Bagaimana Memaknai Karya Seni dalam Keseharian Hidup dan Dinamika Warga?
Menyelami kesenian masa kini juga berarti merasakan sekaligus menelusuri berbagai peristiwa artistik yang tumbuh dari inisiatif warga. Dikelola secara bersama-sama dengan para pelaku kreatif setempat, lokal, hingga luar daerah, peristiwa kesenian dari warga adalah salah satu spektrum dari luasnya perkembangan seni kontemporer tanah air hari ini.
Maka, pantulan semangat dan inisiatif kesenian warga, khususnya di desa, menjadi penting dalam penciptaan karya seni yang ingin berjalan seiring dengan laku budaya dalam keseharian warga, ketika pandangan artistik warga bertemu dengan eksperimen-eksperimen ruang serta medium yang merespons situasi dan kondisi di lingkungan terdekat. Begitu pula dengan para seniman terlibat dalam Biennale Jogja 18 tahun ini. Mari menilik sekilas bagaimana Nathalie Muchamad, Kukuh Ramadhan, dan Perupa Kulonprogo sebagai memaknai karya seni dalam laku kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar.
Buah yang Menyimpan Jejak Kolonial
Nathalie Muchamad, seorang seniman yang lahir di Kaledonia Baru, sebuah pulau Perancis di Pasifik, menelusuri sejarah sukun dalam penciptaan karyanya di Biennale Jogja 18. Lewat proses risetnya yang dilakukan dalam beberapa waktu terakhir, terpantiklah sebuah pertanyaan, “mengapa buah lokal ini dinamai “Sukun” oleh penjajah dan diubah jadi “Roti Suci” untuk para budak?” Lewat proyek “Secuil Rasa Kekaisaran”, Nathalie membongkar bagaimana kolonialisme mengubah makanan, film, dan ingatan menjadi alat kekuasaan. Dalam penciptaan karyanya, ia berusaha membuka ruang guna mendiskusikan dan mempertanyakan ulang apa yang kita makan, tonton, dan warisi.

Bagaimana jika kisah itu dibaca ulang lalu ditafsirkan dalam sebuah karya? Melalui residensinya di Biennale Jogja 18 Nathalie Muchamad menghadirkan “buah kolonial” yang merujuk pada buah sukun. Bukan sekadar buah pangan, melainkan arsip yang menyimpan lapisan ingatan, dari politik penamaan, kolonialisme, hingga tafsir Nathalie dalam karyanya.
Apa jadinya ketika sukun itu berbicara melalui karya Nathalie Muchamad dalam konteks masa kini, dalam situasi trans-nasional laku budaya masyarakat? Sejak kecil, Nathalie dekat dengan buah sukun. Ketika ia pindah ke dekat Samudera Hindia, ia sadar bahwa para penduduk di sana juga mengonsumsi buah ini. Dan saat itu, ia bertanya bagaimana buah ini bisa sampai ke Pulau Karibia.
Dari poin tersebut, hal yang kemudian menjadi menarik baginya dari kuratorial Biennale Jogja 18 adalah tema besar Trans Lokalitas. Seperti dalam penggarapannya, Nathalie banyak berbicara tentang memori dan perpindahan. Bagaimana memaknai sebuah populasi diusir dari daerah asalnya, tetapi tradisi makan dan beberapa tradisi, tetap dibawa oleh mereka dari daerah asalnya. Mereka mencoba untuk mewariskannya pada generasi selanjutnya, bahkan ketika beberapa warisan hilang dan beberapa telah diperbarui.
Satu tahun terakhir, ia telah meriset tentang buah sukun ini, breadfruit. Bagaimana ia memetakan lokasi. Saat meriset, Nathalie menyadari bahwa buah di Indonesia merupakan buah lokal dan sudah ada sejak lama. Ia menyadari bahwa tidak banyak cara untuk memasaknya. Ia tertarik untuk berbagi bertukar resep, bertukar pengetahuan tentang buah sukun ini, lewat program-program publik yang ditawarkan dalam serangkaian kegiatan Biennale Jogja 18 tahun ini.
Bagaimana Kukuh Ramadhan Memaknai KAWRUH?
Melalui proses residensinya di Biennale Jogja 18, Kukuh Ramadhan menjelaskan pemaknaan Kawruh lewat proses kreatif dan gagasan karya yang telah dibuatnya dari pergulatannya dengan ruang, tanah, dan cahaya. Dalam karyanya yang berjudul “Tanah Cahaya”, Kukuh menghidupi karyanya lewat material alam yang bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Baginya, hal yang menarik secara sadar menggunakan tubuhnya untuk merekam ruang, yang ada di daerah Bangunjiwo.

