Tentang

KAWRUH

KAWRUH: Tanah Lelaku

Berakar dari Bahasa Jawa yang berarti pengetahuan sebagai akumulasi pengalaman yang dicerna secara kritis oleh akal budi, KAWRUH dalam lingkup Biennale Jogja ke-18 dimaknai sebagai sekumpulan keragaman praktik artistik yang berjangkar pada sikap dan upaya menyelami seluk beluk pengetahuan tersebut. Pengetahuan yang kemudian dipahami sebagai laku menubuh serta kesadaran yang berakar pada kearifan lokal dimanifestasikan dalam kerangka-kerangka artistik yang hidup selaras bersama alam dan masyarakat sekitar.

KAWRUH: Tanah Lelaku diproyeksikan sebagai cerminan sekaligus riak-riak nilai yang berpendar dalam lini masa perkembangan pengetahuan serta tradisi kolektif warga. Melalui judul ini, Biennale Jogja 18 2025 terus mengembangkan ruang-ruang kolaboratif dan partisipatif dengan warga untuk bisa merefleksikan sejarah lokal, merebut tafsir mitologi dan narasi leluhur, serta melihat lebih dekat dampak perubahan lanskap dan tanah terhadap kehidupan hari ini.

TLTH

Trans-Lokalitas & Trans-Historisitas

Melalui dua kata kunci ini, Biennale Jogja Equator Putaran Kedua berupaya untuk melanjutkan cita-cita bersama untuk menjadi bagian dari penulisan ulang sejarah seni dunia dan berkontribusi pada proyek dekolonisasi seni, terutama yang berfokus pada mempertanyakan Kembali definisi dan kerangka geopolitik dunia. Pada Biennale Jogja Equator Putaran Pertama; gagasan tentang geopolitik dan internasionalisme baru dengan jelas merujuk pada sebuah wilayah fisik dalam peta (23 derajat LU dan 23 derajat LS), dan sukses mendapatkan perhatian dari berbagai pihak terkait kritisisme yang ditawarkan dan interpretasinya atas peta dunia seni baru. Bekerja sama dengan India, Arab, Nigeria, Brazil, Asia Tenggara dan Pasifik, Biennale Jogja berhasil mempertemukan narasi-narasi sejarah yang tersembunyi, serta melihat kembali jaringan internasionalisme global selatan yang didasarkan pada banyak kesamaan lanskap, iklim, kebudayaan, spiritualitas dan dampak-dampak sejarah kolonialisme. Untuk pertama kalinya, Biennale Internasional secara khusus memberi platform pada gagasan-gagasan di luar seni rupa Barat, dan mempertemukan para pelaku seni dari Kawasan-kawasan yang selama ini tidak begitu terhubung dalam internasionalisme seni.

Gagasan global selatan dan Khatulistiwa yang menjadi titik pijak pada BJ Equator Pertama kemudian ingin dikembangkan menjadi spirit yang lebih luas, di mana BJE berupaya untuk menjalin relasi dengan negara-negara di Kawasan lain yang memiliki sejarah atau konteks yang beririsan, dalam rangka mempertanyakan relasi kuasa antara Utara- Selatan, Dunia Pertama – Dunia Ketiga, Asia/Afrika/Amerika Selatan dan Eropa/Amerika, dan sebagainya. Pada Putaran Kedua, BJE ingin membuka peluang bekerja sama dengan Kawasan lain di dunia, untuk melihat bagaimana sejarah masa lalu mempunyai spirit dekolonisasi dan keinginan untuk membongkar pola kekuasaan dari negara-negara adidaya sehingga semua negara atau semua konteks kebudayaan mempunyai posisi yang lebih berdaulat. Kami mencoba membangun khatulistiwa menjadi sebuah imajinasi kolektif bagi komunitas seni dan kebudayaan sehingga dunia seni menjadi sebuah wilayah yang lebih setara, lebih menghormati hak-hak kelompok yang terpinggir, memunculkan Kembali kebajikan dan pengetahuan lokal, serta hal-hal lain yang selama ini dipatahkan oleh dominasi kelompok-kelompok yang kuat. Kami percaya bahwa hal-hal yang berkaitan dengan politik lokasi perlu digarisbawahi untuk dapat membuka ketimpangan relasi kuasa dan melakukan eksperimen yang memungkinkan dekonstruksi relasi tersebut bisa membawa kita pada gagasan atau pengalaman kesetaraan.

