menu not selected

Merayakan Kawruh dalam Pembukaan Biennale Jogja 18

Seni, Warga, dan Pengetahuan yang Tumbuh di Desa

Pembukaan resmi Biennale Jogja 18 Babak II telah berlangsung pada hari Minggu, 5 Oktober 2025 di Kampoeng Mataraman, menandai dimulainya acara yang akan berlangsung hingga 20 November 2025. Mengambil istilah “Kawruh” dari Bahasa Jawa sebagai tema Biennale Jogja 18 tahun ini, Biennale Jogja berupaya menghadirkan gagasan yang kaya akan eksplorasi dan penelusuran mendalam. Tema ini menjadi pintu masuk untuk memahami berbagai bentuk pengetahuan dan pengalaman yang hidup di tengah masyarakat.

Jejak pemaknaan tersebut terlihat jelas dalam seremoni pembukaan, yang menyoroti relasi masyarakat dengan lingkungan sosialnya. Pada momen ini, seni rupa dihadirkan begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari, menghadirkan suasana yang cair dan penuh kebersamaan. Nuansa perayaan dan kegembiraan menyatu dalam satu ruang, sekaligus menembus batas stereotip tentang perhelatan seni rupa yang sering dianggap eksklusif di mata publik.

Dalam pelaksanaannya, seremoni pembukaan berperan sebagai titik awal yang menentukan arah dan semangat penyelenggaraan Biennale Jogja 18. Penyelenggaraannya tidak semata-mata sebagai ajang seremonial, melainkan juga sebagai ruang perjumpaan antara para peserta terlibat; seniman, panitia, masyarakat, dan para pengunjung publik. Dengan menjadikan desa sebagai ruang utama penyelenggaraan, antusiasme warga setempat menjadi penanda penting: sejauh mana Biennale Jogja benar-benar hadir dan berakar di tengah masyarakatnya.

Dengan menjadikan desa sebagai lokasi utama pameran, partisipasi dan antusiasme masyarakat setempat menjadi indikator penting keberhasilannya. Pertanyaannya kemudian, apakah penyelenggaraan Biennale Jogja 17 benar-benar telah menjangkau dan beresonansi dengan kehidupan warga di sekitarnya?

 

Ruang Publik sebagai Panggung Kolaborasi dengan Warga 

Pembukaan Biennale Jogja 17 digelar sebanyak dua kali, dengan acara pertama berlangsung di Kampoeng Mataraman, Panggungharjo, pada 5 Oktober 2025. Menariknya, pembukaan Biennale Jogja 17 dirancang dengan format yang dekat dengan kehidupan masyarakat, sehingga siapa pun yang hadir dapat merasa terlibat dan memiliki keterhubungan dengan perayaan tersebut.  Bagaimana acara ini disusun dengan pendekatan yang akrab dengan masyarakat, membuat siapa pun yang datang dapat merasa terlibat langsung dalam suasana perayaan. Susunan penampilnya pun dirancang dengan apik, menghadirkan beragam pelaku seni dari latar budaya yang berbeda. Keanekaragaman pertunjukan yang tersaji malam itu berpadu secara dinamis, menjadikan ruang publik ini sebagai ruang pertemuan yang merayakan keberagaman ekspresi seni dalam wujud yang hidup dan inklusif.

Pembukaan Biennale Jogja 18 di Amphitheatre Taman Budaya Yogyakarta (Dok. YBY)

Suasana pembukaan Biennale Jogja 17 ini menghadirkan nuansa yang memberikan kesan hangat, akrab, dan penuh kegembiraan. Panggung dihiasi dengan dekorasi meriah, namun tetap sederhana, tanpa kesan glamor seperti konser-konser besar pada umumnya. Dentuman suara musik terdengar menggelegar, tetapi tetap bersahabat di telinga, menciptakan atmosfer yang hidup tanpa kehilangan keintimannya.

Penampil pertama diisi dengan penampilan jathilan dari Panggung Perwira yang cukup menyita perhatian warga. Setelahnya, dilanjutkan dengan makan malam bersama, kemudian dibuka dengan sambutan-sambutan. Setelah itu, panggung kembali dibuat semarak dengan penampilan Tari Kudho Prawesti dari Sanggar Pramesti. Tak hanya itu, penampilan musik oleh Rani Jambak sebagai salah satu seniman terlibat Biennale Jogja 18 juga tak kalah memanjakan telinga para audiens. Rani, dengan karyanya yang memadukan tradisi dan modernitas, memperkenalkan musik etnik Minang ke kancah internasional. Alunan musik yang dibawakannya ini berhasil memukau siapa saja yang mendengarkannya. Setelah itu, pembukaan di Kampoeng Mataraman ini ditutup dengan pertunjukan Lakon “Janur Anjartaka” oleh Wayang Purwa Adat. Malam yang hangat dan melebur bersama warga. Obrolan-obrolan khusyuk maupun canda tawa tercipta di malam itu. 

