Biennale Jogja telah usai dengan Ekuator Putaran I dan memulai Putaran II pada helatan pameran tahun 2023. Setelah satu dekade Biennale Jogja berupaya membawakan dekolonisasi sebagai pijakan dalam berkesenian, perlu merefleksikan juga bagaimana posisi Biennale dalam ekosistem kesenian hari ini dalam konteksnya sebagai sebuah organisasi. Pada Selasa (19/03) dan Sabtu (30/03), Yayasan Biennale Yogyakarta mengadakan forum diskusi bersama para anggota Board dan perwakilan akademisi di bidang seni dan organisasi seni lainnya di Yogyakarta. Para tamu diskusi yang hadir diantaranya: Wimo Ambala Bayang (Ruang MES56), Dito Yuwono (Cemeti Art House), Mira (Cemeti Art House), Sita Sari (IVAA), Pius Sigit (Pegiat seni), Yustina Neni (Salah satu pendiri YBY), Nasir Tamara (Anggota Dewan Pembina YBY), Noor Arief (Anggota Dewan Pembina YBY), Dr. Rr. Paramitha Dyah Fitriasari, S.Ant., M.Hum. (Kepala Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM), Nano Warsono (Dosen Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta), dan Alia Swastika (Direktur YBY).
Diskusi dibuka oleh Alia Swastika dengan menjelaskan tujuan serta topik-topik utama pembahasan forum. Tujuan diadakannya FGD ini supaya Yayasan Biennale Yogyakarta mampu mendengar tentang situasi kesenian hari ini secara langsung dari pihak-pihak yang sama-sama berjibaku dalam ekosistem yang sama. Kemudian, memikirkan bersama langkah-langkah apa yang mampu diambil YBY untuk merespon situasi hari ini, khususnya di Yogyakarta. Topik pembuka yakni penjabaran visi misi yang selama ini diusahakan oleh yayasan. Topik kedua membahas tantangan-tantangan yang dihadapi. Topik ketiga ialah langkah-langkah resolutif serta preventif yang dapat diambil.
Dalam menerangkan visi misi yang ditawarkan YBY, Alia Swastika mengatakan bahwa YBY terus mengupayakan pemikiran-pemikiran baru untuk keluar dari tempurung eurosentrisme dalam dunia seni. Upaya tersebut dirawat melalui proses pendidikan alternatif yang merangkul para seniman, penulis, dan peneliti muda untuk berlatih bersama. Kemudian, menerbitkan tulisan-tulisan dalam bentuk buku serta simposium untuk menuliskan kembali sejarah baru seni rupa Indonesia. Demi meretas relasi kuasa juga, YBY berupaya membangun jejaring para akademisi, pemikir, dan teoritisi dari global selatan serta mengundang mereka dalam program Simposium Khatulistiwa.
Selanjutnya, membahas tantangan yang dihadapi Yayasan. Pius Sigit mencoba memetakan salah satu tantangan, yaitu bagaimana beradaptasi dengan proses kreatif generasi muda. Tantangan lain yang coba diterawang oleh Nasir Tamara ialah persoalan teknologi, di mana saat ini ada Artificial Intelligence yang membuat proses artistik serbat cepat. Sementara, Yustina Neni menyampaikan tantangan dari beban berlapis bagi pemimpin yayasan sehingga penting untuk merawat sifat kepekaan dari semua pemangku jabatan.
Menanggapi persoalan yang disampaikan Yustina Neni, Alia Swastika mengusulkan adanya pemisahan tugas yang dibagi dalam dua posisi jabatan. Misalnya, ada subjek yang menjadi Ketua Pengurus sebagai pengelola urusan teknis dan administrasi dalam organisasi. Kemudian, ada sejenis direktur artistik yang mampu mengurus wacana.
Komposisi peserta FGD yang terdiri dari berbagai generasi membuat diskusi juga semakin kaya. Menanggapi berbagai persoalan di atas, tak lupa Dito Yuwono berbicara mengenai pentingnya melibatkan generasi muda dalam forum-forum seperti ini. Sita Sari juga memiliki pandangan serupa bahwa penting untuk memerhatikan generasi muda yang saat ini bekerja untuk organisasi seni, apakah mereka merasakan beban tertentu dan bagaimana bisa membimbing mereka.
Diskusi pada hari itu baru memetakan persoalan-persoalan yang sedang dan berpeluang dihadapi YBY di masa mendatang. Maka, diskusi dilanjutkan pada Sabtu, 30 Maret 2024. Para hadirin yang diundang antara lain, Robertus In Nugroho (akademisi dan peneliti sosial budaya), Sita Sari (Direktur IVAA), Gintani N.A. Swastika (Ace House Collective), Doni Maulistya (Padepokan Seni Bagong Kussudiardja), Wimo Ambala Bayang (Ruang MES56).
Diskusi berkembang topiknya untuk membicarakan apa yang menjadi distingsi Biennale Jogja. Robertus In Nugroho menekankan perlunya menggarisbawahi soal ekosistem. Menurutnya, di antara masyarakat, ekosistem seni, dan lanskap Jogja, Biennale menawarkan distingsi apa? Singkatnya, apa yang membuat masyarakat merasa ada yang kurang jika tidak ada Biennale dalam ekosistem seni.
Diskusi pun tak hanya berkisar pada hubungan dengan eksternal atau publik. Akan tetapi, banyak pula membahas persoalan manajerial. Sita Sari membahas pentingnya memetakan kelompok yang mengelola sumber daya (baik finansial maupun manusia) dan bagaimana pengelolaannya.
Membahas urusan pengelolaan, Doni Maulistya mengangkat sebuah tawaran mengenai sistem. Apakah sistem good governance seperti sebuah perusahaan atau organik. Sita Sari pun merespon bahwa sulit untuk langsung menerapkan good governance dengan konteks sosial masyarakat Yogya yang memiliki kolektivisme kuat dan relasi yang organik. Maka, tidak bisa benar benar memisahkan dan memilih salah satu dari dua sistem di atas. Tapi, perlu ada porsinya. Contoh, ketika mengelola keuangan, perlu sistem good governance.
Pada akhirnya, diskusi menemukan beberapa kesimpulan yakni perlunya bagi YBY untuk memetakan karakteristik seni Yogyakarta, posisi yayasan dalam ekosistem seni, dan menentukan budaya organisasi.