Gagasan tentang translocal dan trans-historical dimunculkan untuk memberi ruang bagi sejarah yang lain dengan spirit yang sama, meskipun berada dalam Kawasan di luar global selatan. Pengalaman selama menjalankan BJE Putaran Pertama menunjukkan bagaimana pentingnya merawat kepercayaan dan pengetahuan lokal, keterampilan yang didasarkan pada filsafat tentang alam dan kehidupan, serta kedaulatan masyarakat adat. Dalam Kawasan Global Selatan, di mana masyarakat masih hidup dalam semangat komunal dan spiritualitas yang merepresentasikan kedekatan dengan alam, ada banyak sekali prinsip kehidupan yang berharga untuk menjadi pengetahuan. BJE melalui konsep translocal berupaya menghubungkan pengetahuan di satu lokalitas dengan lokalitas lain, sistem seni dan kebudayaan yang berbasis pada situasi-situasi adat spesifik, serta artikulasi pengetahuan yang lebih berakar pada bahasa-bahasa lokal. Kami membayangkan dapat mengumpulkan seniman, komunitas, ilmuwan adat dari berbagai tempat di dunia untuk menjadi platform pertemuan atau pertukaran pengalaman melalui kerja seni budaya, baik dari masyarakat aborigin, kelompok Indian di amerika, masyarakat adat di Kanada, terutama mengumpulkan seniman dan komunitas seni Nusantara dari berbagai wilayah yang kaya dan beragam, dan beberapa lainnya.

Sementara gagasan transhistorical menunjuk pada alur sejarah yang menjadi inspirasi bagi Gerakan sipil semacam Biennale Jogja untuk memberi kontribusi pada perubahan konstelasi kekuasaan dalam dunia seni. BJE Putaran pertama terinspirasi oleh Gerakan Asia Afrika (KAA) yang kemudian diterjemahkan menjadi Semangat Bandung (Bandung Spirit) di mana kami melihat bahwa Indonesia telah berhasil menginisiasi pertemuan negara-negara yang baru merdeka di Kawasan Asia- Afrika, dan gagasan ini menjadi warisan pemikiran yang sangat berharga yang bahkan gemanya sampai hingga Kawasan-kawasan di Eropa atau Amerika. Setelah KAA sendiri, Gerakan meluas hingga terbentuk Gerakan Non Blok, di mana salah satunya Presiden Yugoslavia pada saat itu, Joseph Broz Tito menjadi bagian dari inisiatif Eropa untuk membentuk aliansi yang tidak berpihak pada dua kekuasaan saat itu (Amerika dan Rusia). Kami melihat bahwa linimasa sejarah menjadi pijakan penting untuk melanjutkan spirit dekolonisasi yang kami perjuangkan, dan bagaimana kami melanjutkan kerja-kerja di masa lalu untuk bisa menjadi bagian dari spekulasi masa depan.

Kami berpikir untuk membangun jejaring dengan beragam imajinasi tentang Timur, termasuk Eropa Timur, Asia Timur, Afrika Timur, dan Kawasan lainnya, sehingga kita bisa membongkar oposisi biner di antara Barat dan Timur itu sendiri, yang selama ini telah menjadi ruang pemisahan bagi warga di dunia. Melalui upaya mempertemukan berbagai imajinasi tentang Timur, kami ingin melihat bagaimana berbagai Kawasan di dunia bisa bertemu dalam spirit dekolonisasi dan berupaya untuk mencari jalan bersama menuju kesetaraan dan kesamaan akses. Selama ini gagasan Kawasan dan pembatasan geopolitik telah menyebabkan ruang pertemuan menjadi semakin terbatas dan terkotak-kotak.

Metode Kuratorial

Putaran baru Biennale Jogja membawa tema trans-lokalitas dan trans-sejarah untuk memperluas geografi pascakolonial dan politik lokasi di Global Selatan yang sudah dimulai sejak seri Khatulistiwa. Putaran pertama menekankan pada upaya menimbang ulang dan membayangkan kembali persilangan ideologi dan budaya antara dunia (pasca)sosialis dan pascakolonial yang sering disebut pinggiran. Menelusuri trayektori dekolonial dari posisi ini, bagaimanapun, bukan tugas yang mudah karena ada beragam proses lokal, trans-regional, transnasional, dan global yang perlu dipertimbangkan. Transisi dari negara-bangsa merdeka menjadi demokrasi liberal dan neoliberalisme membentuk gerak ke arah Barat, baik melalui tubuh dan pikiran kita. Objektifikasi yang terus berlanjut tentang dunia telah berubah menjadi bentuk baru yang menonjolkan eksploitasi alam dan tenaga kerja, di mana nilai-nilai non-kapitalis diabaikan, infrastruktur sosial, kebersamaan dan saling berbagi mulai terpecah, dan iklim menjadi sesuatu yang tak bisa diprediksi. Dengan menimbang ruang yang memiliki situasi sejarah yang berbeda, pengalaman dengan masa kolonial, perbedaan geografi, dan kerangka kerja yang berbeda, historiografi tentang de-kolonialisme yang ditulis oleh penutur Anglophone belum sepenuhnya mencakup pengalaman dekolonial, sehingga membutuhkan pendekatan kolektif yang beragam dan berkelanjutan, untuk membangun leksikon kesalingterkaitan yang melampaui konstruksi geografis.