Biennale, sebagai sebuah perayaan seni rupa kontemporer ini tidak terbatas pada satu lapisan masyarakat, melainkan menjadi ruang pertemuan bagi semua kalangan. Siapa saja, dari mana saja, dan bagaimana tiap-tiap individu tersebut memaknainya dari persepsi masing-masing. Mulai dari seorang anak bersama ayahnya, seorang cucu bersama neneknya, segerombolan teman dari lingkup sekolah maupun universitas, dan berbagai macam pengunjung publik yang datang dari latar belakang berbeda. Semuanya larut dalam suasana, menyimak paparan kurator, dan ikut menyemarakkan pertunjukan yang berlangsung dengan penuh semangat.

Seremoni pembukaan kedua dihelat di Gedung Amphitheatre Taman Budaya Yogyakarta, pada 6 Oktober 2025. Pelaksanaan pembukaan ini dibuka dengan penampilan wayang beber yang ciamik oleh Aldy Pratama M.Sn., seorang dalang muda lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Pembawaan cerita yang dibuat dengan sedemikian rupa ini memberikan respon berupa gelitik tawa bagi para audiens yang menyimaknya. Tanpa mengurangi keceriaan di malam itu, riuhnya malam di Gedung Amphitheatre TBY ini dilanjutkan dengan penampilan aktivasi seniman Posak Jodian bersama Duo Kuchicha. Malam yang meriah, nyanyi-nyanyian yang semarak, tari-tarian yang membawakan senyum dan sumringah, dilengkapi dengan santapan malam yang menghangatkan perut.

Suasana Pembukaan Biennale Jogja 18 Babak II (Dok. YBY)

 

Mengilhami “Kawruh” sebagai Upaya Menyelami Pengetahuan

Dari dua pelaksanaan seremoni pembukaan yang telah berlangsung, tampak bagaimana “Kawruh” mengilhami maknanya  di tengah-tengah masyarakat, hidup dan tumbuh di sana. Tema ini tidak disampaikan dengan cara yang lantang atau mencolok, melainkan hadir secara perlahan dan menyusup dalam keseharian warga. Pendekatan ini membuat peristiwa seni dapat diterima tanpa menciptakan jarak yang terlalu lebar antara penyelenggara dan masyarakat itu sendiri. 

Pembukaan Biennale Jogja 18 ini lantas selaras dengan gagasan tentang “pertukaran pengetahuan”, yang berupaya membuka kesadaran bahwa seni tidak hanya hidup di galeri atau ruang eksklusif, tetapi tumbuh bersama kehidupan sehari-hari. Perluasan gagasan ini menjadi semangat untuk membangun ruang interaksi antara warga dan seni, menjadikan kesenian sebagai bagian dari aktivitas sosial yang terbuka dan tentunya bersifat inklusif. Di sinilah “Kawruh” menemukan maknanya—sebagai jembatan pengetahuan dan relasi yang menumbuhkan kedekatan antara masyarakat, seni, dan konteks sosial di sekitar.

Biennale Jogja berupaya menciptakan dialog ulang-alik dari masyarakat ke sebuah wacana global, sekaligus dari menyoroti keberadaan isu yang lebih luas dalam lingkup masyarakat desa. Seni ditampilkan sebagai peristiwa, bukan sekedar objek yang terbatas pada taraf keindahan tertentu. Apakah kemeriahan ini menjadi sebuah peristiwa yang mampu meleburkan interaksi dari berbagai pihak dalam menyambut ruang-ruang yang kini menjadi wadah bagi mereka untuk berkarya dan tampil di ranah publik?

Pada akhirnya, rangkaian acara pembukaan ini dapat dipahami sebagai wujud representasi lokal sekaligus hasil dari kolaborasi antara para pelaku seni di setiap lokasinya. Melalui peristiwa ini, Biennale Jogja 18 seolah menempatkan wacana dan kehidupan sehari-hari dalam satu ruang yang setara dan saling berkelindan.

Tidakkah hal itu menunjukkan bagaimana seni dapat tumbuh dari keseharian itu sendiri?

Media terkait