapat pula warga yang berprofesi sebagai pemetik cabai (buruh-tani harian) di lahan milik orang lain, yang mayoritasnya dilakukan oleh ibu-ibu; dan kuli bangunan yang mayoritasnya dilakukan oleh bapak-bapak. 

Di bagian utara persawahan yang mengelilingi Padukuhan Boro, terdapat Jalan Raya yang menghubungkan—jarak sejauh -+30km—antara Kulon Progo dengan kota Yogyakarta (bila mengacu pada Titik Nol); sedangkan di sisi selatan persawahan, terdapat Jalan Lintas Selatan (JLS) yang mengarah ke Jembatan Pandasimo, yang sering dijadikan tempat berkumpul dan nongkrong-nongkrong atau piknik para muda-mudi; dan tak jauh dari sisi barat persawahan, ada Jalan Deandels Pantai Selatan yang dapat menghantarkan orang-orang ke New Yogyakarta International Airport (NYIA). 

Kendati dikelilingi oleh infrastruktur mobilitas, Padukuhan Boro II cenderung sepi dan minim interaksi. Karena pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan, sedari pagi hingga sore menjelang malam hari, telah membuat mayoritas warga memiliki aktivitas yang sangat padat dan sibuk. Dan ketika tiba waktunya istirahat pada siang hari, mayoritas warga akan lebih meluangkan waktunya untuk beribadah, untuk setelahnya kembali lagi bekerja, atau memilih untuk istirahat secara penuh di rumah ketika malam tiba. Suasana sepi di Padukuhan Boro II semakin lengkap dengan adanya rumah-rumah rusak yang ditinggalkan dan mulai diselimuti tetumbuhan, minimnya penerangan, dan ruang-ruang untuk bercengkrama atau kongkow (jagongan). 

Namun, meski secara tidak langsung, infrastruktur mobilitas yang berada di sekitar Padukuhan Boro II tersebut tetap memiliki pengaruh. Dapat dilihat pada beberapa rumah yang ada di Padukuhan Boro II, misalnya, terdapat keunikan yang berupa penggabungan antara fasad atau tampak depan rumah yang meniru gaya arsitektur perkotaan, akan tetapi tetap mempertahankan bentuk rumah pedesaan yang cenderung sederhana di bagian tampak samping dan belakang. Lebih lagi, beberapa rumah pun memiliki pagar, akan tetapi dapat dikatakan tidak fungsional, karena tidak ditujukan untuk menghalangi pandangan dan keluar-masuknya orang-orang, sehingga semakin memperlihatkan penggabungan kecenderungan gaya arsitektural kota (yang tertutup) dan desa (yang terbuka). 

Selain keunikan arsitektural, di Padukuhan Boro pun terdapat beberapa makam yang sarat akan sejarah. Misalnya, Makam Simbah Kyai Ghuro yang dianggap sebagai petilasan dan Makam Simbah Kyai Bandar Arum yang dianggap sebagai tanda bahwa di sekitar wilayah tersebut pernah didominasi oleh—atau pernah menjadi—rawa-rawa. Tak hanya itu, tidak jauh dari padukuhan Boro II, tepatnya di bagian Utara Kapanewon Galur, terdapat lokasi yang pernah difungsikan sebagai pabrik gula. Meski bangunan pabrik gula dan jalur rel kereta api Brosot-Yogyakarta yang menjadi bukti eksistensinya kini sudah tidak lagi ada, akan tetapi masih terdapat beberapa situs dan bangunan yang tersisa. Seperti Kerkhof atau makam Belanda yang masih terdapat lima nisan, dan beberapa bangunan rumah Belanda sisa Perumahan Dinas Pabrik Gula Sewugalur.

Di Padukuhan Boro II juga terdapat ruang publik, yaitu Karang Kemuning Ekosistem. Ruang dimana pendidikan kontekstual yang berdasar pada persoalan masyarakat sekitar dilakukan. Sehingga pengetahuan yang didistribusikan tidak hanya sebatas pada ranah pikiran, tetapi juga dipraktikkan dalam ranah keseharian. Selain itu, Karang Kemuning Ekosistem juga merupakan ruang dan sarana bagi warga sekitar untuk mempelajari dan melakukan pentas kesenian, melakukan pertemuan pemuda, pelaksanaan agenda posyandu. Singkatnya, Karang Kemuning Ekosistem, selain berfungsi sebagai ruang untuk belajar, juga berfungsi sebagai ruang untuk melakukan dialog dan pertemuan, baik itu warga vis a vis warga, warga vis a vis pengurus desa, dan warga vis a vis individu-individu dari luar desa.

