Oleh: In Nugroho Budisantoso
Ada 74.961 desa di 416 kabupaten di Indonesia seturut Keputusan Menteri Dalam Negeri 050-145/2022. Dari jumlah itu, 392 desa berada di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan disebut sebagai kalurahan.
Masing-masing desa itu memiliki sejarah. Pada sejarah itu kita bisa mencari jawab mengapa sejak tahun 1970-an pekarangan di desa-desa di Jawa menghilang, mengapa sejak tahun 1980-an banyak kaum muda meninggalkan desa dan malahan para tentara yang masuk desa, dan seterusnya, termasuk mengapa akhir-akhir ini beberapa di antara mereka menjuluki diri sebagai desa wisata.
Desa berubah. Pada perubahan itu kita bisa menyimak sekarang ini bahwa di desa ada semacam rasa kota, tiada kerbau lagi di sawah-sawah dan berganti dengan mesin disel, tiada lagi keramaian interaktif dolanan bocah di pelataran-pelataran, termasuk tiada lagi kerja sambatan yang berganti dengan kerja bayaran.
Desa menjadi baru. Pada kebaruan itu kita bisa mengenali bahwa kini di desa ada keseragaman-keseragaman tertentu yang mencolok di depan mata, ada internet yang semakin menghilangkan batas-batas desa, ada banyak kompleks hunian buatan dan café-café bahkan pabrik, termasuk ada banyak orang baru yang gabung tinggal di desa – tidak seperti dulu yang kiri kanan serba saudara dan kerabat dekat.
Desa telah menjelma jadi yang lain. Keunikan spasial-kultural desa yang dirawat melalui pewarisan pengetahuan komunitas lokal berangsur pudar. Hingga, kepurbaan mendadak hadir di desa sebab keterampilan memasak sayur lodeh yang enak tak sempat lagi diteruskan kepada generasi belia, sebab era modern tak mengenal jugangan di sudut halaman sebagai arena tradisional penguraian sampah organik, sebab tata ruang dan tata waktu tak lagi dalam kuasa warga secara otonom.
Kalau hal-hal itu sungguh terjadi, dan Anda mengamininya, apakah kita masih yakin bahwa desa memiliki estetika yang tumbuh dari dunia kebatinan masyarakat desa sendiri? Ataukah kita malahan lebih yakin bahwa estetika desa di era kesalingterhubungan global sebenarnya lebih bersumber dari kekuatan-kekuatan luar desa?
Dari penuturan kaum cerdik pandai, kita menyimak bahwa sejak hubungan antarmanusia di muka bumi terfasilitasi teknologi transportasi dan komunikasi secara intensif, lokalitas atau kesetempatan yang terkait erat dengan lokasi atau kawasan tertentu tidak pernah lagi berkarakter statis melainkan dinamis. Lokalitas yang dinamis itu lalu tampak sebagai kesatuan hidup organik sehari-hari dari komunitas yang mengalami perjumpaan budaya dengan resultan yang berbeda-beda seturut kondisi masing-masing.
Pada lokalitas tersebut bertumbuhlah konon kabarnya fenomena continuity and change secara serentak, yang jalin-menjalin dari waktu ke waktu, membentuk ekterioritas maupun interioritas komunitas, termasuk dalam berkesenian. Hingga, hal-hal yang sambung dengan estetika tak mungkin berbahan tunggal, tetapi ia terjadi karena kombinasi bersilangan aneka unsur, yang dilatari proses kreatif dengan pelaku kolektif. Kita sebut saja ia sebagai estetika bauran.
Berkenaan dengan itu, Denys Lombard dalam tiga jilid Nusa Jawa: Silang Budaya (2005) menunjukkan bahwa tradisi komunitas di kawasan Nusantara dalam perjalanan sejarah pembentukannya berada di bawah atmosfer tarik-ulur berbagai pengaruh, yang berasal dari budaya Barat, Islam, Tiongkok, maupun India. Menempatkan lokalitas berkesenian di kawasan yang disebut Nusantara menjadikannya semakin jelas bahwa “seni setempat” di seluruh penjuru Kepulauan Nusantara terbentuk dalam – ringkasnya – geo-kultural perjumpaan, sekurang-kurangnya, dua-benua dan dua-samodera.