Berpikir melalui Titen adalah bagian dari usaha untuk membawa semangat dekolonisasi dalam produksi pengetahuan sebagai cara untuk melestarikan cara pandang dari kelompok lokal dan masyarakat yang telah menubuh, sekaligus merangkul mereka. Meminjam dari bahasa Jawa, Titen atau Niteni ditafsir sebagai sebuah kemampuan atau sensitivitas untuk membaca tanda-tanda alam. Titen biasanya berkaitan dengan fenomena alam, misalnya sebelum terjadinya bencana, atau menentukan tindakan dalam menghadapi perubahan siklus alam. Titen terbentuk berdasarkan pola pengamatan yang berulang yang kemudian menjadi paradigma untuk menafsir fenomena alam, sebuah narasi yang secara khusus hidup dalam kepercayaan lokal. Hal ini menjadi kontras dengan pandangan “ilmiah” yang melihat pemikiran kelompok adat sebagai yang anakronis, sehingga yang ilmiah ini sering menjadi sistem yang tidak menghormati interdependensi ekologis, mengkategorikan gunung dan laut menjadi unit administrasi, dan membatasi warga dalam entitas biner.

Dengan proposisi trans-lokalitas dan trans-historisitas, kita dapat menciptakan ruang temu untuk praktik dekolonial dan pengetahuan tempatan yang muncul untuk melindungi, menjaga, merawat, dan membuka ruang untuk cara hidup baru yang melampaui paradigma eropa-sentris. Memindahkan lokasi persilangan ini ke wilayah semi-pinggiran di Yogyakarta adalah dengan melakukan dialog dan pertukaran timbal balik jangka panjang untuk melanjutkan pijakan bersama yang memungkinkan persilangan sejarah yang plural dan partikular, serta mengakui konteks khusus dari lokalitas yang berbeda terkait dengan bahasa, kebiasaan setempat, dan sistem produksi. Sembari memahami desa sebagai kawasan dinamis yang tak dapat didefinisikan, identitas yang dibagi dan praktik yang beragam, desa juga menjadi ruang yang memungkinkan kita memposisikan ulang diri kita dalam hubungannya dengan tanah dan ekologi lokal, mulai dari musim panen dan cuaca, juga solidaritas dan kebersamaan dalam kehidupan komunal. Tindakan ini menuntut kita untuk menyepakati sikap saling menjaga sebagai upaya memperjuangkan hidup melalui pendekatan kolaboratif dan beragam dalam aktivisme kultural yang menyatukan berbagai pemangku kepentingan: seniman, aktivis, petani, perawat, arsitek, desainer, kolektif, kepala desa, dan pamong desa.

Biennale Jogja edisi ini juga menjadi eksperimen untuk memeriksa dan memahami pengalaman inferioritas, kecemasan, pertanyaan tentang identitas dan legitimasi yang telah dibangun dan dibentuk oleh sistem seni yang dominan dan eksklusif. Seni tidak dapat dilembagakan semata-mata dengan validasi profesional. Seni adalah praktik hidup. Seni tidak berhenti pada persoalan estetika saja, tetapi berlanjut dalam bentuk mengklaim ulang, merebut merayakan kekeluargaan, dan menjaga alam di mana manusia serta bukan manusia sama-sama berjuang untuk hidup. Dalam menjalankan itu, Biennale juga menawarkan satu arah baru yang tidak tamak, yang dibentuk melalui oposisi sensorial pada dunia yang memaksa kita terpecah, di mana beristirahat menjadi bentuk resistansi–yang memerlukan waktu untuk bisa sembuh-untuk berhadapan dengan kelelahan tak berkesudahan yang dialami oleh tanah dan tubuh kita.

asana

Prananing Boro

Dipantik oleh pengetahuan perihal realitas keseharian di Padukuhan Boro II, sebuah desa yang terletak di Kapanewon Galur, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Prāṇaning Boro dipilih sebagai tema Asana Bina Seni 2025. Kata Prāṇaning yang memiliki arti “angin” atau “napas”, diambil dari Bahasa Kawi (Jawa Kuno). Prāṇaning Boro merepresentasikan ke-sementara-an atau ke-singkat-an kehadiran yang sekilas melintas seperti kencangnya angin pesisir yang menyapu tingginya pepohonan kelapa di Padukuhan Boro II. Kendati singkat, angin selalu datang berulang dan berbaur dengan nafas warga Boro. Begitu pula proses para Seniman beserta Penulis/Kurator Asana Bina Seni 2025 bersama warga Boro, kehadirannya yang hanya sesaat sekaligus menyatu-leburkan pengetahuan dari berbagai bidang pengetahuan dengan realitas keseharian warga Boro, menjadi rangkaian helaan nafas panjang.