Panggungharjo merupakan salah satu desa di Kecamatan Sewon, Bantul. Secara administrasi, desa ini berbatasan dengan Kota Yogyakarta di sebelah utara, Desa Bangunharjo di sebelah timur, Desa Timbulharjo dan Pendowoharjo di sebelah selatan, serta Desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan di sisi barat. Dengan jarak sembilan kilometer dari Tugu Yogyakarta, perjalanan ke Panggungharjo memakan waktu kurang lebih 20 menit. Berlokasi tidak jauh dari desa, berdiri sebuah bangunan bersejarah, bagian dari Sumbu Filosofi bernama Panggung Krapyak. Selain itu, terdapat juga Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Panggungharjo juga mendapat akses langsung ke jalan lintas provinsi.

Desa Panggungharjo terdiri dari 14 pedukuhan dan 119 RT (Rukun Tetangga) yang terletak di wilayah seluas 560.966,5 Ha. Panggungharjo memiliki sumber air tanah yang cukup memadai, terutama di Pedukuhan Glugo dan Pelemsewu, sehingga cocok untuk dijadikan lahan pertanian. Sejak diresmikan menjadi sebuah desa, wilayah Panggungharjo dibagi menjadi tiga kawasan berdasarkan karakteristiknya, yakni kring selatan sebagai penghasil padi, kring tengah sebagai pusat pemerintahan, dan kring utara sebagai kawasan aglomerasi perkotaan. Akan tetapi, sejak lima tahun terakhir, pola penggunaan lahan di Desa Panggungharjo mengalami perubahan yang cukup signifikan, sehingga lahan-lahan pertanian di kawasan kring utara turut berubah menjadi lahan pemukiman dan digunakan untuk kegiatan bisnis, seperti rumah makan, kafe, dan penginapan. 

Berdasarkan data desa, sebanyak 28.493 jiwa tinggal di Desa Panggungharjo dengan perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan yang hampir sama. Mata pencaharian penduduk didominasi oleh karyawan swasta, kemudian menyusul ASN, Polri, dan TNI. Jumlah penduduk yang berprofesi sebagai buruh juga tak kalah banyaknya dengan karyawan swasta. Saat ini, sudah tidak banyak penduduk yang berprofesi sebagai petani karena adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman dan kegiatan bisnis. Beberapa warga Desa Panggungharjo juga memproduksi kerajinan yang tersebar di wilayah desa, di antaranya kerajinan lurik di Krapyak dan Pelemsewu, sablon tatah di Sawit, tatah wayang dan produksi gamelan di Cabeyan.

Iklim seni di Panggungharjo dapat dikatakan cukup kondusif. Banyak sanggar yang berkembang di wilayah ini, di antaranya Panggung Laras Budaya, Kudha Beksa Kudha Manunggal, Manunggal Budaya, dan Turangga Mudha Budaya Panggungharjo yang menggawangi seni jathilan. Ada pula Sanggar Seni Anak Saraswati, Omah Joged Pramesti, yang fokus pada seni tari, Thek Tonk dengan seni klothekan, Purbo Rini, Sekar Muda Laras, dan Sedyo Laras dengan seni karawitan, serta Jolelo yang aktif melestarikan seni kethoprak dengan iringan selawat. Selain itu, di Desa Panggungharjo juga terdapat sanggar seni rupa Sanggar Kalam dan Omah Kreatif Dongaji.

Selain keseniannya yang beragam, Desa Panggungharjo juga memiliki bagunan bersejarah, di antaranya Panggung Krapyak atau yang sering disebut Kandang Menjangan. Panggung Krapyak menjadi salah satu bangunan yang terletak di sumbu imajiner Yogyakarta yang menghubungkan Gunung Merapi, Tugu Yogyakarta, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Pantai Parangtritis. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Yogyakarta, wilayah di sekitar Panggung Krapyak melambangkan kehidupan manusia saat masih dalam kandungan, ditandai dengan adanya Kampung Mijen yang diambil dari kata “wiji” yang berarti benih, di sebelah utara Panggung Krapyak. Di Desa Panggungharjo juga terdapat makam-makam leluhur, di antaranya makam Kyai Dongkel, Pangeran Soro, Kyai Sorobudin, Nyai Cabe, Nyai Padang, dan Ki Juru Purbo. Nama-nama leluhur ini menjadi cikal bakal toponimi padukuhan yang ada di Panggungharjo.