Seni sebagai buah dari peristiwa silang budaya yang terhubung dengan pembentukan estetika komunitas, termasuk yang terkait desa, karenanya tidak pernah terjelma secara sekejab dan bersifat antah berantah. Sebagaimana peristiwa konsepsi makhluk hidup yang membutuhkan ruang, waktu, dan roh kehidupan yang terpelihara, ia adalah filial dari perjumpaan hal-hal dengan karakter berbeda (keterhubungan/connectivity) yang diteruskan dengan pembentukan senyawa unik di ekosistem tertentu (penggubahan/conception) hingga terlahir sebagai entitas dengan karakter khas yang kapabel untuk bergaul di dunia lebih luas (artikulasi/conversation).
Melalui rangkaian peristiwa keterhubungan, penggubahan, dan artikulasi/pergaulan, seni sebagai estetika bauran itu membentuk dirinya pada tataran yang dapat dicerna panca indra maupun akal budi serta pada tataran yang bersifat misteri. Ekspresi estetika lebih familiar didekati dengan kekuatan imajinasi daripada hitungan kalkulasi. Karenanya, seni tidak mungkin praktiknya dihafal dengan memori atau dijalankan hanya sekali. Ia menjadi ada karena menguatnya proses habituasi.
Rupa-rupanya ekspresi lokal di tengah perjumpaan antarmanusia dan antarkomunitas yang berlainan lokalitasnya dapat menghadirkan peristiwa mleset, lost in translation, bersama tetapi tak bersatu, berkontak sekaligus berjarak. Hal ini kiranya bukan hanya terjadi pada masa lalu, tetapi dapat terjadi pula pada masa kini. Bahkan di waktu sekarang peristiwanya kemungkinan besar berlangsung lebih sering oleh karena intensifnya komunikasi di bawah atmosfer internet (yang menghapus batas-batas), sementara setiap pribadi dan komunitas melekat di lokasinya sendiri-sendiri (dengan batas-batas).
Di era eropanisasi tanah-tanah jajahan, presentasi tradisi dengan eksterior tertentu yang berakar lokal tetapi sama sekali asing bagi orang-orang Eropa rupa-rupanya, seturut catatan Denys Lombard, menimbulkan prakarsa mengenai kunjungan wisata demi dialaminya apa yang disebut sebagai eksosistisme. Victor Segalen dalam Essay on Exoticism: An Aesthetics of Diversity (2002) memaknai eksosistime sebagai sesuatu yang berada di luar, tidak familiar, lain, dan asing yang memunculkan disrupsi kesadaran.
Kunjungan wisata di tanah serba-asing tersebut dipromosikan kepada publik Eropa sebagai paket perjalanan yang menyenangkan dengan fasilitas yang menarik. Terfasilitasinya gelombang pelancong melalui sistem kolonialisasi itu mendorong hadirnya fenomena perjumpaan mendadak (atau tidak natural). Peristiwa jalinan kontak tiba-tiba antara worldview maupun lifestyle orang-orang Eropa dengan artefak lokal tertentu ternyata memunculkan tindakan-tindakan konyol, aneh, dan norak dari para turis. Di situ, interioritas dari ekspresi kultural masyarakat lokal tak sepenuhnya dimengerti oleh para pengunjung dari negeri seberang itu. Sebab, mereka bukan bagian dari komunitas pencipta karya budaya lokal. Dalam arti tertentu, di situ kenorakan merupakan buah dari hakikat melawat tanpa sempat sungguh-sungguh menyeberang.