Kosa kata Prāṇaning dari Bahasa Kawi yang tidak lagi akrab digunakan juga menjadi representasi permulaan pertemuan pengetahuan yang asing. Namun alih-alih menjadi sepenuhnya asing, peserta Asana Bina Seni 2025 berangkat dari ketiadaan yang kreatif, sehingga diri-peserta secara sadar memahami, memproses, dan mengartikulasikan properti-pengetahuan realitas keseharian warga, untuk memperkaya gagasan penciptaan karya yang sebelumnya telah dibentuk. Pada akhirnya kata Prāṇaning menggambarkan bagaimana pengetahuan yang ada di Padukuhan Boro II (dan sekitarnya) telah merasuk ke dalam, dan menjadi napas dari diri para peserta Asana, selama proses membangun perjumpaan, tinggal, dan berdialog bersama para warga.

Sebagai pengetahuan yang tak pernah usai, Prāṇaning Boro membawa perhelatan Asana Bina Seni 2025 sebagai awalan untuk memiliki dan berbagi angin atau napas yang sama, antara para Seniman dan Penulis/Kurator serta warga Boro II, untuk kedepannya dapat atau setidaknya telah menjadi satu-kesatuan pengetahuan. Dan sebagaimana gerak angin menerpa rimbun rumpun pepohonan di Boro, pengetahuan tersebut diharapkan akan dapat memantul ulang kembali ke arah warga, melalui karya yang dipresentasikan oleh 9 Seniman Muda; Anisyah Padmanila Sari, Barikly Farah Fauziah, Darryl Haryanto, Dionisius Caraka, I Kadek Adi Gunawan, Mailani Sumelang, Sri Cicik Handayani, dan Taufik Hidayat.

Meski berangkat dari lokus yang sama, yaitu Padukuhan Boro II yang membersamai KAWRUH: Tanah Lelaku pada Babak I perhelatan Biennale Jogja, Fioretti Vera, Gata Mahardika, dan Laboratorium Sedusun, membawa pengetahuan sebagai bagian dari Prāṇaning Boro di Panggungharjo pada Babak II Biennale Jogja. Masing-masing Seniman beserta Kurator, meniti jalan yang berbeda-beda. Maka itu, karya-karya yang ada, bila didistorsi sedemikian rupa dapat dipetakan menjadi beberapa subtema: (1) Ekologi, (2) Garis Lebur (3) Arsip dan Sejarah.

Ekologi

Kehidupan sehari-sehari di pedesaan, bila dilihat dari perspektif orang luar, mungkin akan tampak begitu sederhana. Karena aktivitas warga hanya berputar-putar pada ruang-ruang seperti: sawah, tempat ibadah dan rumah. Akan tetapi, bila ditelisik lebih dalam, terdapat sebuah kerumitan. Seperti ditunjukkan oleh Dionisius Caraka melalui karya Nyang-Nyangan, yang berupa plang penanda properti diisi dengan berbagai informasi terkait lahan dan tanah Boro, mencoba melakukan sebuah upaya negosiasi dengan menghadirkan persoalan agraria dalam bentuk simbol visual sehari-hari. Plang, yang biasanya hanya menyatakan kepemilikan atau transaksi jual-beli, kini menjadi ruang wacana yang mengangkat posisi petani dalam urusan negara, memperlihatkan ketergantungan mereka pada tengkulak, menelusuri rantai distribusi hasil panen, sekaligus membuka kemungkinan perhitungan untung rugi maupun ancaman alih fungsi lahan. Melalui cara ini, Dionisius Caraka menyingkap relasi kuasa yang tersembunyi di balik papan sederhana itu, sekaligus menunjukkan bagaimana angka-angka yang semula dimaksudkan untuk memperjelas dan memastikan sesuatu hal, justru menjelma menjadi alat distorsi. Angka kehilangan fungsinya sebagai penjelas, dan berubah menjadi instrumen yang mengaburkan kenyataan, menyingkirkan dimensi sosial, ekologi, bahkan spiritual, demi kepentingan tunggal: keuntungan.

Memudarnya kesadaran ekologis memang merupakan persoalan yang cukup krusial baik itu di perkotaan maupun di wilayah pedesaan. Terlebih bila mayoritas warga mengandalkan air sebagai sumber penghidupan seperti untuk mengairi persawahan, misal. Karena tanpa adanya pasokan air bersih, tanaman yang ditanam di sawah tidak dapat tumbuh dengan optimal. Dan aliran air pun perlu dijaga bukan semata-mata karena ia menguntungkan manusia, tapi karena ia akan bergerak menuju hilir: ke laut. Membiarkan aliran sungai tercemar sama saja membiarkan bumi yang didominasi oleh laut ini porak-poranda secara ekologi. Melalui karya Wayang Kebon: Cekakak Terakhir, Anisyah Padma merespons isu ekologis tersebut, dengan menyuarakan sesuatu yang sangat dekat namun sering terabaikan menggunakan media wayang berbentuk burung Cekakak yang terbuat dari material yang berasal dari alam seperti serabut kelapa sebagai penanda akan berlangsungnya ekosistem sungai dan daerah pesisir.