Desa Panggungharjo memiliki beberapa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), sebuah badan usaha yang dikelola selalu berprinsip dari, oleh, dan untuk desa untuk dapat menambah pendapatan desa, di antaranya adalah pengelolaan sampah, rumah makan, dan gedung serbaguna. Sebelumnya, masyarakat Desa Panggungharjo juga mengembangkan swalayan desa, tetapi sejak pandemi tidak beroperasi lagi. Berdasarkan penuturan Direktur BUMDes, badan usaha tersebut diharapkan dapat membuka lahan pekerjaan untuk warga desa yang terpinggirkan, misalnya kaum difabel, putus sekolah, anak jalanan, ibu rumah tangga, dan ODGJ. Diharapkan unit usaha yang dimiliki desa dapat memberdayakan masyarakat desa dan menumbuhkan perekonomian Desa Panggungharjo.

Desa Bangunjiwo terletak di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, berada di sisi barat daya Daerah Istimewa Yogyakarta dengan jarak sekitar 12 km dari pusat kota. Desa ini mencakup luas wilayah 1.543,432 hektar yang terbagi dalam 19 dusun (setingkat RW), berbatasan dengan Tamantirto di utara, Tirtonirmolo di timur, serta Guwosari dan Triwidadi di barat.

Secara geografis, Bangunjiwo terbentang di antara dataran dan perbukitan batu kapur. Dataran dimanfaatkan untuk sawah dan ladang, sementara perbukitannya—yang lebih kering dan sulit air—digunakan untuk kebun kayu dan sebagian ladang kecil. Rumah-rumah warga tersebar di kedua wilayah, berdampingan dengan gudang, pabrik, rumah makan, vila, hingga studio dari para seniman kontemporer yang terus bertambah jumlahnya dalam satu dekade terakhir.

Dulu, lebih dari 80% warga Bangunjiwo adalah petani. Kini, pekerjaan utama didominasi oleh buruh, disusul pedagang, pegawai negeri, pensiunan, dan wiraswasta. Perubahan ini tidak terlepas dari letak strategis desa yang berdekatan dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Pabrik Gula Madukismo, serta jalan provinsi yang membuka akses lebih luas bagi investasi dan urbanisasi.

Meski begitu, di tengah perubahan struktur kerja ini, sejumlah warga tetap melanjutkan profesi berbasis tradisi. Bangunjiwo menjadi rumah bagi para pembuat wayang, perajin topeng, pembuat gerabah, dan seniman tradisi lainnya yang menjaga keterampilan turun-temurun sekaligus memberi warna khas pada identitas budaya desa.

Alih fungsi lahan menjadi pemandangan sehari-hari. Sawah dan kebun pelan-pelan berubah menjadi perumahan, kafe, dan vila, terutama di Dusun Sekar Petak yang menawarkan panorama sawah, langit luas, dan siluet pepohonan dari kejauhan. Suara mesin pemotong pohon kini lebih sering terdengar daripada suara cangkul atau gemericik air sawah.

Konsekuensi dari transformasi ini adalah lonjakan harga tanah yang mempersulit warga lokal membeli atau mempertahankan lahan mereka sendiri. Di sejumlah titik, kontras sosial tampak nyata: rumah-rumah sederhana warga berdiri berhadapan langsung dengan bangunan-bangunan mewah bergaya etnik-modern yang eksklusif dan tertutup.

Bangunjiwo juga menyimpan banyak situs sejarah dan spiritual yang menandai ingatan kolektif desa. Dari Situs Lingga, Gua Wurung yang merupakan tempat persembunyian Pangeran Diponegoro sebelum pindah ke Gua Selarong, makam-makam keramat seperti Makam Kyai Godeg, Kyai Joyudo, Kyai Song, Josedewan yang merupakan orang-orang yang dihormati di masa lalu, hingga Monumen Bibis. Selain itu terdapat beberapa mata air yang juga dikeramatkan oleh warga setempat serta memiliki latar belakang sejarah, seperti Sendang Rancang Kencono yang masih memiliki kaitan dengan Gua Wurung dan Sendang Banyu Temumpang yang dibangun Sultan Hamengku Buwana II. Mata airnya yang juga dikeramatkan warga ada Sendang Banyuripan, Sendang Pangkah, Sumur Gede, dan Sendang Semanggi. Ini semua menjadi pengingat atas silsilah kebudayaan lokal yang masih hidup, meski sebagian besar situs kini terancam oleh kurangnya perawatan dan dukungan.

Arsitektur desa pun mencerminkan perjalanan waktu. Rumah-rumah joglo dan limasan dari kayu masih ditemukan di beberapa dusun, berdampingan dengan rumah-rumah berdinding bongkahan batu kapur. Setelah gempa 2006, banyak rumah tradisional digantikan oleh bangunan tembok permanen. Desain dan material rumah menjadi jejak perubahan, tanda bagaimana desa merespons bencana dan zaman.