Di era internet yang diiringi hadirnya teknologi canggih sekarang ini peristiwa lawatan tanpa penyeberangan bisa jadi merupakan pengalaman kita sehari-hari. Peningkatan kecanggihan teknologi perubahannya super-cepat, sedangkan peningkatan kecanggihan berpikir dan bertindak manusia cenderung lberjalan lebih ambat. Hingga barangkali terjadi bahwa seseorang di tangannya tergenggam versi terbaru dari gadget tetapi pola pikir seseorang tersebut masih tersangkut di ranah analog. Itu terjadi karena sistem dan mekanisme digital membuka jalan baginya dan menuntun kakinya untuk bisa berkunjung ke mana saja tanpa barrier. Sementara, di area-area yang dimasuki itu dirinya belum menguasai bahasa pergaulan yang baru, dan yang terjadi adalah: dia lalu berada di atmosfer asing justru melalui gadget yang digenggamnya erat-erat.
Berkenaan dengan itu, personifikasi atas desa yang mengalami lawatan tanpa penyeberangan amat mudah terjadi di zaman serba terhubung sekarang ini. Di situ, aneka ekspresi fisik yang hadir di desa bisa jadi tidak singkron dengan suasana batin warganya. Sebab, kemajuan ingin diraih bukan secara otentik, tetapi lewat: identik dengan yang lain. Komunikasi lalu dimaknai semata sebagai ekspresi tekstual (tataran ayat), bukan ekspresi kontekstual (tataran hayat). Pada pengalaman ini, bisa jadi muncul ungkapan: “Desaku maju ning anyep.” “Desaku secara statistik oke, ning secara estetik mletre.” Di sini, upaya-upaya untuk menjadikan desa indah dapat menjebak. Sebab, keindahannya dapat bersumber dari rahim eksotisisme, yang justru memisahkan batin komunitas dari penampakan desanya.
Sejak industrialisasi menjadi primadona berbagai negara karena keputusan politik dan hasrat ekonomi, desa diposisikan sebagai supporting system-nya. Desa yang secara orisinal mempunyai susunan eko-sosial khas berikut ekspresi estetisnya di bawah industrialisasi di-program untuk berlaku sebagai bagian saja dari sistem yang dipandang lebih agung. Akibatnya, secara berangsur tetapi pasti terjadi pengabaian, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap unsur-unsur penopang susunan eko-sosial desa itu. Ibaratnya, desa pada kondisinya yang utuh dan khas berikut aneka sumber daya yang dimilikinya oleh apparatus sistem industrialisasi dicacah-cacah sedemikian rupa sehingga pecahan-pecahan atomistik dari keutuhan desa itu cocok untuk kelangsungan industrialisasi. Akibatnya, jiwa desa bercerai dengan raganya.
Dalam situasi sebagai atom itu desa berada dalam situasi untuk mengkonsumsi bagi dirinya hal-hal yang berasal dari dunia industrial, yang sesungguhnya bersifat fiktif atau tidak nyata berkenaan dengan hakikat asli dari desa. Padahal desa pada dirinya sendiri tersusun dari kebersamaan dan merupakan kebersamaan itu sendiri, yang dalam bahasa Inggris disebut the Commons, yang menurut Massimo De Angelis dalam Omnia Sunt Communia: On the Commons and the Transformation to Postcapitalism (2017) berarti: (1) gabungan sumber daya alam dan manusia, (2) sebuah komunitas orang-orang dengan aneka relasi timbal balik dan saling berbagi, serta (3) berbagai tindakan kerja bersama demi terus berlangsungnya komunitas.
Keberadaan desa adalah kebersamaan yang hidup dan pada kebersamaan hidup berkomunitas itu, dalam pandangan Alfred Gell di Art and Agency (1998), terkandung sistem tindakan bersosial dan buah karya seni di dalam komunitas tersebut sesungguhnya serupa manusia yang dikaruniai kekuatan untuk mempengaruhi dan dipengaruhi sehingga laksana makhluk relasional. Pierre Bourdieu dalam The Rules of Art (1996) sudah menegaskan bahwa karya seni merupakan representasi dari struktur sosial tak tampak yang membentuk pikiran dan tindakan manusia. Kebersamaan hidup yang tumbuh di antara manusia dapat dikatakan merupakan rahim dari mana karya seni dilahirkan.
