MANTRA
Pameran daring melalui platform www.biennalejogja.org/asanabinaseni
Tema-tema yang dimunculkan oleh seniman dalam pameran ini merupakan sebuah tawaran untuk melihat ulang bagaimana seniman muda melihat situasi terkini berkait dengan pandemi dan tata kehidupan baru. Pada prosesnya, beberapa seniman melihat bagaimana gagasan tentang lokalitas menjadi isu penting yang muncul dalam paruh akhir 2010an, terutama untuk melihat konstruksi identitas yang berada dalam ketegangan tradisi dan kontemporer, atau yang global dan yang lokal. Berkah Liar dan Kukuh Hermadi, dua seniman yang berasal dari Gunung Kidul, Yogyakarta, misalnya, secara cukup provokatif mempertanyakan apa yang didefinisikan sebagai karakteristik GK pada masa kini, lalu mengaitkannya dengan sejarah pembangunan infrastruktur dan industri, dari masa kolonial hingga sekarang, lalu menautkannya dengan tumbuhnya GK sebagai pusat turisme baru. Citraan Gunung Kidul yang kering, tandus, miskin, atau “ndeso”, menjadi pertanyaan dasar yang menjadi titik berangkat bagi para seniman untuk melihat konteks dan narasi besar dari konstruksi citra tersebut dengan situasi masyarakat kini. Proyek Benggala mempertanyakan tradisi dan lokalitas atas artefak seperti pacul dalam kompleksitas naasinya di masa kini.
Tubuh sebagai bagian dari konsep identitas juga muncul dalam sebagian karya, terutama yang berkait dengan gagasan sejarah tubuh, performativitas, dan relasi kuasa. Rizkya Duavania dan Mimzy menelusuri kehidupan seorang transpuan dari sisi yang berbeda dari narasi arus utama, dengan melibatkan mereka sebagai bagian dari upaya membangun cerita dan bingkai perspektif tentang isu-isu mereka sendiri, di mana film sebagai medium menjadi medium yang memungkinkan adanya kontestasi “gaze” atas upaya representasi. Pebri Irawan memfokuskan karyanya pada pengalaman tubuh atas luka, baik secara psikis maupun fisik, dan membawanya sebagai pijakan untuk membangun gagasan koreografis yang merefleksikan relasi manusia dengan hal-hal yang bersifat traumatis dan cenderung disembunyikan.
Flying Sarong mengolah sarung sebagai “bungkus” sekaligus “medium” dalam menautkan berbagai kontradiksi dan pertarungan identitas, dengan nilai-nilai lokal yang berbeda tetapi terhubung. Hal serupa dapat kita perhatikan dari karya Titis Rengganing yang menggunakan shibori sebagai medium untuk mencari nilai baru berkait relasi manusia dengan tubuh, atau menggambarkan relasi sosial yang kompleks dan sekaligus intim melalui budaya shibori yang diolahnya. Munif Zuhdi memasuki objek yang sederhana namun menjadi sangat penting dalam kehidupan kita sekarang ini, yakni tentang sidik jari, yang menunjuk perubahan dalam representasi diri seseorang baik secara formal maupun dalam kehidupan sehari-hari, dan melihatnya dalam kerangka praktik penciptaan karya grafis.
Aquatic, Meta Enjelita dan Candrani Yulis tertarik pada bagaimana komodifikasi dan reproduksi citra merupakan sebuah sistem operasi yang penting dalam masyarakat post-industri sekarang ini. Melalui keterlibatan pada pasar ikan hias yang berkembang pesat pada masa pandemic, Aquatic merefleksikan struktur dan hirarki yang diciptakan pada komunitas dan ekosistem ekonomi semacam ini – yang didasarkan pada kemampuan agensi dan aparatus menciptakan kepercayaan atas nilai. Meta Enjelita menyoroti bagaimana industri massif telah menggantikan sistem perkebunan dan pertanian lokal, dari sebuah lahan penyedia pangan dan menjadi jembatan bagi relasi manusia dengan alam, menjadi lahan-lahan yang diperuntukkan untuk kepentingan industri dan korporat, lalu menciptakan instalasi yang menggambarkan sejarah materialitas. Candrani Yulis telah beberapa waktu menekuni isu-isu berkait dengan komodifikasi jilbab baik sebagai representasi identitas maupun sebagai fenomena industri busana. Candrani melihat bagaimana sekarang komoditas agama selalu memiliki ciri karismatik atau sakral dengan ajaran agama, serta syarat dengan makna simbolik. Arena sosial tren hijab ini hadir karena adanya wacana dominan atau doxa prasadar kelompok masyarakat.