Biennale Jogja 18 tidak hanya menampilkan karya seni, tetapi juga menyoroti riset yang menjadi fondasi dari setiap karya. Melalui proses pengamatan dan keterlibatan langsung dengan masyarakat, tiga seniman partisipan — Jessica Soekidi, Agnes Hansella, dan Egga Jaya — mengeksplorasi keterhubungan antara lokalitas, material, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta.
Menenun Hubungan Tanah, Jerami, dan Keramik
Bermula dari kawasan Kasongan hingga Panggungharjo, Jessica Soekidi, seorang arsitek sekaligus seniman lintas medium, menelusuri bagaimana tanah, keramik, dan jerami saling berkaitan dalam kehidupan desa. Ia menemukan bahwa jerami, selain menjadi hasil sampingan pertanian, juga berperan penting dalam proses pembakaran keramik. Melalui riset ini, Jessica membaca pertukaran pengetahuan antara pertanian dan kerajinan, dari sawah hingga tungku pembakaran. Karya yang ia siapkan untuk Biennale Jogja 18 berwujud instalasi interaktif yang melibatkan warga setempat, menghadirkan tanah, sawah, dan ruang desa sebagai bagian dari proses penciptaan. Jerami tak hanya dilihat sebagai material alam biasa, melainkan dapat dimaknai sebagai simbol koneksi antara alam, kerja kolektif, dan budaya material masyarakat.

Membaca Ikatan Sosial Lewat Simpul dan Serat
Di Karang Kitri, Panggungharjo, Agnes Hansella melakukan riset berbasis komunitas dengan menggunakan makrame sebagai bahasa artistik. Ia mengeksplorasi relasi antara tali, mendong, tikar, kabel, dan besi sebagai metafora keterhubungan sosial. Bagi Agnes, simpul bukan hanya teknik, melainkan tanda ikatan antarindividu dan ruang hidup. Melalui proses kolaboratif dengan warga, ia menelusuri bagaimana praktik keseharian — dari menenun hingga menganyam — menjadi bentuk komunikasi dan kebersamaan. Karyanya akan hadir sebagai ruang partisipatif, di mana simpul-simpul makrame membentuk jalinan visual sekaligus simbol kebersamaan dan pertukaran pengalaman.

Menelusuri Gula dari Jejak Kolonial ke Ingatan Kolektif
Berlanjut di Kabupaten Bantul, riset Egga Jaya berfokus pada gula sebagai medium untuk membaca sejarah, ekonomi, dan budaya. Ia memandang gula bukan semata komoditas, tetapi penanda perjalanan kolonialisme, trauma sosial, dan budaya perayaan yang membentuk masyarakat hari ini. Melalui pendekatan caravan seni, Egga menghadirkan karya yang bergerak dari satu titik ke titik lain, menekankan mobilitas dan partisipasi warga. Caravan ini menjadi ruang pertukaran pengetahuan lokal dan refleksi historis, menjadikan seni sebagai alat untuk menafsir ulang jejak kolonial dalam konteks kekinian.

Menautkan Material, Ingatan, dan Komunitas
Riset ketiga seniman ini menyoroti bagaimana tanah, simpul, dan gula tidak hanya berfungsi sebagai bahan, tetapi juga penanda pengalaman kolektif yang membentuk identitas dan kebersamaan masyarakat Yogyakarta. Melalui riset yang berpijak pada lokalitas, mereka menghadirkan karya yang melampaui batas studio, membawa warisan, ruang hidup, dan pengetahuan warga menuju tafsir artistik baru di Biennale Jogja 18. Masing-masing desa mempunyai sejarah dan narasi spesifik yang bersilangan dengan ketertarikan dan praktik para seniman. Mulai dari jejak kolonialisme, pengetahuan menubuh, hingga praktik keseharian warga menjadi ruang jelajah riset yang kemudian diolah menjadi pengalaman seni bersama.