Maka, seni tak mungkin tak berciri sosial, dan dari yang sosial dieksplisitkan sesuatu yang tacit, melalui karya seni. Di mana ada dua orang atau lebih berkumpul dan beraktivitas atas nama kebersamaan di situ ada seni. Saat di desa ada kebersamaan, seni adalah keseharian; saat seni tak berbekas lagi itu tandanya masyarakat desa telah hidup sendiri-sendiri.
Dalam bahasa Latin, kata communio berasal dari akar kata cum (bersama-sama) dan munus (pemberian/komitmen/benteng) hingga dapat dipahami artinya sebagai saling memberi diri yang mampu membentuk benteng kebersamaan. Kata communio ini perlu disandingkan dengan kata corruptio yang berasal dari akar kata cor (jantung/hati) dan ruptus (patah) – artinya: kondisi patah hati, hal yang menghancurkan, atau hal yang mematikan.
Dalam hubungan antara communio dan corruptio, di mana communio menguat di situ corruptio menghilang, dan di mana corruptio menjadi-jadi di situ communio sebentar lagi hanya tinggal dalam memori. Pada hubungan ini kiranya tergambarkan seperti apa daya seni di antara kita, termasuk relasi antara seni dan desa sebagai kebersamaan hidup.
Dengan mengambil locus spasial kawasan pedesaan di Yogyakarta sebagai arena berkesenian, Biennale Jogja 2023 menggelar realita sekaligus bercita-cita mengenai kebersamaan hidup desa masa kini dan estetika kontemporernya. Sebagai lanjutan dari penyelenggaraan Biennale Jogja sebelumnya, Biennale Jogja 2023 menukikkan pandang pada lokalitas desa di tengah arus silang budaya yang bernuansa volatile, uncertain, complex, dan ambiguous (VUCA). Di berbagai belahan dunia, desa sebagai institusi secara historis lebih tua dari negara. Namun, setting kota ternyata lebih menarik perhatian untuk dilakukan pengembangan industrial atas nama modernitas. Hingga, dekade demi dekade terindikasi bahwa desa rupa-rupanya kalah cantik dibandingkan kota, yang menyedot orang-orang untuk menjadi kaum urban, termasuk yang ditempuh oleh orang-orang desa itu sendiri. Hingga pula, citra modern melekat pada kota, sedangkan desa cenderung dipandang tradisional, atau dilihat sebagai setting kehidupan yang berada di luar gambaran mengenai kemajuan.
Citra modern kota berdiri di atas rule of the game industrialisasi yang menekankan prinsip efisiensi. Di bawah rule of the game ini, untuk mencapai profit yang maksimal, yang ditaklukkan bukan hanya waktu, hingga bukan hanya waktu 24 jam sehari dibagi ke dalam 3 shift waktu kerja, tetapi juga ruang, hingga lokasi kerja bisa ada di mana-mana. Kota lalu menjadi riuh, dan kurang waktu dan ruang untuk istirahat. Padahal waktu dan ruang luang adalah bagian dari kebudayaan. Terkikisnya waktu dan ruang luang di antara manusia menciptakan dunia mesin kerja yang berefek melelahkan jiwa dan raga. Maka tidak mengherankan bahwa akhir-akhir ini banyak orang kota yang mencari tempat tinggal di luar kota (countryside), yaitu kawasan pedesaan, supaya mereka terbebas dari crowdedness yang mencekik daya-daya jiwa dan menemukan ruang hidup yang lebih melegakan dan ada unsur rekreatifnya.
Selain itu, peristiwa pandemi Covid-19 sejak awal tahun 2020 ternyata menggoyang keyakinan berbagai kalangan tentang kota dan desa. Aneka bangunan institusional di kawasan perkotaan yang sambung dengan pengembangan industri harus berhenti beroperasi karena kerumunan massal yang dikondisikannya membahayakan jiwa. Banyak pabrik bangkrut dan para pekerjanya dipulangkan. Data statistik yang kemudian mengemuka adalah bahwa dunia pertanian dan kawasan pedesaan menjadi incaran kalangan yang ter-PHK itu untuk menjadi tempat bernaung. Desa lalu tampak menjadi “dewa penyelamat”. Namun, desa dan arena pertanian sudah tidak seperti dulu lagi. Banyak lahan pertanian yang sudah disewa oleh investor luar desa, hingga petani lokal menjadi buruh yang bekerja di tanahnya sendiri. Terlebih lagi, mereka yang kembali bekerja menjadi petani itu sudah lama tidak mengembangkan keterampilan bertani. Maka, kedatangan mereka di tanah-tanah pertanian sebenarnya menambah beban kawasan pedesaan.