Di tengah pusaran transformasi sosial, ekologis, dan ekonomi, Bangunjiwo adalah ruang yang hidup yang tak henti bernegosiasi antara yang lama dan yang baru. Sebuah desa yang menampung ingatan sejarah sekaligus menghadapi masa depan, dengan warga yang tetap menenun harapan di antara bentangan kapur, sawah, dan bayang-bayang beton.

Kota Yogyakarta merupakan ibu kota dari Daerah Istimewa Yogyakarta, terletak di bagian selatan Pulau Jawa dengan luas wilayah sekitar 32,5 km². Kota ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Sleman di utara dan barat, serta Kabupaten Bantul di timur dan selatan. Lokasinya yang berada di tengah wilayah DIY menjadikan Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, kebudayaan, sekaligus salah satu destinasi pariwisata utama di Indonesia.

Secara geografis, Kota Yogyakarta berada di dataran rendah yang relatif rata, hanya berjarak sekitar 27 kilometer dari pantai selatan Jawa. Sungai Code membelah kota dari utara ke selatan, menjadi penanda alami sekaligus ruang sosial yang penting bagi masyarakat kota. Keberadaan Gunung Merapi di utara juga memberi pengaruh besar, baik terhadap kesuburan tanah maupun imajinasi budaya yang tumbuh dalam tradisi warga Yogyakarta.

Kota ini terkenal sebagai “Kota Pelajar”. Sejak berdirinya Universitas Gadjah Mada pasca-kemerdekaan, Yogyakarta berkembang menjadi magnet pendidikan tinggi. Puluhan perguruan tinggi negeri maupun swasta berdiri di berbagai sudut kota, menjadikannya rumah bagi ratusan ribu mahasiswa dari seluruh penjuru Nusantara. Hal ini menumbuhkan atmosfer kosmopolitan yang khas, di mana warung angkringan, rumah kos, hingga kafe kreatif menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut kehidupan sehari-hari.

Selain pendidikan, Yogyakarta juga dikenal sebagai “Kota Budaya”. Keberadaan Keraton Yogyakarta bukan hanya sebagai pusat pemerintahan simbolik, tetapi juga penjaga tradisi Jawa yang masih hidup hingga kini. Upacara adat, gamelan, wayang, batik, hingga arsitektur tradisional tetap lestari di tengah arus modernitas. Di sisi lain, geliat seni kontemporer tumbuh subur. Galeri, ruang alternatif, hingga festival seni berskala internasional menjadikan Yogyakarta sebagai episentrum seni modern Indonesia.

Ekonomi kota mengalami pergeseran signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Jika dahulu perekonomian ditopang oleh sektor perdagangan tradisional dan jasa pendidikan, kini pariwisata dan ekonomi kreatif mengambil peran penting. Malioboro, kawasan ikonik Yogyakarta, menjadi simbol perubahan tersebut—dari sekadar pusat perdagangan lokal menjadi wajah pariwisata global. Hotel, pusat belanja, restoran, dan toko oleh-oleh menjamur, sementara di gang-gang kecil tumbuh homestay, kafe, dan studio kreatif yang dikelola generasi muda.

Namun, seperti halnya kota lain yang berhadapan dengan arus urbanisasi, Yogyakarta juga menghadapi tantangan. Alih fungsi lahan, kemacetan, pertumbuhan bangunan modern yang kadang kontras dengan warisan arsitektur kolonial, serta meningkatnya harga tanah menjadi persoalan nyata. Konsekuensinya, muncul kontras sosial antara warga lokal dengan pendatang, antara rumah tradisional dengan apartemen bertingkat, atau antara pasar tradisional dengan mal modern.

Meski demikian, Yogyakarta tetap menampilkan wajah yang unik. Kota ini bukan hanya ruang fisik, tetapi juga ruang batin yang dirawat oleh memori sejarah dan kebersamaan warganya. Dari jejak perjuangan kemerdekaan yang diabadikan dalam Monumen Serangan Umum 1 Maret, keberadaan Tugu Yogyakarta sebagai simbol persatuan kosmos, hingga pasar-pasar rakyat yang masih menjadi nadi ekonomi masyarakat, semuanya menyatu membentuk identitas kota.

Di tengah pusaran perubahan sosial, ekonomi, dan budaya, Yogyakarta tetap menjadi kota yang menegosiasikan masa lalu dan masa depan. Sebuah kota yang menawarkan pengalaman hidup yang khas: ramah, hangat, penuh kreativitas, sekaligus menyimpan dinamika kompleks antara tradisi dan modernitas. Bagi banyak orang, Yogyakarta bukan sekadar tempat tinggal atau tujuan wisata, melainkan “rumah batin” yang selalu dirindukan.