Di Antara Ekologi dan Garis Lebur

Semakin lajunya kecepatan sendiri tidak dapat dilepaskan dari semakin masifnya pembangunan infrastruktur mobilitas, yang tidak hanya memantik terjadinya perubahan, tetapi juga perpindahan. Dengan berbekal harapan, individu pergi meninggalkan kampung halaman, dan seringkali disertai janji-janji akan kembali ketika harapan tersebut telah terpenuhi. Tetapi kenyataan lebih sering berkata lain, harapan dan janji seringkali dipatahkan oleh lingkungan dan rumah. Melalui karya Rumah ke Rumah yang menghadirkan rumah, tubuh, sastra lisan bersama Meneroka Indonesia; tali dan layang-layang I Kadek Adi Gunawan mencoba mengajak kita untuk merefleksikan isu lingkungan yang ada di sekitar rumah-rumah tak berpenghuni nan diselimuti sunyi. Rumah ke Rumah membangun konteks “pergi-pulang” antara lingkungan, diri, dan rumah untuk hadir saling menyilang, memahami, dan menyelaraskan kehidupan.

Garis Lebur

Ketika perpindahan terjadi, tentu tidak berhenti di persoalan lokasi atau ruang semata. Ia mengisyaratkan pertemuan individu-individu yang berlatar belakang berbeda. Di sana terjadi interaksi, terkadang berupa perselisihan, tetapi sering pula berupa pertukaran pengetahuan. Sebagaimana Sri Cicik Handayani coba tunjukkan dalam Papangghiyân, yaitu karya yang berupaya mencipta sebuah ruang untuk merayakan perjumpaan yang sederhana dan dibangun melalui serangkaian dialog di titik temu selama proses penciptaan karya. Di mana nampan kemudian digunakan sebagai media sekaligus simbol pertemuan antara Cicik dengan ibu-ibu sebagai tokoh utama dalam ruang privat. Nampan dalam karya ini merupakan salah satu dari pertemuan-pertemuan besar lain yang pernah terjadi dalam sejarah Boro dan sekitarnya.

Namun, pertemuan tak selalu mengharuskan semua pihak untuk mengeluarkan kata-kata, tetap diperlukan pendengar, karena mendengarkan pun sama pentingnya dengan berbicara. Dan terkadang, karena terlalu sibuk berbicara, kita menjadi lupa bahwa apa yang dikomunikasikan melalui kata-kata pun seringkali bukanlah apa yang sebenarnya dimaksud dan kita lupa untuk mendengarkan serta memperhitungkan bunyi-bunyi seperti tawa, gumam, desah, helaan napas yang dihasilkan oleh gerak tubuh lawan bicara kita. Berangkat dari pengalaman mendengarkan yang dilakukan secara lebih intens, bunyi-bunyi yang muncul ketika melakukan pertemuan dan percakapan bersama Ibu-ibu di Dusun Sawit, Panggungharjo. Fioretti Vera dalam Spektralieri, mencoba menggugat bagaimana cara-cara konvensional dalam memahami arsip, sejarah, dan tubuh perempuan; sebagai gantinya ia mencoba mengembalikan habitus mendengar yang tanpa sadar seringkali terjajah atas narasi dominan, dengan menghadirkan kembali ruang dengar yang utuh, di mana tubuh bukan semata alat rekam, dan bunyi bukan sekadar kebisingan maupun derau yang tak berarti, melainkan sumber memori dan pengetahuan yang hidup.

Akan tetapi, karena kecepatan dan pembangunan yang mengutamakan keuntungan, mendengarkan pun kini memang terasa begitu sulit. Sesuatu lebih sering mendekat tanpa adanya aba-aba atau persetujuan, upaya mendengarkan, dan apalagi pembicaraan seperti kota yang semakin merangsek paksa ke daerah pedesaan. Yang merupakan akibat dari sentralisasi aktivitas ekonomi di kota, yang justru kini membuatnya tampak lebih mirip pabrik raksasa, dan menjadikan daerah pedesaan menjadi seperti komplek perumahan tidak terencana untuk kelas pekerja. Desa yang bertransformasi menjadi kota penunjang. Melihat itu, Gata Mahardika dalam Griya Fantasi, mencoba menyoroti absurditas logika pembangunan sekaligus memprovokasi refleksi kritis melalui serangkaian dialog juga diskusi dengan audiens pada saat pameran berlangsung.