Dalam hal pemaknaan Biennale Jogja 18, ia lebih memaknai Kawruh sebagai kesadaran yang timbul dari apa yang ia alami selama berada di ruang. Dalam proses risetnya, Kukuh memaknainya sebagai proses yang berjalan secara alami. Banyak beberapa tempat yang ia kunjungi dan memiliki latar belakang yang sama dengan yang pernah ia lakukan di Sulawesi, daerah asalnya.
Dalam proses pembuatan karyanya, topik yang akan diangkatnya lebih ke konteks waktu yang muncul dari medium cahaya matahari. Secara bentuk, karya ini akan terkait erat dengan cahaya yang jatuh di atas permukaan tanah, lalu tanah itu akan dijadikan medium untuk merekam. Di sini, tanah diproyeksikan sebagai daya rekam.
Perupa Kulonprogo dalam Proses Karyanya bersama Warga Boro
Manusia, ruang, dan sejarah memainkan peranan penting dalam membersamai karya yang dibuat oleh Perupa Kulonprogo. Melalui karya “Mangan Ora Mangan Kumpul”, tim Perupa Kulonprogo menggunakan media sabut dan tempurung kelapa sebagai salah satu komoditas utama di Padukuhan Boro II menjadi karya seni hasil kolaborasi dengan warga setempat. Di sini, ruang berperan sebagai saksi, dari tanah, persawahan, dan manusia berperan untuk menganyamnya. Membawa ingatan masa lalu, mencipta, dan menanam nilai kebebasan dalam setiap gerak dan pertemuan.

Kolaborasi ini melahirkan karya yang merekam cerita dan pengalaman bersama. Karya tersebut bukan hanya tentang Boro II, tetapi juga tentang bagaimana praktik lokal dapat terhubung dengan konteks yang lebih luas. Proses ini menjadi bagian dari perjalanan Biennale Jogja 18 dalam mempertemukan berbagai gagasan dan membangun hubungan antara seniman, warga, dan publik yang lebih besar.
Lantas, bisakah seni menjadi bahasa yang menyatukan seniman dan warga?
Karya-karya seni kontemporer dalam konteks dusun bukanlah bentuk pergulatan artistik seniman semata, melainkan berasal dari percakapan yang panjang dengan warga setempat. Bagaimana proses yang merangkul semua komunitas? Kerja sama setiap warga, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Setiap komunitas diajak terlibat, dalam percakapan ide, dan tindakan yang menjadikan karya seni sebagai bagian dari kehidupan bersama.
Ruang-ruang desa, seperti jalanan kampung, pos ronda, sawah, kebun hingga halaman rumah, menjelma menjadi ruang pamer yang hidup. Dimana karya seni kontemporer lahir dan bertemu dengan kehidupan sehari-hari warga. Melalui seni, percakapan antar warga dan seniman menemukan bahasanya. Setiap karya adalah jembatan untuk saling mendengar, memahami dan berbagi pengalaman.
Karya menjadi warisan ingatan kolektif, tumbuh menjadi bagian dari warga. Seniman berbagi ide dan pengalaman artistik, sementara warga menghadirkan pengetahuan yang mereka miliki dari praktik sehari-hari. Pertemuan ini menjadi ruang untuk saling memahami dan menemukan cara baru dalam berkarya.