Desa masa kini dengan demikian mempunyai wajahnya sendiri, yang berbeda dari wajah desa pada masa-masa sebelumnya. Dengan konteks kontemporer semacam ini, struktur sosial yang menopang kebersamaan hidup di desa tentu saja mengalami perubahan. Di ranah berkesenian dan budaya, dapat dibayangkan pula perubahannya hingga transformasi struktur sosial desa kontemporer melatarbelakangi interioritas dan eksterioritas berkesenian dengan konteks desa. Pada titik ini, apa yang disampaikan di depan sebagai estetika bauran kiranya terjadi di desa, dalam kondisinya yang bervariasi, oleh karena setiap desa mempunyai ekosistem persilangan budaya sendiri-sendiri yang khas.
Ekosistem desa di era waktu dan ruang yang terkompres dewasa ini sebagai efek dari pemanfaatan teknologi transportasi dan informasi (hingga relasi antarpihak tidak lagi berbatas lokasi dan jam) sudah barang tentu berada dalam posisi dinamis, terus saja mengalami perubahan, atau bersifat evolutif (bdk. David Harvey dalam The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of Cultural Change, 1991). Dengan demikian, mendefinisikan desa tanpa memperhatikan terjadinya perubahan terus-menerus pada desa tentu bisa menyesatkan. Terkait ini, estetika kontemporer yang sambung dengan ekosistem desa juga perlu memperhatikan konteks, sejarah, dan geografinya. Dalam hal ini, pada Translocal Geographies: Spaces, Places, Connections (2011) Katherine Brickell dan Ayona Datta memperkenalkan terminologi translocal geographies, yaitu cara pandang bahwa aneka ruang dan berbagai tempat perlu ditelaah melalui situasi khas mereka masing-masing maupun konektivitas mereka masing-masing dengan beragam lokal yang lain.
Estetika kontemporer dengan konteks, sejarah, dan geografi desa selalu terhubung dengan struktur sosial aktual dalam bentuk institusi desa (baik yang formal maupun informal) dan terhubung pula dengan keterlibatan pihak-pihak terkait yang berada di lapangan. Berkenaan dengan itu, skema hubungan antara hadirnya institusi desa secara tertentu dan aktivitas para pelaku lapangan di bawah ini kiranya dapat membantu upaya untuk mencermati secara kritis dinamika evolutif yang berlangsung di desa berikut aneka konstelasi yang dialaminya dan tampilan estetika yang muncul dari sana. Institusi desa memberikan informasi kepada para pelaku di lapangan, dan para pelaku ini kemudian memberikan tanggapan dalam bentuk aksi di tengah kebersamaan hidup dengan institusi desa. Aksi para pelaku di lapangan itu dapat mengafirmasi institusi desa, tetapi dapat juga mengkoreksinya. Skema ini dikembangkan dari hasil riset Geoffrey Hodgson mengenai perubahan institusi ekonomi dalam artikel dengan judul: “The Approach of Institutional Economics” (1998).
Dalam Biennale Jogja 2023 akan diperjumpakan pengalaman sejumlah komunitas desa dan para koleganya dalam menampilkan estetika kontemporernya, yang tidak hanya ber-setting Indonesia tetapi juga negara lain seperti Rumania dan Nepal. Persaudaraan antardesa seluas dunia dalam berkesenian pada zaman VUCA ini diyakini mendorong hadirnya energi kreatif baru (a new emerging creative energy) bagi komunitas seni dan masyarakat luas.