Kombinasi antara persebaran individu, masifnya pembangunan dan semakin lajunya kecepatan, telah menghasilkan produk berupa “ke-tidak-pemilik-an”. Meski sesuatu itu dekat dan sehari-hari, tapi asing, bukan milik kita sendiri.  Sebab, sesuatu itu diberikan secara paksa dan dimediasikan sedemikian rupa, alih-alih merekah sendiri secara imediasi dari dalam dan atas kehendak diri kita. Melalui karya Quote Unquote, sebuah intervensi performativitas semantik atas material sehari-hari di Boro dan sekitarnya melalui tanda kutip yang berupa instalasi berpindah, video art dan arsip performans layang-layang, Darryl Haryanto mencoba melerai konflik antara bahasa indonesia dan kenyataan sehari-hari. Dengan cara menguraikan mediasi makna yang dilakukan oleh Bahasa Indonesia, yang bermuara pada pengaburan dan penyetrapan makna-makna keseharian agar tidak bertumbuh secara liar di luar peradaban makna resmi nasional. Karya ini beroperasi sebagai repertoar rapuh, yaitu proses (moda dan kerja) kelangsungan (liveness) dan keserentakan (concurrentness) dengan garis-garis batas kesementaraan yang kabur. Singkatnya, sebuah pertunjukan tak kasat mata.

Arsip dan Sejarah

Ketika membicarakan persoalan ekologis kita tidak dapat begitu saja melepaskannya dari kehidupan perempuan. Pasalnya, tubuh perempuan banyak menyimpan pengetahuan lokal, seperti praktik rewang. Dan bila ekologi mengalami kerusakan atau perubahan yang cukup signifikan, maka pengetahuan lokal yang menubuh pada diri perempuan seperti perihal bumbu-bumbu yang diperlukan untuk memasak makanan perlahan-lahan akan menghilang. Kiwari, perubahan-perubahan terjadi dengan begitu cepat, bahkan saking cepatnya mungkin kita tidak akan menyadari begitu sesuatu menghilang dari hadapan mata kita, untuk itu dengan menggunakan medium jarik, cyanotype, foto dan video, Barikly Farah dalam Wewarah Pawon Simbah mencoba melakukan upaya pengarsipan sekaligus penghormatan kepada perempuan yang menjadi pusat pengetahuan lokal yang kian dilupakan. Pada format lain, Laboratorium Sedusun menghimpun, merangkai dan menghadirkan kembali pengetahuan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam bentuk buku resep masakan rumahan. Resep masakan tidak sekadar catatan tentang rempah atau bumbu, namun berisikan pengalaman dan ingatan kolektif menahun.

Perubahan-perubahan kerap kali terjadi bukan atas keinginan kita sendiri, lebih sering perubahan itu disodorkan melalui paksaan, oleh entitas yang lebih berkuasa dan ini dapat dilihat pada karya Tutuwuhan, yaitu sebuah instalasi yang bermaterialkan keramik. Melalui serangkaian peristiwa sejarah yang merentang dari masa kolonial hingga saat orde baru berkuasa dalam karya ini Taufik Hidayat menawarkan berbagai hipotesis perihal sebab-sebab timbul-tenggelamnya salah satu makanan paceklik sekaligus khas Kulon Progo yaitu Growol. Seperti kapitalisme swasta pabrik gula yang mengkanonisasi tanaman tebu dan menyarankan penanaman ketela kayu kepada warga telah berpotensi kembali untuk timbulnya Growol sebagai makanan pokok; sedang rezim orde baru melalui kanonisasi tanaman padi yang mengenyampingkan varietas tanaman lain seperti singkong telah berpotensi menenggelamkan growol sebagai makanan pokok untuk kemudian digantikan oleh nasi.  Dan karena karya ini lebih cenderung memberikan hipotesis alih-alih kebenaran tunggal, maka dialog perihal growol, warisan-warisan yang silih-ganti ditinggalkan, dan isu-isu yang melapisinya pun dimungkinkan untuk terjadi.

Penelusuran serangkaian peristiwa sejarah juga dilakukan oleh Mailani Sumelang, tetapi berbeda dengan Taufik yang berfokus pada objek fisik seperti makanan Growol, ia lebih berfokus pada sejarah yang bersumber di sekitar Padukuhan Boro yang terolah sebagai arsip. Arsip hadir pula dalam tubuh, menyimpan mana yang boleh dan yang tidak, mana yang ter-represi dan terekspresi. Bagaimana otot dan jaringan tubuh, yang kerap tidak disadari, berlaku sebagai pencatat riwayat dan gudang memori yang hidup. Karya ini berfokus menyadari dan merekam ingatan tubuh akan peristiwa pasca-kemerdekaan sebagai upaya mengorganisir ingatan berdasarkan empati sesama manusia, bukanya berdasar narasi dominan yang berusaha menggantikan memori ketubuhan. Dapat dilihat pada instalasi hand-cutting kupu-kupu dalam Ngramut yang memantul ke segala arah, termasuk kepada aku-kita. Ngramut mengajak kita membuka ruang sensorial sebagai tubuh yang merekam suka cita, dan sejarah yang hadir dalam sarasehan yang menjadi milik masyarakat sebagai ruang aman yang memantik perdamaian.

