Bagaimana Jika Pameran Seni Berjalan Seiring Dengan Laku Budaya Padukuhan?
Dari Ibu-ibu PKK, bapak-bapak, muda-mudi, langkah Awal Asana Bina Seni 2025 bukan sekadar menghadirkan forum resmi, melainkan awal percakapan yang hangat. Seni hadir bukan sebagai tamu, melainkan bagian dari kebersamaan. Melalui proses yang panjang, seniman dan Kurator Asana Bina Seni 2025 menyatu dengan ritme Padukuhan Boro II. Tradisi warga memberi ruang dan seni menambahkan warna dalam dinamika yang terjalin antar para seniman Asana Bina Seni dan Warga Boro II.
Cerita Sri Cicik Handayani dalam Proses Risetnya di Padukuhan Boro II
Sri Cicik Handayani, seorang penari dan seniman Asana Bina Seni 2025 Garis Lebur, bertemu dengan ibu-ibu Padukuhan Boro II. Dalam pertemuan itu Cicik menceritakan tentang apa yang akan dilakukannya, Ia datang untuk berbagi tari, namun pulang dengan pengetahuan yang tak kalah berharga. Cicik lebih dulu mendengar, sebelum ia mulai mengajar. Pertemuan pertama bukan dimulai dari panggung, melainkan dari keseharian dapur. Ibu-ibu menunjukkan cara mengolah bahan lokal, menggunakan produk PKK, dan saling bercerita sebagai perempuan. Dari sana, pertemuan tumbuh menjadi lebih dari sekadar latihan seni.
Ketika Cicik mulai mengajarkan gerak tari, ibu-ibu menanggapinya dengan pertanyaan, tafsir, bahkan perbandingan dengan pengalaman mereka. Gerak tubuh dan pengalaman berpindah bolak-balik menciptakan bahasa bersama yang tak hanya lahir dari panggung, tapi juga dari keseharian. Cicik mendapati bahwa bagi ibu-ibu Boro II, berbagi pengalaman adalah cara menjaga pengetahuan tetap hidup, dan tari menjadi jalan untuk menautkan diri. Pertemuan ini menjadi jejak dari tradisi belajar bersama yang terus berlanjut. Dari dapur hingga ruang latihan, dari pertanyaan hingga tafsir, setiap perjumpaan menjadi jejak pertukaran yang terus bergerak.
Merekam Petuah Lewat Rewang
Apa jadinya jika dapur menjadi pusat pengetahuan dan tradisi sebuah desa? Di sisi lain, Barikly dalam risetnya sebagai seniman partisipan Asana Bina Seni 2025 Arsip mendapati bahwa dapur adalah pusat pertemuan pengetahuan, praktik sosial, dan spiritual. Di sanalah cerita berpindah, keputusan dibuat, dan tradisi diwariskan. Arsip yang hidup, terus berputar bersama keseharian perempuan. Di Padukuhan Boro II, ada tiga simbah yang dipercaya menjaga jalannya proses rewang (rewang adalah praktik/tradisi gotong royong dalam sebuah hajatan). Barikly menemukan bahwa rasa bumbu, porsi nasi, hingga lauk yang dibagi adalah tugas Bu Dalini, Pademo, dan Sukar. Keputusan yang tampak sederhana, namun menentukan harmoni sebuah hajatan.
Barikly mendapati bahwa sebuah senyuman bisa mengubah jarak menjadi kedekatan. Senyuman membukakan ruang Barikly dalam percakapan yang berlangsung, kepercayaan tumbuh, dan pengetahuan tak lagi disembunyikan, melainkan dibagi dalam suasana yang cair. Bagi Barikly Farah Fauziah, dapur di padukuhan Boro II bukan sekadar ruang domestik. Di sanalah pengetahuan dan tradisi hidup, dijaga lewat rewang dan gotong royong. Senyuman menjadi pintu yang membuka jarak, menumbuhkan kepercayaan, dan menghadirkan pengetahuan yang dibagi bersama.
Tentang Makanan yang Bernama “Growol”
Begitu juga dengan seniman yang hadir dari lini Agraria, Taufik Hidayat. Sebagai rangkaian proses pengkaryaan Asana Bina Seni 2025, Taufik Hidayat mendapati percakapan ibu-ibu Padukuhan Boro II yang menyebut nama “growol”. Growol muncul sebagai nama unik yang sederhana tapi sekaligus penuh misteri. Makanan ini dikatakan khas Kulon Progo, namun jejaknya ternyata melintasi banyak daerah dan sejarah yang panjang.
Growol kerap disebut sebagai “makanan paceklik” yang digunakan sebagai pengganti nasi ketika beras sulit dijangkau. Namun, Taufik mendapati bahwa menelusuri growol berarti menelusuri jejak kolonialisme, industri gula, hingga sistem pertanian yang pernah menggeser keseimbangan pangan warga. Dalam proses risetnya, Taufik menggarisbawahi bahwa pabrik gula, jalur kereta, dan kebijakan kolonial membuka jalan bagi komoditas tebu, namun menyempitkan lahan pangan warga. Dari sanalah singkong masuk, tumbuh subur di lahan kering, lalu diolah menjadi growol, sebuah makanan yang lahir dari keterdesakan sekaligus daya tahan. Hari ini, growol semakin jarang ditemui. Dibayangi citra “makanan orang tua” atau “pangan miskin”, padahal ia menyimpan nilai gizi, sejarah, dan politik yang panjang.
Apa yang Bisa Kita Kutip dari Langit Boro?
Tak hanya sampai di situ, Darryl, seniman terlibat Asana Bina Seni 2025, juga mendapati banyak pertukaran pengetahuan lewat proses risetnya di Boro bersama anak-anak setempat. Dalam risetnya, Darryl Haryanto menemukan bahwa layang-layang adalah suatu hal yang dekat dengan anak-anak. Dari sanalah bersama Daru, Ashar, Athalah, Fadil, dan Zaki (anak-anak di Padukuhan Boro II), saling berbagi pengetahuan, dan membuat layang-layang bersama. Sejatinya, pengetahuan bisa tumbuh dimana saja, termasuk dalam permainan. Quote Unquote “Langit Boro” membuka pengetahuan Darryl Haryanto tentang bagaimana ia meminjam pengetahuan yang tumbuh dari anak-anak Padukuhan Boro II. Dimana pengetahuan yang ia dapati ia praktikan sendiri untuk membuat layang-layang.
Melalui Quote Unquote “Langit Boro”, Darryl Haryanto bersama anak-anak Padukuhan Boro II mencoba membaca ruang hidup lewat proses sederhana: membuat layangan, berbagi pengetahuan, dan menikmati ritme sehari-hari. Tentang perjalanan, tawa, dan kebersamaan yang membuka kemungkinan lain.
