Yogyakarta, 24 September 2025 – Manajemen Talenta Nasional (MTN) Seni Budaya kembali menghadirkan program MTN Lab: Residensi untuk bidang seni rupa, sebuah inisiatif yang menjadi bagian dari fase pengembangan talenta dalam skema MTN Seni Budaya. Kali ini, MTN Lab: Residensi diselenggarakan di Yogyakarta dengan menggandeng Yayasan Biennale Yogyakarta sebagai mitra penyelenggara. Program berlangsung intensif selama dua pekan, mulai 24 September hingga 7 Oktober 2025, dengan melibatkan 20 seniman dan enam kurator dari berbagai daerah di Indonesia.
MTN Seni Budaya sebagai program prioritas nasional yang dikelola Kementerian Kebudayaan dirancang untuk membina talenta muda seni budaya Indonesia secara terstruktur, berkelanjutan, serta menghubungkan mereka dengan peluang pengembangan kapasitas dan akses pasar baik di tingkat nasional maupun global.
Direktur Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan dan Pembinaan Kebudayaan (PPPK) Kementerian Kebudayaan, Ahmad Mahendra menyampaikan bahwa program ini diharapkan menjadi jembatan penting dalam mencetak talenta seni budaya yang berdaya saing global.
“MTN Lab: Residensi Yogyakarta tidak hanya berfokus pada penciptaan karya seni rupa, tetapi juga pada penguatan kapasitas berpikir kritis, kesadaran kontekstual, serta jejaring profesional. Melalui program ini, kami ingin memastikan bahwa talenta muda Indonesia mampu mengembangkan potensi mereka dengan berakar pada pengetahuanlokal, sekaligus relevan dengan dinamika global,” tutur Ahmad Mahendra dalam kesempatan terpisah. Aktivitas selama residensi akan merentang sedari kelas gabungan dan terpisah, kunjungan studio, hingga produksi pameran bersama.
Rangkaian MTN Lab: Residensi Yogyakarta 2025 dibuka dengan kuliah umum dari IHwa Eva Lin, salah satu kurator “Biennale Jogja 18: Kawruh” asal Taiwan yang mengajak para peserta dan publik umum untuk memikirkan ulang pentingnya pengetahuan lokal sebagai praktik dari merebut kembali narasi. Selain itu, ia mengingatkan posisi seniman dan kurator dalam skema produksi wacana maupun artistik, sebagaimana Lin menjelaskan, “Seringkali ketika kita berbicara tentang merebut kembali narasi, fokusnya adalah pada ‘narasi siapa yang perlu kita rebut kembali,’ tetapi jarang kita bertanya ‘kapan’ narasi itu terjadi… Dimensi temporal ini sangatlah penting, karena hal ini memungkinkan kita untuk terlibat dan benar-benar merasakan bentuk-bentuk pengetahuan yang jarang dicatat dalam tulisan, melainkan bertahan sebagai praktik-praktik yang ada—muncul, terungkap, dan berubah seiring waktu.”
Selain Lin, para pemateri kelas terdiri dari para profesional yang kompeten di bidangnya masing-masing, baik soal konseptual maupun praktikal. Misalnya, Alia Swastika yang akan memaparkan mengenai pengetahuan lokal sebagai materialitas dan pertautannya dengan lanskap global, Ugoran Prasad mengenai pemikiran dekolonial, Farah Wardani mengenai tarik ulur pasar dan wacana, Agung Hujatnikajennong mengenai infrastruktur seni dan spektrum relasi yang meliputi, Wok The Rock mengenai irisan praktik seniman dan kurator dengan keproduseran, dan beberapa pemateri lainnya.
Di sisi lain, kunjungan studio akan memberikan pengalaman langsung para peserta bertemu dengan seniman, kolektif, dan galeri seni di Yogyakarta yang telah memiliki posisi dan jejaring internasional, seperti Mella Jaarsma, FX Harsono, Rully Shabara, Ruang MES 56, Srisasanti Syndicate, dan masih banyak lagi. Menjelang akhir residensi, para peserta akan dikelompokkan untuk saling berbagi cerapan selama kelas dan kunjungan studio, serta fokus ketertarikan dan praktik masing-masing melalui produksi pameran bersama. Pameran ini nantinya akan digelar di Ning Art Space dan Sangkasa Gallery, Bantul serta menjadi bagian dari “Biennale Jogja 18: Kawruh”.
***