ketjilbergerak

ketjilbergerak adalah sebuah kelompok terbuka dan lintas disiplin yang diinisiasi oleh Greg Andi Sindana dan Invani Lela Herliana sejak 2006. Pada mulanya, kelompok ini awalnya menggunakan medium zine untuk menyampaikan pesan. Namun karena zine dirasa bersifat satu arah, mereka kemudian bertransformasi secara bentuk dan metode untuk memungkinkan pertemuan dua atau lebih arah yang kontekstual dan relevan. ketjilbergerak berevolusi secara organik menjadi komunitas pemuda yang berfokus pada pendidikan kontekstual dan seni partisipatif. Sejak 2016, ketjilbergerak mengajak para pemuda desa untuk belajar bersama secara dialogis dan dialektis, mengenali dan membaca konteks lingkungan sekitar mereka, memperkuat posisi tawar dengan membentuk jaringan, juga mendorong produksi pengetahuan dengan metode ‘ngelmu iku kelakone kanthi laku’ (menimba ilmu harus diamalkan hingga jadi perilaku). Pada tahun 2017 ketjilbergerak memenangkan penghargaan “Gerakan Komunitas Terbaik Indonesia” dari Kompasiana.

Bob Edrian

Bob Edrian Adalah seorang kurator independen yang fokus pada perkembangan seni bunyi dan seni media, dia menerima Curatorial Research Grant 2016 yang didanai oleh Selasar Sunaryo Art Space dan Sidharta Aboejono Martoredjo (SAM) Fund for Arts and Ecology. Selain itu, ia terpilih sebagai peserta dalam Para Site Workshops for Emerging Art Professionals 2018 di Hong Kong dan CULTIVATE: Professional Development for Curators and Art Managers yang diselenggarakan oleh in-tangible institute di Bangkok (2024). Karya terbarunya telah dipublikasikan dalam The Bloomsbury Handbook of Sound Art (2020), yang diterbitkan oleh Bloomsbury Publishing, London. Ia juga diakui sebagai salah satu ‘thinkers’ dalam daftar 40 Under 40 Asia Pacific versi Apollo Magazine pada tahun 2022.

IHwa Eva Lin

IHwa Eva Lin adalah seorang kurator independen yang dikenal melalui proyek-proyek kuratorial di luar situs di tempat-tempat yang tidak konvensional seperti pabrik kertas yang terbengkalai, bunker militer, kuil, tambang bersejarah, komunitas adat di pegunungan, serta bekerja secara erat dengan komunitas lokal dan orang-orang dari berbagai bidang untuk terlibat dalam eksperimen yang membentuk praktik interdisipliner-nya. Minat Lin mendorongnya untuk berpikir alternatif dan merespons produksi budaya dalam berbagai bentuk, dengan tujuan untuk memperluas agensi dan kekuatan seni. Proyek-proyek kuratorial terbarunya mencakup Sleepless in Stone (2024 Taipower Art Festival), From Nowhere to Now Here (2023 Romantic Route 3 Art Festival), You and I Live on Different Planets (Centre Pompidou-Metz, 2022, co-kurator bersama Bruno Latour dan Martin Guinard-Terrin), kurator program publik Taipei Biennial 2020-2021, Matsu Biennial 2022 – Underground Matters, dan lain-lain. Saat ini, ia menjabat sebagai art director di mt.project.

PENYELENGGARA

Produser
Taman Budaya Yogyakarta

Pelaksana
Yayasan Biennale Yogyakarta

Pelindung
Sri Sultan HB X

Penasehat
Dewan Yayasan Biennale Yogyakarta
Board of Yayasan Biennale Yogyakarta
Nasir Tamara
Nindityo Adipurnomo
Eko Prawoto
Ahmad Noor Arief
Kus Indarto
Handiwirman Saputra
Pius Sigit Kuncoro
Stanislaus Yangni

Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta
Alia Swastika

Konsultan Kurator
Nataša Petrešin-Bachelez

Kurator
Adelina Luft
Eka Putra Nggalu
Sheelasha Rajbhandari
Hit Man Gurung

Peneliti Kuratorial
Shohifur Ridho’í
Mega Nur

Asisten Peneliti
Aliffia Marsha Nadhira
Hanan Syahrazad

Asisten Kurator
Putri R.A.E. Harbie

Direktur Artistik
Gegerboyo
Prihatmoko Moki
Enka Komariah
Vendy Methodos
Anjali Nayenggita

 

KESEKRETARIATAN

Sekretaris
Suryati Tri Wulansari
Monica Kristihani

Staf Keuangan
Septyan Kristiani

Magang Sekretariat
Tawakal Muhammad R
Ilham
Hariny Puspadewi Sekarlatih

Koordinator Magang dan Sukarelawan
Tarisya Amalia

Koordinator Merchandise
Sena

Koordinator Hospitality
Audrey Samantha

Staf Hospitality
Vivian Dewi
Martha Indriana

Magang Hospitality
Alya Fadhilah
Chasna Fattya
Scessilla Dhea Muchifah

 

PROGRAM

Koordinator Biennale Forum
Mega Nur

Koordinator Residensi, Arsip & Tangga Teparo
Putri R.A.E. Harbie

Koordinator Produksi Program Publik
Aditya Hibah

Staf Program Publik
Beri Hanna

Magang Program Publik
Andika Reyhan
Dewi Sahara
Langit Gemintang Muhammad Hartono
Regita Andianti Prameswari

Manajer Panggung Pembukaan & Penutupan
Darumas Kirana

Koordinator Pembukaan & Penutupan
Darumas Kirana

Koordinator Program Aktivasi
Shohifur Ridho’i

Koordinator Pameran Anak
Karen Hardini

 

PRODUKSI

Manajer Produksi Ruang
Anggito Jatmiko

Asisten Manajer Produksi
Theodora Elgavasi Putrijati

Staf Produksi Pameran
Ronang Kennylas Dofi

Staf Pameran
Tarisya Amalia

Manajer Area
Febri Anugerah (Bangunjiwo)
Bangkit Salahudin (Panggungharjo)

Hubungan Media Internasional
Ardhias Nauvaly

Koordinator Mural
Sekar Atika

Anggota Koordinator Mural
Shodik
Kristiyanto
Daffa Dzaki
Dhani Rangga

Leison Officer Seniman Residensi
Redyadivka Ariarafa
Gisela Kirana Dita
Dionisius Caraka
Muhammad Farhan
Biancha Arianggi
Naja Izzah Kurniawan
Rangga Mahesa Putra
Vita Tanjung
Bening Gupita Esti
Afifah Puspitaliza
Venansia
Ilen Atine Gusti
Ikrar Ridho Perdana

 

KOMUNIKASI & MEDIA

Koordinator Komunikasi Public
Juwita Wardah

Staf Komunikasi Publik
Ripase Nostanta Br. Purba

Koordinator Media Relasi
Syeean I Paricha

Staf Media Relasi
Dinar Nur Zaky Achmad

Magang Staf Media
Musafida Rani
Dinar Nur Zaky Achmad
Muhammad Abdul Aziz

Perancang Situs Web
Gani Ardianto

 

EDITORIAL

Redaktur Pelaksana
Hartmantyo Pradigto Utomo

Koordinator Editorial
Hartmantyo Pradigto Utomo
Putri R. A. E. Harbie

Penyelia Aksara
Eunike Permatasari
Laras Anisa Bulkhis

Magang Arsip
Lucia Yerinta Destishinta
Sasisevio Aning Nugraha

Magang Penulis
Lestari

 

STRATEGI VISUAL

Koordinator Desainer Grafis
Riyan Kresnandi

Staf Desainer Grafis
Happy Rolitasari

Magang Desainer Grafis
Cecillia Diani Lelyta M.
M Ramadhan Tegar Aji Wibowo
Dwi Wahyudi

Desain Leaflet & Buku Panduan
Angga Khoirurrozi
Bodhi IA
Happy  Rolitasari

Desain Katalog
Riyan Kresnandi

 

DOKUMENTASI

Koordinator Dokumentasi Foto
Swandi Ranadila

Koordinator Dokumentasi Video
Muhammad Azzumar

Magang Dokumentasi
Chalivya A. Rarafifi
Muhammad Nurjati

 

PEMANDU PAMERAN

Koordinator Pemandu Pameran
Tarisya Amalia

Pemandu Pameran
Adam Dhiya’ulhaq
Ade Puspa Fitria
Alyaa Anoora Ananditta
Amanda Deafani
Ambarfani
Anna
Avril Ailsa Suha Maharani
Beniguus
Chiara Adelia Maria Dewanti
Cicik
Frenly Astira
Ica
Irvan Maulana
Judo Karundeng
Khairun Nisa Anjani
Moch Farhan Fathul
Muhammad Azriel Zamzami
Najma Ramadhanya
Natasya Yudha S
Nur Khoiri Aati
Pradipa Arya Setya
Rasya Putri Maranto
Riski
Siska
Valida Achsani
Wuhan
Yulita

 

MITRA

Program Residensi
Rumah Gagas (Agam, Sumatera Barat)
Juanga Culture (Yogyakarta / Tidore)
Komunitas KAHE (Maumere)
MT Project (Taitung, Taiwan)
Lembâna Artgroecosystem (Madura)
Forum Sudut Pandang (Palu)
Institut Mosintuwu (Poso)
LOHJINAWI (Bangunjiwo, Bantul)

Program Biennale Forum
Sanggar Inovasi Desa

Program Bioskop
BIOSCIL (Bioskop Cilik)
Festival Film Purbalingga
KDM Cinema
Sinema Keliling